Bab 15. Meminta Izin

1008 Words
"Aku sama Pak Dewa enggak sengaja papasan, tadi," Graha berjalan mendekati Atika, berdiri di samping wanita itu. Tatapannya begitu lembut, bibirnya tersenyum kecil. "Aku sama Mbak Arsila juga gak sengaja ketemu di minimarket tadi. Yaudah, ayo pulang." Pasangan suami dan istri itu melenggang pergi sambil menggandeng tangan putri mereka. Punggung ketiga orang itu perlahan menjauh, menyisakan Dewa, Arsila, dan si kecil Darren yang berbaring di strollernya. "Ayo pulang, Pak!" ajak Arsila pada Dewa. Dewa mengangguk, keduanya baru mau beberapa langkah ketika suara seorang wanita yang menceritakan nama Dewa terdengar. "Mas Dewa!" Teriakannya sangat nyaring hingga membuat Dewa dan Arsila menoleh secara bersamaan. Suara itu adalah milik dari wanita cantik berjama Barbie Yunia, dia turun dari mobilnya, berlari kecil menghampiri mereka. Ada senyum di bibir Barbie. "Mas, kamu habis ke mana?" tanya Barbie begitu dia tiba di hadapan Dewa. Dia bahkan tidak repot-repot melirik Arsila yang jelas-jelas berada di samping Dewa. Wajah Dewa masih tanpa ekspresi apa pun ketika menghadapi Barbie. Pria itu sama sekali tidak menjawab, dan menoleh pada Arsila, memberi isyarat agar wanita itu melanjutkan langkah kakinya untuk pulang. Arsila merasa tidak enak, akan tetapi dia menuruti Dewa, melenggang pergi sambil mendorong stroller Darren. Berjalan beriringan dengan Dewa. Kening Barbie bertaut melihat Arsila di samping Dewa. "Siapa itu?" tanya Barbie pada asistennya yang dia tahu sudah berada di belakangnya. "Pengasuh baru anaknya pak Dewa." Asisten itu menjawab, wajahnya yang tertutup masker dan kacamata hitam, sulit untuk mengenalinya. "Oh, cuma babu, toh." Barbie mengangguk dengan lega. Dia sama sekali tidak kecewa karena telah diacuhkan oleh Dewa, selagi Dewa belum mempunyai seorang wanita di sisinya, Barbie menganggap bahwa dirinya masih punya kesempatan. "Ayo balik, panas banget di sini!" Barbie berbalik pergi, meninggalkan asistennya yang mengejar dari belakang. *** Begitu tiba di rumah, Arsila merasa sangat lelah. Dia meletakkan belanjaannya di atas meja dapur, lalu mengambil segelas air, menegaknya hingga tandas. "Capek banget jalan bolak-balik sambil dorong stroller." Arsila menghela nafas lelah. Dewa juga memasuki dapur, menghampiri Arsila. "Apa yang kamu beli?" tanya Dewa, melirik kantung belanjaan di meja. "Sayuran, Pak," jawab Arsila. "Sayuran di kulkas udah habis." Dewa mengangguk, dia mengambil kantung belanjaan yang penuh itu, melihat isinya yang ternyata delapan puluh persen makanan ringan dan dua puluh persennya sayuran. Dewa berbalik, mengambil salah satu makanan ringan dan menatap Arsila dengan tatapan bertanya 'ini apa?'. Arsila tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. "Itu buat ngemil, saya suka lapar kalau malem-malem." Arsila membuat alasan. "Ada nugget, sosis, ham, di kulkas, kalau lapar, kamu bisa masak itu," ujar Dewa. "Beda, dong, Pak. Saya, kan, maunya nyemil." "Tapi ini enggak sehat, Sila." Arsila cemberut, bangkit berdiri, dia melompat untuk mengambil makanan ringan di tangan Dewa. Refleks Dewa sangat bagus, dia langsung memegang makanan ringan itu tinggi hingga Arsila tidak bisa mencapainya. "Pak~!" Arsila agak kesal, dia melompat terus menerus demi merebut kembali miliknya. "Jangan makan ini, enggak sehat!" Dewa tidak mau kalah. "Sehat, kok! Itu, kan, keripik kentang, kentang itu sehat! Banyak vitamin nya—akh!" Dewa tiba-tiba membuang snack di tangannya, mendorong tubuh Arsila hingga membentur meja kitchen. Pria itu membungkukkan badan, mencium bibir Arsila dengan ganas. "Umh, Pak—" Arsila terkejut, mencoba memberontak. Namun, tubuhnya terjepit erat oleh Dewa. "Buka bibir kamu!" titah Dewa di sela ciumannya. Pasrah, Arsila menurut. Dia membuka mulutnya, lidah Dewa langsung menerobos masuk tanpa sopan santun. Arsila terhanyut dalam ciuman Dewa yang memabukkan. Dia memejamkan mata, lidahnya ikut menari di antara ciuman mereka. Tanpa keduanya sadari bahwa Darren kecil, yang terbaring di atas stroller, menatap apa yang mereka lakukan dengan tatapan polos. Anak itu terkikik, mengira ayah dan ibu susunya sedang bermain. "Papapap! Mamama!" Darren mengoceh dengan suara s**u, kakinya menendang-nendang, ke dua langan gemuknya melambai pada mereka, ingin ikut bermain bersama Dewa dan Arsila. *** Arsila merasa bersalah dan malu ketika dia melihat wajah polos Darren. Bisa-bisanya dia malah berciuman dengan Dewa tanpa menyadari bahwa Darren sedang menatap mereka. Saat ini Arsila tengah merenung, menyesali perbuatannya. "Jangan liat, Kakak!" Arsila menutup pandangan mata Darren padanya. "Uh, uh, uh." Darren menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, seolah tidak mengerti mengapa Arsila menutup matanya tiba-tiba. Ketika anak itu hampir menangis karena kesal, Arsila buru-buru melepaskan tangannya. "Maaf, Sayang," ucap Arsila sambil memeluk Darren. Ponsel Arsila bergetar ketika dia sedang bermain dengan Darren. Arsila mengulurkan tangannya, mengambil ponsel di atas nakas. Dia melihat pesan masuk dari Wanda. Wanda: Healing yuk, lama, nih, kita enggak ketemu. Setelah membaca serangkaian kalimat itu, Arsila termenung, dia lalu turun dari tempat tidur, membawa Darren ke kamar Dewa. "Pak!" panggil Arsila. Arsila tidak melihat keberadaan Dewa di kamar, melihat pintu ruang kerja yang tertutup, Arsila membawa Darren masuk, mengetuk pintu ruang kerja dengan pelan. "Pak Dewa?!" "Masuk!" Suara Dewa terdengar dari dalam. Arsila masuk dengan senang hati. Mulutnya sedikit menjaga melihat ruang kerja dewa yang mewah namun tetap elegan. Cat yang didominasi oleh warna putih, abu-abu, dan hitam, serta rak buku besar yang berada di belakang meja kerja Dewa, menempel pada tembok. "Kenapa?" tanya Dewa tanpa mengalihkan tatapannya dari dokumen yang dia pegang. "Pak, besok saya boleh, gak, keluar?" tanya Arsila. Dia sedikit gugup, takut Dewa akan menolaknya. "Cuma sebentar, kok. Saya sambil bawa Darren, di ajak ketemu sama temen saya, Pak!" Akhirnya Dewa mengangkat kepalanya, menatap Arsila. "Teman kamu yang mana?" tanya Dewa. "Temen saya yang ngasih tau saya kerjaan ini. Plis, Pak! Saya janji bakalan jaga Darren baik-baik!" Arsila menatap Dewa dengan tatapan memohon. Pria itu tidak menjawab untuk beberapa saat, membuat jantung Arsila berdetak dengan sangat cepat. Sesaat kemudian, Dewa mengangguk. "Oke. Tapi cuma dua jam. Kamu harus pulang setelah itu." Arsila mengangguk dengan senang hati. "Makasih, Pak! Saya janji enggak akan lama!" Setelah permohonannya di setujui, Arsila tidak lagi mengganggu Dewa. Dia keluar dari kamar Dewa dan kembali ke kamarnya. Arsila juga tidak lupa membalas pesan Wanda. Arsila: Oke, besok kita ketemu. Tapi gue bawa anak, ya! Satu balasan kembali Arsila dapatkan. Wanda: Dasar emak-emak! Arsila tertawa membaca balasan Wanda. Darren di pelukannya sudah mengantuk, mata anak itu terlihat sangat sayu, namun bibirnya terus merengek meminta s**u. Arsila menyusui Darren sambil menimang Darren agar segera tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD