"aku antar pulang ya Gia."
"Nggak usah mas, Gia bisa naik taksi."
"Jangan, ini sudah malam, tidak aman kamu pulang sendirian," ucap Ardi.
Gia pun menerima tawaran Ardi yang ingin mengantar dirinya pulang. Keduanya keluar dari resto menuju area parkir tak lama Ardi sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang ke alamat yang ditunjukkan oleh Gia yaitu rumah Elsa.
"Kamu tinggal sama siapa Gia?"
"Aku tinggal di rumah sahabat aku mas, ya istilahnya numpang."
"Kenapa nggak cari tempat kost atau kontrakan aja?"
"Niat awalnya gitu mas tapi, sahabat aku itu tinggal sendiri jadi ia meminta aku menemaninya."
"Oh begitu."
Ardi masih bertanya beberapa hal tentang diri Gia namun hanya dijawab singkat oleh Gia, Gia tak ingin Ardi mengetahui hal tentang dirinya.
Ardi memperlambat laju mobilnya saat tak jauh di depannya seperti ada keributan.
"Ada apa mas?"
"Itu seperti ada keributan."
Gia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Ardi dan benar saja, Gia melihat seperti ada perkelahian dan perkelahian itu terlihat tak seimbang karena yang ia lihat adalah 2 orang sedang di kepung oleh banyak pria bertubuh tinggi besar.
"Sepertinya pengeroyokan mas, kita berhenti mas."
"Buat apa Gia, nanti kita malah yang mati konyol."
"Tapi keadaan sangat tidak seimbang mas, kita harus menolong mereka," ucap Gia.
"Udahlah Gia itu bukan urusan kita," jawab Ardi.
Gia menatap Ardi tak percaya, ia merasa Ardi orang yang egois hanya mementingkan keselamatan dirinya saja.
"Kalau begitu Gia turun disini mas."
"Jangan Gia, kamu bisa apa buat menolong mereka?"
"Paling tidak aku bisa lapor polisi untuk menolong mereka."
Dengan terpaksa Ardi menghentikan mobilnya, Gia dengan cepat membuka pintu mobil dan keluar. Ia berjalan menjauh dari mobil Ardi yang masih berhenti dan melangkah mendekati orang orang yang mengepung 2 orang itu.
Sebelum lebih dekat, Gia menghubungi polisi, ia tak ingin mengambil resiko mati konyol karena ia yakin walau ia membantu 2 orang yang di keroyok itu tetap mereka kalah jumlah, seorang ahli karate pun tetap akan kewalahan.
Ia memasukkan ponselnya kembali dalam tas, mereka sudah mulai saling menyerang 1 orang menghadapi satu orang saja sudah kewalahan sepertinya ia tidak begitu bisa ilmu bela diri, sedangkan 1 pria lain malah dikeroyok oleh 9 orang. Gia terburu buru mendekat namun ia menghentikan langkahnya sebelum sampai pada orang orang itu. Matanya terpaku pada seseorang yang ia kenal.
Gia melihat pria yang di keroyok adalah Arsya, sensei di Dojo dan big bosnya. Gia berfikir Arsya pasti bisa mengatasi serangan orang orang itu, Gia mendekat pada pria lain yang tak ia kenal yang kewalahan diserang oleh 2 orang, ia membantu pria itu.
Untungnya ia memakai legging pendek di dalam gaun yang ia pakai sehingga ia bisa bebas bergerak, tentu saja ia juga melepaskan sepatu high heels yang ia pakai. Dengan sedikit menguras tenaga ia bisa mengalahkan 2 pria hingga tersungkur.
Gia menoleh pada Arsya yang juga sudah menumbangkan hampir semua pria yang menyerangnya, dilihatnya Arsya sudah kelelahan karena melawan banyak orang, Arsya melangkah mendekati Gia yang berdiri tak jauh darinya.
Tapi sebelum ia sampai pada Gia, Arsya menatap heran pada Gia yang malah berlari ke arahnya dan saat sudah dekat Gia mendorongnya ke samping. Semua terjadi begitu cepat hingga ia menyadari tubuh gua ambruk dengan pisau menancap di perutnya. Ternyata pria yang tadi tersungkur di kalahkannya mencoba menusuknya dari belakang namun Gia mencoba menolongnya.
Suara sirine polisi mulai terdengar dan para pria itu lari tunggang-langgang menyelamatkan diri, Arsya berlutut tak percaya jika Gia tertusuk karena menyelamatkan dirinya, dengan sigap Arsya menggendong tubuh Gia yang masih tertancap pisau di perutnya. Arsya meminta pria yang tadi bersamanya yang adalah sopir pribadinya segera masuk mobil dan membawa mereka ke rumah sakit.
Oooo----oooO
Arsya mondar mandir di depan ruang operasi, sedangkan sopirnya duduk di bangku yang ada disana. Operasi harus dilakukan karena pisau menancap dalam di perut Gia.
"Pak bos pulang saja, biar saya yang disini," ucap sopir Arsya yang bernama Eko.
"Nggak Ko, dia itu sudah menyelamatkan nyawaku, aku harus tetap ada disini, lagipula aku mengenalnya. Dia itu karyawanku di perkebunan, coba aku lihat tasnya, biar aku bisa menghubungi keluarganya."
Arsya membuka tas tangan milik Gia dan mengambil dompet Gia dari sana, ia harus melihat ktp Gia untuk mengetahui dimana alamat gadis itu, Arsya mengernyitkan alisnya saat mengetahui Gia beralamat di luar kota. Ia mengambil ponsel Gia dan melihat kontak disana dan hanya ada beberapa nama saja yang bisa dipastikan itu bukan keluarganya.
Arsya mengembalikan dompet dan ponsel Gia dalam tas tangannya.
"Kok di kembalikan bos, katanya mau menghubungi keluarganya?" Tanya Eko.
"Dia dari Jawa Ko, di ponselnya juga nggak ada kontak keluarganya," jawab Arsya
Arsya berfikir sejenak, dia ingat kalau pernah mengantarkan Gia ke rumah Elsa, ia menimbang nimbang untuk menelepon Elsa tapi ia ragu, ia tak mau Elsa berfikiran yang tidak tidak jika ia menghubungi Elsa.
Ia mengurungkan niatnya itu, ia akan fikirkan nanti apa yang akan ia lakukan.
Jam menunjukkan pukul 1 dini hari dan operasi Gia belum juga selesai, Arsya berharap operasi berhasil dan Gia bisa selamat.
~~~
~~~
Arsya memasuki ruang rawat inap VVIP dimana Gia di rawat, setelah operasi berhasil Gia di observasi di ruang ICU selama sehari dan kemudian dipindahkan ke ruang rawat setelah kondisinya sudah stabil.
Ia merebahkan tubuhnya di sofa, sejak semalam ia tidak tidur dan matanya terasa berat, tidak mungkin ia akan meninggalkan Gia seorang diri walau ia sudah menyewa perawat khusus yang 24 jam standby di ruangan VVIP ini. Ia juga tidak akan tenang sebelum Gia sadar.
"Maaf pak..."
Arsya membuka matanya dan duduk. Perawat yang ia tugaskan menjaga Gia berdiri di depannya.
"Ada apa?"
"Ponsel mbak Gia berdering terus."
"Matikan saja."
"Baik pak," perawat itu pun berjalan menjauh dari Arsya.
Arsya kemudian beranjak dari sofa dan mendekati ranjang pasien dimana Gia terbaring dengan lemah. Ia berdiri terpaku di samping brankar dan menatap Gia yang masih terpejam dengan selang oksigen di hidungnya juga jarum infus yang menusuk tangan kirinya.
Ia masih tak habis fikir kenapa Gia bisa berada di tempat ia dikeroyok dan kenapa Sampai ia rela tertusuk demi dirinya, padahal bisa saja Gia berteriak untuk memperingatkan dirinya tapi kenapa ia berlari.
Ia menatap dalam wajah Gia yang pucat, ada perasaan bersalah di hati Arsya. Ponselnya berdering.
"Halo..."
".........."
"Kenapa Nda? Aku sedang sibuk."
".........."
"Lain kali saja, bye," Arsya memutuskan sambungan teleponnya dan kembali menatap wajah Gia.
"Suster, saya mau pulang kalau ada perkembangan segera hubungi saya."
"Baik pak."
Arsya melangkahkan kakinya keluar dari kamar VVIP tersebut menuju apartemennya.
Oooo----oooO
Arsya sedang fokus pada berkas berkas di mejanya, 2 hari ini ia tidak ke rumah sakit karena beberapa meeting tidak dapat ia tinggalkan, perawat yang menjaganya tidak memberikan kabar yang menggembirakan karena Gia belum juga sadar 4 hari setelah kejadian.
Pintu ruangannya diketuk dari luar.
"Masuk."
Arsya masih fokus pada pekerjaannya saat Anggika, sekertarisnya masuk dan berdiri dihadapannya.
"Selamat siang bos, jadwal bos hari ini meeting dengan klien jam 1 siang, kemudian sore bos harus langsung terbang ke London untuk menghadiri konferensi para pengusaha perkebunan disana."
"Harus aku yang pergi?"
"Iya bos, kan sudah prepare jauh jauh hari."
"Oke, persiapkan segalanya."
"Siap bos."
Anggika segera berlalu keluar dari ruangan Arsya. Arsya beranjak dari tempatnya duduk dan akan menuju ruang meeting tapi ia menghentikan langkahnya saat ponselnya berdering. Telepon dari perawat yang menjaga Gia.
"Halo suster..."
"..........."
"Gia sudah sadar? Baguslah."
".........."
"Pulang?" Arsya terkejut karena suster mengatakan jika Gia diperbolehkan pulang karena tanda vitalnya normal dan bisa istirahat di rumah. Ia berfikir sejenak.
".........."
"Baiklah, akan ada driver saya yang menjemput kamu, kamu tetap menjadi perawatnya walau pun ia sudah pulang."
"........."
"Bukan, pulang ke apartemen saya."
Lynagabrielangga.