Keesokan harinya, Arsila terbangun dengan lesu. Semalaman dia tidak bisa tertidur karena bayi kecilnya beberapa kali bangun dan menangis. Alhasil Arsila harus begadang, dia baru tidur pukul empat subuh tadi dan bangun pukul enam. Total hanya dua jam waktu tidur Arsila. Arsila menguap, mengusap matanya dengan punggung tangan, bangkit dari kasur, dia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
"Lumayan parah ternyata," ucap Arsila pada dirinya sendiri saat melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi, sebuah memar merah-keunguan tampak mencolok di kulitnya yang berwarna kuning langsat.
Kamar mandi dingin, Arsila buru-buru mandi. Meskipun ada pemanas air di kamar mandi, dia lebih memilih mandi menggunakan air dingin agar terasa lebih segar. Selesai mandi, Arsila berpakaian. Celana katun panjang serta kaus berlengan pendek berwarna abu-abu. Arsila juga tidak lupa memoles sedikit wajahnya dengan makeup tipis agar tidak terlihat terllau kusam dan pucat.
Setelah selesai, Arsila keluar dari kamar, turun ke lantai bawah. Dia tidak menemukan Dewa di ruang keluarga atau pun dapur, Arsila menebak jika mungkin pria itu masih berbaring di tempat tidurnya.
"Masak, ah—" Arsila melihat bahan-bahan lengkap yang tersedia di dalam lemari es, merasa tangannya gatal ingin mengolah semua bahan masakan itu menjadi makanan panas.
Ada sayap ayam berukuran kecil di kulkas, bakso, jagung muda, dan lainnya. Arsila mempunyai ide, dia akan membuat capcay pagi ini.
"Kamu sedang apa?" suara Dewa tiba-tiba terdengar di belakangnya ketika Arsila sibuk dengan peralatan dapur.
Arsila sontak menoleh, melihat Dewa, yang lagi-lagi bertelanjang d**a, berduri menatapnya di dekat meja makan.
"Saya lagi masak, Pak," jawab Arsila, sedikit malu melihat tubuh pria itu.
Dewa hanya mengenakan celana rumahan yang longgar, kulit berwarna gandum itu terlihat mengkilap karena keringat. Sebuah handuk kecil terlampir di bahunya. Pria itu baru saja selesai berolahraga di gym pribadi rumahnya. Mungkin karena Dewa suka berolahraga secara rutin, tubuhnya dipenuhi dengan otot-otot yang tidak berlebihan sama sekali. Tubuhnya tinggi, ada delapan bungkus otot perut yang membuat Arsila agak gatal karena ingin merabanya.
"Kamu bisa masak?" tanga Dewa dengan santai, dia menuangkan air ke dalam gelas, meminumnya hingga tandas.
"Bisa, lah, Pak. Jaman sekarang masa gak bisa masak. Saya bahkan suka di puji karena masakan saya enak, enggak pernah gagal. Di kampung, saya beberapa kali di suruh jadi tukang masak pas ada hajatan tetangga." Arsila bercerita dengan nada suara yang bangga.
Dewa agak geli bagaimana bangganya Arsila, dia merasa bahwa orang-orang di kampung Arsila meminta Arsila memasak bukan karena rasa masakannya, melainkan karena Arsila gampang di suruh. Akan tetapi Dewa tidak mengatakan itu, dia duduk di kursi meja makan sambil menatap punggung Arsila yang terlihat sibuk.
Arsila yang merasa punggungnya hampir berlubang karena tatapan tajam Dewa, berbalik, menatap Dewa dengan samar. "Bapak kenapa di situ, bukannya mandi. Liat, tuh, badan Bapak keringetan! Nanti masuk angin, loh!"
"Saya enggak masuk angin," sangkal Dewa.
"Tetangga saya juga sebelumnya ada yang bilang gitu, terus kena angin duduk dan meninggal," ujar Arsila lagi dnegan acuh. Dia kembali sibuk dengan masakannya.
Dewa mengangkat alisnya, apa wanita itu baru saja menyumpahinya terkena angin duduk dan meninggal? Pikir Dewa. Dewa bangkit berdiri, melenggang pergi dari dapur.
Di kitchen, Arsila menghela nafas lega ketika melihat Dewa yang sudah tidak ada lagi di sana. Dia gugup bukan main jika berada dekat dengan bosnya.
