Bab 07. Bayaran Karena Melayani Saya

1001 Words
Satu jam kemudian, ketika waktu menunjukan pukul enam lewat beberapa menit, kegiatan panas sepasang manusia di atas tempat tidur akhirnya berhenti. Kamar tamu itu penuh dengan bau dan nafas yang ambigu. Arsila memejamkan matanya, meredakan rasa lelah yang mendera tubuhnya. Seluruh tubuh Arsila terasa seperti baru saja di tabrak truk besar. Semuanya terasa sakit. Apalagi bagian intimnya yang terasa perih, sulit untuk diabaikan. "Pak—" "Hah!" Helaan nafas kasar Dewa tiba-tiba terdengar. "Anggap saja ini tidak pernah terjadi, sebagai imbalan karena kamu masih perawan, saya akan menaikan gaji kamu." Setelahnya, pria yang hanya memakai boxer itu turun dari tempat tidur, keluar dari kamar tamu, meninggalkan Arsila dalam keheningan. Tidak pernah Arsila bayangkan jika hal pertama yang Dewa katakan padanya adalah hal seperti itu. Rasa tidak percaya mendera Arsila, membuatnya linglung untuk sesaat. Rasa sakit ya tiba-tiba saja bertambah, bukan hanya seluruh tubuh atau bagian intimnya saja, melainkan hatinya tiba-tiba ikut berdenyut perih. Ponsel Arsila yang tergeletak di atas nakas tiba-tiba berdenting. Arsila tersadar dari keadaan linglung nya. Dia dengan susah payah meraih ponselnya, melihat sebuah notifikasi yang masuk dari M-banking nya. [Transfer masuk Rp. 50.000.000 dari D*** B********] Notifikasi transfer itu diiringi dengan sebuah pesan chat yang masuk kemudian. Pak Dewa: Untuk kamu, anggap saja bayaran karena telah melayani saya. Bayaran? Melayani? Apa maksud dari pria itu? Apakah Dewa menganggapnya sebagai p*****r? Arsila menggretakkan giginya karena marah. Arsila ingin mengembalikan uang yang Dewa kirim, akan tetapi dia teringat akan ibu ya yang memerlukan biaya untuk pergi keluar negeri agar bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Sedih, marah, dan takut. Entah mengapa Arsila merasa tidak pernah bisa jauh dari emosi itu. Dia memang tidak sepercaya diri itu untuk menganggap jika Dewa menyukainya. Akan tetapi, mereka telah melakukan hal itu, Arsila tidak menyangka jika Dewa hanya akan menganggapnya sebagai melayani. Apalagi membayarnya seperti seorang p*****r. Butuh waktu dua puluh menit hingga akhirnya Arsila bisa tenang. Dia turun dari tempat tidur, tertatih-tatih ketika memunguti pakaiannya yang tergeletak secara sembarangan. Ketika Arsila keluar dari kamar tamu, rumah itu kosong. Dewa tidak ada di mana pun. Dia berjalan menaiki anak tangga, mengabaikan rasa perih di area intimnya. Ketika tiba di kamar yang dia dan bayi kecil itu tempati, Arsila menghela nafas lega. Dia pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya dan berganti pakaian bersih. Bayi di atas buaian masih tertidur pulas, entah mengapa hato Arsila menjadi sangat tenang saat menatap wajah polosnya yang tertidur pulas. *** Para karyawan di perusahaan Brawijaya group sedang mengalami masa menegangkan saat ini. Suasana yang mencekam akibat mood bos mereka—Dewa Brawijaya—dalam masa yang sangat buruk. Sudah tidak terhitung berapa banyak jumlah karyawan yang menjadi sasaran mulut pedasnya. "Kamu sebut ini laporan?! Anak TK juga bisa buat kalau laporannya seperti ini!" Dewa melemparkan berkas yang salah karyawatinya berikan untuk dia periksa. Karyawan wanita itu menunduk, tubuhnya gemetar ketakutan. Matanya sudah memerah menahan tangis. Dia baru dua bulan bekerja di perusahaan yang bergengsi ini, akan tetapi dia tidak menyangka jika bos perusahaan itu akan bersikap seperti iblis! Dan, hei! Anak TK mana yang bisa menyusun kembali laporan keuangan perusahaan dalam dua tahun terakhir?! Dia sudah bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan laporan itu. "M-maaf, Pak." Karyawan wanita itu ketakutan, berharap dia bisa cepat keluar dari ruang neraka ini. Pantas saja tadi ketika dia hendak masuk, para seniornya menatapnya dengan tatapan kasihan. "Maaf?! Ulangi lagi! Saya tidak mau da kesalahan sedikitpun!" Berkas-berkas itu kemudian dipunggut satu-persatu, setelah selesai memungut, dia kembali berdiri diam dengan kepala tertunduk. "Apa lagi?! KELUAR!" Karyawan wanita itu berlari pontang-panting, keluar dari ruangan Dewa. Ketika dia berada di luar, udara tiba-tiba berubah menjadi bersih. Air mata wanita itu menggenang, seperti seseorang yang baru saja selamat dari hukuman gantung. Karyawan lain yang mengantre untuk memberikan berkas langsung menciut melihat keadaan pendahulu mereka. "Bu, Bu Zoe, tolong saya berikan ini sama pak Dewa, Bu!" Karyawan pria menyodorkan berkasnya pada Zoe. Melihat itu, para karyawan yang lain juga ikut mendesak Zoe agar membantu mereka menyerahkan berkas mereka. Raut wajah Zoe sehitam arang, dia juga merasa ngeri untuk masuk ke dalam ruangan bosnya! "Enggak! Kalian sendiri yang harus menyerahkannya!" Zoe mendengus, bergegas masuk ke dalam ruangannya sendiri. *** Setelah di ruangan hanya ada dirinya sendiri, Dewa menghela nafas dengan berat. Dia melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya karena merasa sangat sesak. Dewa tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang terjadi tadi pagi, dia merasa bodoh karena meniduri ibu s**u putranya sendiri. Di tambah wanita yang dia tiduri itu baru pertama kali, Dewa merasa semakin bodoh. "Hah, sial!" Dewa dengan lelah menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Rasa nikmat tadi pagi masih membuat Dewa terbayang-bayang. Dia tidak pernah membayangkan bahwa bercinta dengan seseorang bisa menjadi senikmat itu. Agak disayangkan jika setelah ini dia tidak bisa merasakannya lagi. Toh, dia sudah membayar dengan harga mahal, ke depannya, jika Arsila bersedia melayaninya, Dewa tidak keberatan membayar lebih mahal lagi. *** Bayi laki-laki itu selesai mandi dan menyusu. Arsila juga sudah menjemurnya di bawah matahari pagi. Sekarang bayi itu tertidur lelap, Arsila letakan di atas baby stroller di lantai bawah agar ketika bayi itu terbangun dan menangis, Arsila bisa mendengarnya. "Tunggu di sini, yah. Tante mau makan dulu!" Perut Arsila bergemuruh sedari tadi, sudah hampir pukul sebelas, namun dia belum makan satu butir nasi pun. Arsila pergi ke dapur, mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk seadanya. Dia kembali ke tempat stroller bayi tadi di letakan, makan di samping bayi yang tertidur itu. Selesai makan, Arsila kembali ke dapur. Mencuci piring kotor dan membereskan dapur yang agak berantakan. "Non Sila?" Suara wanita parubaya mengagetkan Arsila. Arsila menoleh, melihat bibi yang bertugas bersih-bersih datang. Bibi itu hanya di tugaskan tiga kali seminggu untuk datang dan membersihkan rumah. Arsila sudah beberapa bulan tinggal di sini dan cukup akrab dengannya. "Bi Rahma, kapan datangnya?" tanya Arsila setelah dia selesai mencuci piring. "Baru aja, Non." Wanita parubaya bernama Rahma itu menjawab dengan sopan. Arsila menganggukkan kepalanya, mengerti. "Saya ke sana dulu, ya. Dedek bayinya sendirian soalnya." Bi Rahma mengangguk. "Iya, Non. Kalau gitu Bibi juga mau kerja dulu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD