Keesokan harinya, pukul sepuluh pagi, Arsila sudah siap untuk bertemu dengan Wanda. Dia juga sudah mendandani Darren dengan baik, tidak membiarkannya kepanasan atau kedinginan. Arsila juga menggunakan alat gendong depan agar dia tidak pegal membawa Darren.
"Sil!" Suara Wanda yang berteriak dan melambai padanya di kejauhan terdengar.
Tersenyum, Arsila mempercepat langkahnya, menghampiri Wanda.
"Apa kabar, Wan?" tanya Arsila, keduanya bertemu di depan mall.
"Baik, Sil. Lo gimana? Betah kerjanya?" jawab Wanda sambil balik bertanya.
Arsila mengangguk, keduanya berjalan beriringan masuk ke dalam gedung mall. "Betah, Wan. Bosnya juga baik." Arsila sedikit menurunkan matanya ketika dia mengatakan itu.
"Bagus, deh. Aku khawatir banget kamu enggak betah, kan ini pertama kalinya kamu kerja di kota," ujar Wanda. Lalu tatapannya jatuh pada Darren. "Ini anak bos kamu? Lucu banget."
"Iya, kalau gak di ajak anggak ada yang ngasuh bayinya." Arsila mengelus lembut kepala botak Darren.
Keduanya mengelilingi mall tanpa tujuan, berjalan menyusuri setiap toko.
"Wah, ini toko brand terkenal, nih. Semoga aja besok-besok bisa beli satu tas aja di sini!" Wanda menatap toko di di depan mereka dengan ekspresi takjub, plang nama besar tertera dengan hiasan lampu berwarna putih elegan.
Arsila juga melihatnya, sama takjubnya dengan Wanda. "Masuk yuk, Wan!" ajak Arsila pada Wanda.
Wanda menoleh, menatap Arsila seolah dia sedang bercanda. "Silahkan, kalau punya duit!"
"Ih, beneran, ayo masuk! Aku beliin dompet, deh, buat kamu. Jangan yang mahal banget, tapi." Arsila meyakinkan Wanda, dia masih mempunyai uang saku yang Dewa berikan.
"Jangan bohong kanu, Sil. Nanti kalau aku mau beneran, gimana?"
Arsila berdecak, menarik Wanda masuk ke dalam toko bermerek itu. Di dalam, keduanya di sambut oleh karyawan yang berseragam rapi.
"Selamat datang di toko kami," sapa Karyawan itu dengan senyum profesional. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya lagi cari dompet, Mbak," jawab Arsila.
Wanda cukup panik di sebelahnya, takut jika Arsila tidak punya uang. "Balik aja, Sil. Nanti kita di ketawain kalau enggak bisa bayar!" bisik Wanda dengan suara yang cukup keras untuk di dengar oleh karyawan toko.
Karyawan toko itu melirik Wanda sejenak setelah mendengar bisikan wanita itu. "Kalau begitu silahkan duduk dulu, akan saya bawakan pilihan dompetnya."
Arsila mengangguk, menarik Wanda untuk duduk di atas sofa yang sangat empuk. Ada camilan dan air di atas meja yang dikhususkan untuk pelanggan yang datang.
Karyawan datang tidak lana kemudian, membawa sebuah kotak yang cukup besar dan agak pipih, meletakkannya pada meja di depan Arsila. Karyawan itu dengan sopan membuka tutup kotak, memperlihatkan deretan dompet mewah di dalamnya.
"Ini adalah dompet koleksi terbaru kami," ujar karyawan toko sambil tersenyum.
Wanda dan Arsila terpesona, mata mereka hampir buta karena kilauan dari kulit binatang asli itu. Ketika Arsila mengulurkan lengannya untuk mengambil salah satu dompet yang menarik perhatian dia, sebuah suara tiba-tiba terdengar dan menghentikan Arsila.
"Saya mau yang ini, bungkus sekarang juga."
Arsila, Wanda, dan karyawan toko lantas mendongak, melihat seorang wanita cantik dengan gaun berwarna putih, rambut panjang bergelombang, tengah berdiri sambil menunjuk dompet yang akan Arsila ambil.
"Maaf sebelumnya, Mbak. Tapi yang ini sudah—"
Karyawan toko yang baru satu bulan bekerja itu ingin mengatakan jika dompet itu sudah di pilih oleh Arsila, namun lagi-lagi wanita di depan mereka menyela.
"Gue enggak mau tau, gue mau yang ini." Wanita itu kekeh, melirik Arsila dengan sinis. "Lagian kamu yakin dia bisa bayar?"
Melihat Arsila yang memakai celana longgar, kaus berwarna hitam dan menggendong seorang anak, wanita itu mendengus keras.
"Saya mau yang ini, Mbak." Arsila tidak mau kalah, dia merasa sebal pada wanita asing itu yang tiba-tiba datang.
Karyawan toko menatap bolak-balik dengan kebingungan yang jelas di matanya. Memikirkan jika Arsila, lah, yang pertama memilih, dia berkata lagi pada wanita itu. "Maaf, Mbak. Sebaiknya anda memilih yang lain karena dompet ini sudan di pesan—"
"Lo denger gak apa yang gue bilang?! Gue mau yang ini, itu berarti harus yang ini!" Wanita itu tidak mau, dia malah membentak karyawan toko dengan suaranya yang keras.
"Tapi—"
"Mbak Shania?" tiba-tiba karyawan toko yang lain datang, menyapa wanita bernama Shania itu dengan antusias.
Shania mengangguk pada orang yang menyapanya.
"Ada apa, Mbak Shania?" tanya senior dari karyawan toko yang baru.
"Saya mau dompet ini, tapi dia malah—" Shania memberi isyarat dengan matanya, melirik karyawan toko baru, Arsila, dan Wanda secara bergantian.
Senior itu juga mengikuti tatapan Shania. Melihat Arsila dan Wanda yang terlihat lusuh, dia mengerutkan keningnya dengan erat.
"Kenapa diem? Cepet bungkus buat, Mbak Shania!" Senior itu memerintahkan dengan ekspresi galak.
"Tapi—" Karyawan toko yang baru ingin menolak, akan tetapi dia takut pada seniornya. "Baik!" Dia melirik Arsila dengan tatapan malu.
Arsila kesal. "Mbak, saya yang duluan pengen dompet itu, bukannya harusnya saya yang dapat?"
Senior itu tersenyum sopan, namun ada rasa jijik yang terlintas di manik matanya. "Maaf, Mbak. Mbak mungkin salah masuk toko, akan tetapi toko kami adalah toko barang-barang branded dan mahal."
Kening Arsila bertaut, dia baru pertama kali melihat orang seperti itu. "Saya tau, makannya saya masuk ke—"
"Karena itu, tolong, Mbak keluar kalau tidak ada yang ingin dibeli." Setelah itu Senior dari penjaga toko abru dengan antusias melayani Shania dan memperkenalkan semua merk keluaran terbaru mereka.
Arsila dan Wanda ditinggalkan di sana.
"Ayo keluar, Wan!" ajak Arsila.
Wanda mengangguk, mengikuti Wanda keluar dari toko.
"Ngeselin banget, orang jualan kok kaya gitu." Wanda sibuk mengomel di saat mereka kembali berkeliling mall.
"Doain aja bangkrut!" Arsila juga kesal dengan sikap karyawan toko.
Berkeliling selama beberapa menit, Arsila lelah karena terus menggendong Darren. Dia dan Wanda berhenti di salah satu cafe, duduk mengistirahatkan diri. Darren juga merengek sedari tadi. Arsila mengeluarkan botol berisi asi dai dam tas, memasukannya ke dalam mulut Darren. Anak itu menyusu dengan semangat meski hanya dari botol empeng.
"Kamu mau makan apa, Sil?" tanya Wanda sambil membolak-balikkan buku menu.
Sila memeriksa semua menu yang tertulis, memutuskan untuk memesan kue kecil dan jus alpukat.
Keduanya bermain dengan gembira, Arsila sama sekali tidak ingat jika Dewa hanya memberikannya waktu dua jam untuk berkeliaran di luar membawa Darren. Arsila sangat senang, hingga tanpa sadar waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Saat dia pulang, ketika Arsila membuka pintu, hal pertama yang dilihatnya adalah tatapan tajam Dewa yang sedingin bilah es.