Selain capcay, Arsila juga membuat udang goreng tepung dan tempe goreng, dua lauk yang cocok disandingkan dengan capcay. Ketika makanan selesai di masak, Arsila menaruh semuanya di atas meja makan.
"Udah selesai?" tanya Dewa yang baru saja datang. Pria itu sudah rapih dengan jas serta kemejanya.
"Udah, Pak." Arsila mengangguk. "Silahkan Bapak cobain, di jamin enggak akan gagal!" Arsila tersenyum.
Dewa mengangguk, duduk di salah satu kursi meja makan, memakan nasi beserta lauk-pauk yang dimasak oleh Arsila. Pada awalnya Dewa tidak memiliki ekspektasi yang tinggi pada rasa makanan yang Arsila buat. Bagaimanapun, standar 'enak' kota dan pedesaan berbeda.Akan tetapi siapa yang menyangka ketika Dewa memasukan makanan ke mulutnya dan mengunyah, rasanya benar-benar sangat enak. Dewa tanpa sadar menatap Arsila yang berdiri di seberang meja makan.
"Gimana? Enak, kan?" tanya Arsila sambil menaikan alisnya.
Wajah wanita itu dipenuhi dengan senyum percaya diri.
"Hm, enak," jawab Dewa dengan samar.
Arsila tampak bangga, jika dia memiliki ekor, ekor itu mungkin akan bergoyang ke kiri dan ke kanan. Dewa merasa sangat lucu. Yah, Arsila pantas bangga, bagaimana pun masakannya memang sangat enak. Bahkan bagi Dewa yang selalu pilih-pilih tentang rasa makanan.
"Kenapa kamu enggak makan?" tanya Dewa ketika melihat Arsila yang hanya berdiri.
"Emangnya boleh, Pak?" tanya Arsila, raut wajahnya menampilkan ekspresi terkejut.
"Kenapa enggak boleh?" Dewa bingung dengan apa yang Arsila maksud.
"Makan di sini? Bareng Bapak?" tanya Arsila lagi, kali ini dengan ekspresi yang agak gugup.
Dewa mengangguk sebagai jawaban. "Hm, duduk dan makan!" titah Dewa.
Arsila mengangguk dengan semangat, duduk di atas kursi, menyajikan nasi dan lauk-pauk untuk dirinya sendiri.
Dua orang di meja makan itu makan dnegan suasana yang harmonis.
***
Pukul setengah delapan, setelah Dewa sudah berangkat bekerja, Arsila tidak lupa untuk menjemur bayi itu di halaman rumah. Bayi kecil yang sudah membuka matanya itu menatap Arsila dengan tatapan polos dan penasaran. Hati Arsila meleleh menjadi genangan air melihat tatapannya.
"Ucu, ucu, ucu! Lucu banget, sih, kamu!" Arsila gemas, dia mencium pipi lembut bayi itu.
Tiga puluh menit berjemur, Arsila kembali masuk ke dalam rumah, berencana memandikan bayinya. Bayi bosnya itu sangat tenang, hanya mengoceh ketika Arsila memandikannya.
Semua peralatan mandi bayi kemungkinan di beli secara khusus, Arsila belum pernah melihat atau mendengar merek sabun dan shampo yang bayi kecil itu pakai. Kemungkinan adalah merek dari luar negeri.
"Ck. Orang kaya memang beda, sabun bayinya aja beli di luar negeri!" Arsila menggeleng-gelengkan kepalanya.
Selesai memandikan bayi, Arsila keluar dari kamar mandi, membaringkan bayi di atas tempat tidur. Dia meletakan bantal di sisi kiri dan kanan bayi, mencegahnya terjatuh ketika Arsila mengambil pakaian. Pakaian bayi tersimpan di lemari, Arsila mengambil sebuah celana dan baju kecil berwarna kuning dan mulai memakaikannya. Bayi kecil itu mengoceh, lengan kecilnya terkepal, menggapai-gapai pada Arsila.
"Kenapa, Sayang? Hm?" Arsila mengajak bayi itu berbicara.
Bayi di atas tepat tidur terkikik, memegang wajah Arsila.
"Anak siapa, sih, Ganteng? Anak ganteng ini, anak siapa, sih?"