BAB 1

2005 Words
ELISA KUSUMAH "Karna Cinta tau kemana ia akan berlabuh." kutipan sebuah novel. Elisa sedang di toko buku tempat favoritenya untuk menyendiri. Ia lebih memilih buku ketimbang ke salon seperti wanita pada umumnya. menurutnya itu merepotkan dan buang-buang waktu. Tangan kekar menutup mataku, parfume yang sudah sangat aku kenal sejak dulu. "Lepasin tangan kamu kalo besok masih pengen hidup." ketusku padanya. "Hehe... Tau aja kalo ini aku." ucap rifai sahabatku sejak sekolah dasar. "Kamu bau wedus, jadi aku tau itu kamu." ucapku acuh, dan dihadiahi sentilan di jidat. *wedus=kambing* "Tega bener bau kambing ngga ada yang bagusan dikit apa." "Kenapa." ucapku cuek, tak menjawab keluhanya. Rifai duduk di sampingku dan bersandar manja. "Gapapa kangen aja sama kamu." ucapnya sambil menyandarkan kepalanya dibahuku manja. Aku memutar bola mata malas mendengarnya. Aku tau pasti Rifai habis putus dari pacarnya kalau bersikap seperti ini. "Putus lagi." tanyaku tanpa mengalihkan pandangan. Ia hanya diam tak menanggapi ucapanku. Paaakk Ku hadiahi pukulan buku ke kepalanya, kesakitan karna ulahku. "Aw.... Sakit begok, tega bangat orang mah sahabat lagi patah hati di apain kek di elus-elus gitu." kesalnya sambil mengusap kepala yang ku pukul. "Maunya kamu itu mah." ketusku, aku memilih melanjutkan membaca novel daripada meladeninya. "Karna Cinta tau kemana ia akan pulang. Hu..... So sweet..... " Rifai merampas novel yang aku pegang. "Berisik, sana jauh-jauh." sungutku pada rifai. "HAHAHA. El El pacaran juga ngga pernah baca novel cinta-cintaan." tawanya menggelegar mengejek. "Rifai berisik...... mending aku ngga pernah pacaran, daripada kamu gonta ganti cewek, dasar playboy cap ayam." kesalku kalau saja bukan di luar, sudah kupastikan akan aku buat jari-jarinya berpindah dari tempatnya. "Eittss aku tuh ngga playboy, kalo playboy itu menjalin hubungan lebih dari satu secara bersamaan, kalo aku kan cuma satu kalo putus baru ganti." kilahnya. "Ya ya terselah apa kata kamu aja." ucapku menyerah berdebat. "Ada apa nyariin?" tanyaku. "Bunda nyariin kamu, katanya udah tiga hari anak perempuannya ngga pernah kerumah." jawabnya Oh astaga, aku lupa mengabari bundanya Rifai, yang sudah ku anggap bundaku sendiri, kalau aku sibuk melamar pekerjaan di beberapa perusahaan. Aku merasa bersalah tidak mengabarinya. "Mampus Fai gimana nih aku lupa ngabarin bunda, lagian kamu kenapa ngga bilang bunda kalo aku melamar pekerjaan." Rifai hanya mengangkat bahu cuek. "Seharusnya kamu yang bilang sendiri ke bunda, ayok pulang, nanti bunda makin murka." Rifai menyeret tangan el. "Tapi aku belum selesai bacanya." "Nanti aja, kamu mau bunda ngambek, kamu tau sendiri kalo bunda udah ngambek harus di turutin semua kemauannya." kata rifai mengingatkan elisa. Elisa bergedik ngeri mengingat bunda Rifai kalau sudah ngambek. Bunda bakal buat satu keluarganya repot, seperti belanja seharian penuh, atau menyuruh anak-anaknya mengganti warna rambut menjadi nyentrik dan Rifai pernah jadi korban bundanya warna rambutnya jadi abu gold. Oh ya bunda memiliki dua Putra anak pertama kak Rivano Pirnandes Erlangga, dan yang kedua si kutcrut Rifai Tirta Erlangga. Meskipun mereka bersaudara tapi sifat mereka sangat berbeda. Kalau kak Vano itu pintar, cuek, dingin dan kejam kalau ada yang berani mencoleknya keluarganya, dan aku tentunya, karna aku memang sudah di anggap keluarganya. Kak Vano tidak akan segan-segan menghancurkan orang tersebut dengan kekuasaan yang kak miliki, kak Vano, di usianya yang terbilang masih muda, saat ini masih 26 tahun jarak usia kak Vano dengan rifai hanya 5 tahun. Dan kalau Rifai itu sifatnya lebih ke petakilan, jail, playboy nyebelin, dan aku jatuh Cinta pada pria seperti itu, ya jatuh pada sosok seperti rifai si playboy cap cicak. Sahabatku sendiri. "Ayok." ucapnya mengandeng tanganku keluar dari toko buku itu. Satu sentuhan sejuta rasa untuku, tentunya. Aku dan Rifai sampai di rumah besar keluarga Erlangga. Aku mencari sosok cantik, bunda Kenanga. "Bun..... Nih Rifai bawa anak perempuan kesayangan bunda..." suara riftai menggelegar. "APA..... BUNDA NGGA DENGER, BUNDA LAGI DI DAPUR." ucap bunda kenangan yang tak kalah menggelegar suaranya. "Noh kamu samperin bunda di dapur, aku mau mandi dulu." Aku mengangguk. Tapi Rifai berhenti berjalan dan menengok padaku lagi. "Mau ikut mandi?" goda Rifai, dan langsung dapat tendangan maut dariku di bokong Rifai. "Haahaa....." Aku memilih pergi kedapur mencari bunda dari pada bersama Rifai yang bisa membuat jantungku meledak karna godaanya. Dia ini, bikin aku mati muda aja. Batinnyaa. Bunda sedang memasak membelakangiku. Aku mengendap-endap menghampirinya. "Bunda....." ucapku manja, memeluk bunda kenanga dari belakang yang kuyakini sangat terkejut dengan ulahku. "Elis... Ya ampun bunda kaget tau ngga, kamu kemana aja berapa hari ngga kesini." bunda membalas pelukanku. Sangat nyaman seperti di peluk ibu. Dewi bantinku. "Hehe, maaf bund, Elis beberapa hari ini sibuk jadi ngga sempet ke rumah." kataku sambil menyomot rendang buatan bunda. "Sibuk apa si sampe bunda dilupain." ucap bunda. Raut wajahnya menjadi lesu. No no bunda jangan ngambek, bisa di mutilasi sama Rifai. "Aku melamar pekerjaan bund itung - itung buat tambahan uang jajan gitu." kataku sambil nyengir kuda. "Kan bunda udah bilang kalau ada apa-apa minta sama bunda jangan sungkan, kamu juga kan anak bunda." jawabnya sambil membelai rambut Elisa sayang. "Maaf bund, Elisa cuma mau mandiri aja, ngga mau terus-terusan ngerepotin bunda sama papih. Oh iya kak Vano mana bund?" tanyaku mencari kak Vano. Bunda menghela nafas dengan sifat keras kepala Elisa. "Tadi bunda suruh beli garem di ilfemiret tapi udah sejam ngga pulang-pulang." Aku hanya ber oh ria. "Haha... Bunda cowo maco kaya kak Vano disuruh beli garem, pasti di tahan dulu sama mbak-mbak ilfemaretnya bund." tawaku pecah saat tau kak Vano disuruh beli garem sama bunda, aku ngga bisa bayangin muka asem kak di suruh beli garem. "Kamu makan disini ya, nih udah siap makananya, kamu ke ruang makan duluan aja nanti bunda nyusul." perintah bunda. "Siap bunda.... " jawabku dengan gaya ala militer korut. Saat aku membalikan tubuh ternyata ada kak Vano dengan tampang cemberut sangar, dan tentunya sangat..... Tampan. "KAK VANO...." aku langsung menghampiri kak Vano dan bergelantungan di leher kak vano dengan kaki berada di pinggang, seperti orang utan bergelayut pada induknya. Kak Vano terkekeh dengan sifat manjaku, dan mukanya sudah tidak cemberut lagi, seperti tadi. "Kamu ini dek ngga pernah berubah." kata kak Vano masih dengan kekehanya sambil memainkan hidungku. "VANO......" Rifai menubruk punggung kak vano dan bergelayut juga seperti yang di lakukan Elisa. TAK Bunda menggetok kepala Rifai dengan sendok sayur. "Kamu ini, sama kakak ngga ada sopannya manggil nama." "Ya maaf bund, abis bang Vano kaya bang Toyib jarang pulang." ucapnya lagi dan kali ini mendapat toyoran dari kak vano.  "Dateng langsung gelayutan, kaya monyet." ucap kak vano sambil melepas rangkulan rifai. "Kalo aku monyet dia apa, monyet betina." sinisnya padaku yang masih tetap bergelayut manja dengan kak Vano. Aku menjulurkan lidah meledeknya. Kita memang sudah seperti keluarga, semenjak ibu dan ayahku meninggal di usiaku yang ke delapan, bunda dan papih Rifai yang mengurusku seperti anak mereka sendiri. Aku sangat bersyukur atas kehadiran papih dan bunda Rifai. Saat memasuki sekolah menengah atas aku memutuskan untuk tidak tinggal lagi di rumah Rifai, aku menempati rumah peninggalan ayah dan ibu, tidak begitu besar seperti rumahnya Rifai, tapi itu sudah cukup untuk aku tinggali sendiri. Sebenarnya papih jonathan dan bunda kenanga sangat menentang keputusanku, tapi bukan elis namanya kalau tidak bisa merayu. "Ayo kita makan." ajak kak Vano mengandeng tangan Elisa. "sebenarnya anaknya itu aku atau Elis si." grutu Rifai. Di meja makan bunda, kak Vano dan Elisa sedang makan masakan bunda kenangan, minus papih Jhon yang sedang mengurus pekerjaanya di Maroko. "Apih kavan vulang bund." tanyaku sambil mengunyah makanan yang penuh di mulut. "Abisin dulu makananya baru ngomong." Rifai membersihkan sisa makanan di sudut bibirku dengan tanganya, yang membuat pipiku merasa panas. Ini bukan hal baru Rifai memperlakukanku seperti ini, tapi tetap saja membuatku merasakan gelenyar aneh dalam diriku. Tanpa mereka sadari ada sosok yang memperhatikan begitu dalam, kak Vano, ia melihat gelagat aneh Elisa, tapi tetap memilih diam dan melanjutkan makanya. "Bunda juga ngga tau kapanya, disana sedang banyak masalah." jawab bunda. "Kamu nginep ya di sini." lanjut bunda lagi. "Ya bund, tapi nanti pagi-pagi banget Elis harus pergi, menghadiri panggilan interview di suatu perusahaan." "kuliah kamu, gimana? " tanya kak vano ikut nimbrung. "Aku ambil cuti dulu kak, nanti kalo udah siap aku masuk lagi." ucapku dengan nada santai, dan kudengar helaan nafas dari bunda, kak Vano dan Rifai. "Kenapa ngga dateng kekantor kakak aja." tanya kak Vano. "Hehe.... Elis kan mau mandiri kak." ucap Elisa, aku bisa saja kekantor perusahaan kak Vano dan kuyakini langsung diterima dan ditempatkan diposisi yang Bagus. Apa kata karyawan lain yang sudah susah payah di seleksi dengan ketat tapi aku malah bisa masuk dengan mudahnya. Aku paling tidak mau di anak emaskan, aku mau berjalan dengan prosedur yang sudah di tetapkan. Mereka menyelesaikan makanan dengan tenang sekali kali rifai melontarkan lelucon, dan didapatkan tatapan tajam dari bunda dan kak Vano. Selesai makan, aku pergi kekamar yang dulu kutempati sejak kecil. Aku tersenyum mengingat kenangan bersama keluarga Erlangga. Aku duduk di balkon kamarnya memandang langit malam yang Indah dengan bintang-bintang. "Ibu , ayah apa kalian baik-baik saja disana? Lisa di sini juga baik baik saja, ibu sama ayah jangan khawatirkan Lisa disini, Lisa bahagia bersama keluarga ini, mereka sangat menyayangi Lisa, seperi ibu dan ayah menyayangi Lisa. Tapi bu... " Elisa seolah berbicara dengan ibu dan ayahnya yang telah