Arsila secara rutin menyusui bayi bosnya meski pun asinya belum keluar. Dua minggu kemudian, ketika dia baru saja bangun dari tidurnya, Arsila terkejut saat pakaiannya di bagian d**a basah.
"Apa, ini?" Arsila kebingungan, dia bergegas ke kamar mandi, melepas bajunya dan menyadari bahwa p******a mengeluarkan asi. Begitu banyak hingga asi merembes, membasahi pakaiannya.
Panik, senang, takut, dan sedih, semua bercampur aduk dalam diri Arsila. Ini pertama kalinya dia mengeluarkan asi, Arsila tidak percaya jika di usianya yang belum menikah, payudaranya akan mengeluarkan Asi.
Sejenak, Arsila menatap dirinya di cermin. Entah apa yang wanita muda itu pikirkan, dia menghela nafas berat, membersihkan bekas asi di dadanya, memakai baju bersih dan keluar dari kamar mandi. Arsila tidak lagi mengantuk, jam baru menunjukan pukul lima pagi. Arsila memutuskan untuk keluar dari kamar, turun ke lantai bawah. Dia mengambil pompa asi yang sengaja dia beli di dapur. Melihat dapur yang sepi, dengan spekulasi bahwa di jam segini Dewa masih berada di kamarnya, Arsila duduk di meja makan, mengangkat kausnya, dan mulai mempelajari bagaimana cara menggunakan pompa asi.
Lima belas menit kemudian, dia akhirnya bisa menggunakannya dengan lancar. Agak aneh rasanya, akan tetapi saat asi di pompa, Arsila merasakan sedikit kelegaan karena sebelumnya payudaranya terasa sangat kencang dan agak sakit. Arsila begitu fokus dengan apa yang dia lakukan hingga tidak menyadari suara langkah kaki yang mendekat.
Dewa baru saja turun dari kamarnya setelah begadang semalaman, dia merasa haus dan air minum di kamarnya sudah habis. Jadi, Dewa tidak punya pilihan selain turun ke lantai bawah. Namun, Dewa tidak menyangka akan melihat pemandangan yang membuat matanya sulit untuk beralih.
Ini kedua kalinya Dewa melihat Arsila mengeluarkan payudaranya. Pertama kali adalah ketika Arsila berada di kantornya, namun, saat itu dia hanya melihat sedikit karena posisinya berada di samping. Sekarang, Dewa melihat lebih jelas, gundukan seputih s**u yang tampak kenyal, sedang di pasang alat pemompa asi. Tenggorokan Dewa terasa kering, dia ingin berbalik, namun lehernya terasa sulit untuk digerakkan.
"Arsila." Dewa tidak punya pilihan selain memanggil nama Arsila.
Arsila yang masih fokus dikejutkan dengan panggilan itu. Dia mendongak, melihat Dewa yang sedang menatapnya tanpa berkedip. Karena panik, Arsila hampir menjatuhkan gelas berisikan asi yang baru saja dia pompa. Untungnya gelas itu tidak tumpah.
"Pak!" Arsila bergegas berdiri, merapihkan pakaiannya yang tadi terangkat.
Keduanya berdiri dengan canggung, Arsila menunduk, tampa berani menatap Dewa secara langsung. Saat ini, bahkan Dewa yang sudah berkali-kali berbicara di depan banyak orang, tidak pernah merasakan kecanggungan mematikan seperti saat ini.
"I-asinya sudah keluar?" tanya Dewa pada akhirnya.
Otak Arsila mendadak blank, dia menoleh ke kiri dan ke kana sebelum menjawab pertanyaan Dewa. "E-itu, iya, Pak." Arsila menggaruk kepalanya dengan malu.
"Bagus " Dewa tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Tatapan Dewa beralih pada d**a Arsila, wanita itu jelas tidak memakai bh hingga putingnya tampak tercetak jelas.
Dewa merasa tangannya sangat gatal, mengingat benda bulat dan terlihat kenyal tadi, dia merasa gemas, ingin meremasnya.
"K-kalau gitu saya permisi dulu, Pak!" Arsila buru-buru berlari melewati Dewa. Wanita itu bahkan lupa dengan setengah gelas kecil asi yang baru saja dia pompa. Alat pompanya bahkan masih ada di atas meja makan.
Ketika kaki Arsila baru menyentuh anak tangga ke dua, Dewa tiba-tiba berbalik, menahan lengannya.
"Ada apa, Pak?" tanya Arsila, sedikit gugup dengan tatapan Dewa. Arsila merasa mata Dewa saat memandangnya terasa tidak benar, seperti serigala yang menatap mangsanya.
Seolah otak dan tubuhnya telah di rasuki oleh iblis, Dewa tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Arsila, menempelkan ke dua bibir mereka. Pria itu seperti binatang buas, menggerogoti setiap inci bibir Arsila.
Terkejut, Arsila tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ketika rasa sakit datang dari bibirnya yang digigit oleh Dewa, Arsila tiba-tiba tersadar dan mencoba melepaskan diri dari pria itu. Arsila memberontak, namun ke dua lengannya di tahan ke belakang oleh satu tangan Dewa.
Ciuman Dewa kasar dan asal, tidak memberi Arsila kesempatan untuk menolak. Bibirnya turun, mengecup leher dan tulang selangka Arsila dengan terburu-buru. Arsila bahkan bisa merasakan nafas panas Dewa di lehernya.
"Uhh, Pak, stop—" Arsila mengigit bibirnya, mencoba untuk tidak mengeluarkan desahan. "Nghh—" Wanita itu terengah-engah, punggungnya menempel pada pegangan tangga.
Ketika salah satu tangan Dewa membuka kaus yang Arsila ke akan, dua gundukan putih dan lembut langsung menerjang ke dua mata Dewa. Tatapan Dewa menjadi gelap, dia tanpa aba-aba menjilat p****g Arsila, menghisapnya dengan keras.
"Ah, udah, Pak, udah. Itu buat dedek bayi, ugh." Arsila benar-benar kewalahan, rasa nikmat menjalar dari ujung syarafnya dan menyebar ke seluruh tubuh. Ke dua tangannya tidak lagi di tahan oleh Dewa, melainkan menjambak rambut pria itu.
Dewa sibuk menyusu, sementara satu tangannya yang lain meremas d**a Arsila, membuat asi menyembur ke mana-mana.
Arsila terengah-engah, punggungnya mulai terasa sakit karena pegangan tangga.
"Asi kamu manis." Setelah melontarkan komentar itu, Dewa kembali mencium bibir Arsila. Ciumannya sama kasarnya dengan tadi.
Keduanya terengah-engah di bawah tangga, suasana kian memanas ketika Dewa mulai meraba bagian intimnya. Arsila belum pernah merasakan hal senikmat ini sebelumnya, terlalu sulit untuk dia menolak, apalagi ketika tubuhnya sendiri merasakan reaksi sebaliknya.
Merasakan timbal balik yang positif dari wanita yang dia cumbu, Dewa tiba-tiba mengangkat p****t Arsila, menggendongnya, dan berjalan menuju kamar tamu yang berada di dekat tangga. Keduanya kembali berciuman di atas tempat tidur dengan posisi Dewa yang menindih tubuh Arsila. Pria itu membelai setiap inci tubuh wanita fi bawahnya, membuat Arsila terus mengerang dengan nikmat.
Ketika Dewa ingin memperdalam kegiatan mereka, Arsila tiba-tiba menghentikan pria itu. Dengan nafa yang tidak stabil dan tatapan matanya yang sayu, Arsila berkata pada Dewa, "Jangan, Pak. Saya takut."
Dia benar-benar takut, Arsila tidak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya. Dia masih perawan dan banyak orang-orang yang sudah menikah di kampungnya mengatakan bahwa sangat sakit untuk pertama kalinya.
Dewa menatap Arsila dengan penuh gairah. "Jangan takut, saya akan pelan-pelan." Suaranya serak dan rendah ketika dia menghibur Arsila. Dewa kembali melumat bibir wanita itu, sedangkan salah satu tangannya berusaha memasuki Arsila, mencoba menyatukan mereka berdua.
"Akh!" Arsila tiba-tiba mengejang, mengigit bibir bawahnya dengan kencang ketika rasa perih menusuk dia rasakan pada bagian intimnya.
Dewa terengah-engah ketika dia berhasil memecah selaput darah Arsila, keringatnya bercucuran deras, raut wajahnya menampakan ekspresi puas dan sedikit terlihat c***l.
"Sa-sakit—"