tiads. "Lisa menganggap Rifai sebagai pria, bukan sebagai sahabat atau keluarga." lanjutnya lagi. "Lisa ngga tau diri ya bu, udah di besarkan dikeluarganya malah dengan berani menyukainya juga." ucapnya lesu. Tapi suara seseorang mengagetkanya. "Sejak kapan?." tanyanya. "K-kak Vano, m-maaf." kataku menunduk malu dan takut. Kak Vano membelai sayang rambut Elis, "Cinta datang dan pergi tanpa kita ketahui, jadi itu bukan salah kamu." ucap kak vano disebelahku masih membelai rambutku dan menatap langit malam. Aku bersandar di bahu kokoh kak vano. "Ciwwiitttt.... Mesra banget kalian kenapa ngga kawin aja, eh nikah maksudnya hahaa... " ledek seseorang yang lain tak bukan si kampret Rifai. Aku melempar sendal rumahku yang langsung mengenai sasaran, mulut cerewetnya itu. "Cemburu?" kata kak Vano membuat rifai bungkam. Tunggu, tidak mungkin Rifai menyukaiku juga. Dewi batinku menolak apa yang ada dipikiranku. "Cih.... Mana mungkin suka sama dia, ngga ada menarik menariknya, biasa saja sexy juga ngga." ledeknya, membuat luka dihati Elisa cukup dalam. "RIFAI.. " bentak kak Vano. Rifai nyengir tiga jadi dan langsung melesat pergi meninggalkan kak Vano dan Elisa. "Maafin adik kak vano yang bodoh itu." ucap kak Vano terdengar bersalah dengan ucapan Rifai. "It's ok kak, yang Rifai bilang itu bener kok, Elis ngga cantik dan sexy mana ada yang mau sama Elis." kataku dengan tersenyum getir. Kak Vano memeluku, pelukan seorang kakak untuk menguatkan adiknya. "Kamu cantik dan sexy dengan cara kamu sendiri." ucap kak Vano membuatku tersenyum. Waktu sudah menunjukan pukul 23:41 dan aku belum bisa memejamkan mataku karna ucapan si kampret rifai. Mengingat ucapanya membuatku merasa kalah sebelum berperang. Tok Tok Ckrek..... Seseorang membuka pintu kamar. Saat tau Rifai yang membuka pintu aku langsung menutupi mukaku dan pura-pura tidur, tidak menghiraukan panggilannya. Aku tidak peduli, aku sedang sebal denganya. Ucap batinnya. "El, el udah tidur." tanyanya masuk kedalam kamarku. "El ih bangun kek." ucapnya lagi, aku tidak menghiraukanya. "El bangun ngga, kalo ngga bangun juga, aku abisin kamu di ranjang." ancamnya, yang sukses membuatku membuka selimut. "Apaan." ketusku. "Jutek amat neng, lagi PMS? " guraunya. Aku mengacuhkanya. "Ngambek nih yee... Ceritanya." bujuknya padaku. Rifai naik ke atas kasur dan duduk disampingku. "Maaf deh nih mulut emang kadang susah di rem." Aku menghela nafas, bukan itu yang buat aku marah, tapi ucapan yang bilang kalau dia tidak mungkin menyukaiku yang membuatku sedikit sebal padanya. "Aku ngga marah, kamu ngapain kesini udah malem. Aku harus bangun pagi buat interview." "Ngga bisa tidur..." ucapnya manja. "Geli tau ngga kamu ngomong begitu." ledeku. "Bodo." "Kenapa putus sama adel. " tanyaku. "Pas lagi jalan ketemu mantan yang ngga ikhlas diputusin." ucapnya santai. "HAHA.... makanya jangan kebanyakan mantan mas." ledekku pada Rifai. "Ih kebiasaan, orang mah orang lagi putus Cinta di peluk kek di apain kek gitu." ucapnya lesu, sambil merebakan diri di sebelahku. Aku juga ikut merebahkan diri dan entah dapat keberanian dari mana, aku memeluknya dan mengelus rambutnya. Rifai tersenyum dipelukanku. Entah sudah berapa lama kami berpelukan tanpa melepaskanya hingga kami terlelap dengan posisi aku memeluk Rifai. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD