bc

Pilihan Hati Sang Arjuna

book_age18+
9
FOLLOW
1K
READ
HE
sweet
bxg
office/work place
enimies to lovers
wild
like
intro-logo
Blurb

Dimohon kebijakannya dalam membaca cerita ini.

Dipersatukan oleh proyek pekerjaan dan pertemuan yang intens, Arjuna dan Athaya dipaksa menyerah pada kehendak semesta. Permusuhan yang sudah berlangsung sejak mereka duduk di bangku kuliah harus berakhir dengan munculnya benih-benih cinta.

Sayangnya, baik Arjuna maupun Athaya tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka masing-masing. Kecelakaan tragis yang membuat koma adik Arjuna memaksa Arjuna untuk menikah dengan kekasih sang adik. Kendati demikian, Arjuna tetap menyimpan rapi cintanya untuk Athaya meskipun dia tahu kekasih sang adik diam-diam mencintainya.

Akankah Arjuna mendapat kesempatan kedua untuk menggapai kembali pemilik hatinya atau justru jatuh hati pada si pengganti?

chap-preview
Free preview
1. Tanggung Jawab
"Ladies and gentlemen, we will be landing shortly. Please ensure that your seatbelt is securely fastened, your seatback and tray table are in the upright position, and all electronic devices are turned off and stowed. Please ….” Suara pramugari yang mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat mengentak-entak d4d4 Arjuna. Perjalanan panjang selama hampir 26 jam akan segera berakhir. Kabar duka yang disampaikan sang papa dan berita yang beredar di media nasional yang didapatkannya memaksa Arjuna untuk segera kembali ke tanah air. Dengan berat hati, Arjuna meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai di kantor pusat Wealth & Young di New York City. Pria itu kemudian memilih taksi sebagai kendaraan berikutnya setelah pesawat yang menerbangkannya dari bandara JFK, New York, mendarat di bandara Soekarno-Hatta sekitar jam 16.00 WIB. Mata cokelat Arjuna memindai pemandangan di sepanjang jalan melalui jendela samping. Kendati demikian, konsentrasi Arjuna tertuju pada hal lain. Cemas, marah, dan sedih secara bersamaan berkecamuk di dalam diri pria berusia 26 tahun tersebut. Ia bahkan harus berpura-pura terlihat kuat ketika keluar dari taksi saat tiba di tempat tujuan. Sambil menyeret koper biru berukuran 20 inci, Arjuna berjalan dengan cepat ke lobi rumah sakit. Ia berbicara dengan satpam yang berjaga, lalu menitipkan kopernya, dan segera berlari menuju lift yang terletak di samping meja resepsionis. Sedih kembali merapat dan mendekap tubuh atletis Arjuna ketika lift terbuka di lantai tiga. Dengan langkah berat, Arjuna keluar dari alat transportasi vertikal itu. Tatap cokelatnya menembus ke sepanjang lorong. Bagai tampilan gerak lambat dalam sebuah adegan film, Arjuna hanya berjalan dan tidak memedulikan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Namun, dua laki-laki berseragam polisi yang baru saja keluar dari ruang tunggu ICU berhasil menyita perhatiannya. Sejumput tanya pun bersarang dengan cepat di kepala Arjuna. “Bunda …,” panggil Arjuna lirih sesaat setelah ia menginjakkan kaki di ruang tunggu. Disti, sang ibunda, bangkit dari duduknya dan langsung menghambur memeluk Arjuna. “Gyan dan Jihan, Jun,” ucapnya dengan suara serak dan diiringi isak tangis. “Bagaimana keadaan mereka, Bun?” “Juna.” Yasa, papa Arjuna, meletakkan tangan di pundak Arjuna. Aktivitasnya tersebut secara otomatis memalingkan wajah sang anak sulung ke arah dirinya. “Bagaimana kejadiannya sampai bisa begini, Pa?” Suara Arjuna terdengar tertahan dan sedikit bergetar. Selaput bening tanpa disadari telah menutupi pandangannya. “Duduklah dulu.” Yasa menyarankan. Arjuna duduk di tengah di antara kedua orang tuanya. Meskipun ia tidak sabar menanti penjelasan Yasa, tetapi perasaan takut menerima kenyataan bergelimang memenuhi hatinya. Ia takut kehilangan adik laki-lakinya. “Polisi ….” Yasa menelan ludah sambil memalis. Rahangnya tampak mengeras seperti sedang menahan sesuatu yang sangat berat untuk dikatakan. Pria berusia lima puluhan itu kemudian mengembus napas dan justru diam. “Pa.” Arjuna menuntut penjelasan. Yasa kembali memandang Arjuna. Sorot matanya tampak redup, lalu menangkup wajah dengan kedua tangan selama beberapa detik guna menghimpun kekuatan dan keberanian. Sampai akhirnya merasa lebih kuat, Yasa kembali memandang sang putra. “Menurut dugaan sementara polisi, malam itu Gyan melakukan p3l3cehan pada Jihan disertai kekerasan. Adikmu itu meninggalkan Jihan yang terluka di penginapan, lalu dia berusaha bunuh diri dengan menabrakan mobil yang dikendarainya ke truk yang diparkir di pinggir jalan.” Yasa kembali menangkup wajah sambil menunduk, menyembunyikan kesedihannya di balik kedua tangan kuatnya. Jadi, rumor yang beredar itu benar? Pundak Arjuna melorot. Iris cokelatnya menggelap tertutup oleh rasa kecewa sekaligus marah. Namun, tarikan dan embusan napasnya selama beberapa kali sesaat tadi mengembalikan pemikiran rasionalnya. “Itu tidak benar,” tepis Arjuna, “Gyan mencintai Jihan. Tidak mungkin Gyan bisa menyakitinya. Lagipula, Gyan bukan tipe laki-laki yang kasar.” “Bunda juga berpikiran sama seperti kamu, Juna. Gyan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu.” Disti menambahkan. Perancang busana ternama itu kembali menangis. “Tapi, polisi—” “Juna tahu seperti apa Gyan, Pa,” potong Arjuna, “mungkin Gyan jarang curhat sama Papa dan Bunda, tapi Gyan sering curhat sama Juna. Gyan bukan laki-laki br3ngsek. Gyan anak yang baik.” Yasa meletakkan satu tangannya di pundak Arjuna. “Papa mengerti perasaan kamu, Jun. Namun, Papa juga tidak bisa mengabaikan dugaan polisi. Penyelidikan sedang berlangsung saat ini. Kita hanya bisa berharap Gyan segera sadar dari komanya dan menceritakan semua yang terjadi, begitupun dengan Jihan.” “Apa Jihan juga—” “Tidak.” Yasa memotong sangkaan Arjuna. “Jihan tidak mengalami koma. Dia luka-luka dan depresi.” “Di mana Jihan sekarang, Pa?” “Dia dirawat di sini juga. Di ruang Flamboyan. Kieran ada di sana menemani Bu Ati,” jawab Yasa. Arjuna bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan ke samping jendela kaca besar yang mempartisi ruang ICU dan ruang tunggu. Ia melihat Gyan berbaring tak berdaya di atas ranjang. Beberapa selang menempel di tubuh Gyan dan kepalanya dibalut perban. Meskipun hanya melihat Gyan dari jauh, tetapi Arjuna tahu bahwa adiknya itu terluka parah. “Wake up, Bro! Cerita sama gue apa yang terjadi,” kata Arjuna pelan nyaris berbisik. Pemilik tinggi 183 sentimeter itu kemudian sedikit menunduk dan mengadukan dahinya ke kaca partisi. Setetes air mata jatuh ke pipi Arjuna. Begitu ia menyadari pundaknya menjadi sedikit berat, ia kembali mengangkat kepalanya. Dari kaca pembatas, Arjuna bisa melihat wajah papa dan tangan pria itu yang ada di pundaknya. “Kenapa jadi begini sih, Pa?” tanyanya sambil menyeka air mata dengan punggung tangan. “Kita semua tidak ada yang menyangka akan ada kejadian seperti ini,” ucap Yasa. Arjuna memosisikan dirinya berhadapan dengan sang papa. “Juna mau nengokin Jihan, Pa.” “Iya, tapi kamu jangan tersinggung dengan sikap Bu Ati. Mungkin Bu Ati tidak seperti Bu Ati yang sebelumnya.” Yasa memperingatkan Arjuna. Arjuna mengangguk. “Iya, Pa. Juna mengerti.” Ibu mana yang tidak akan marah pada pelaku dan keluarga pelaku yang sudah mel3cehkan dan melukai putrinya. Apalagi, Arjuna tahu bahwa Jihan sudah tidak mempunyai siapa-siapa selain ibunya, pikir Arjuna. Arjuna bergegas ke ruang yang disebutkan papanya, dua lantai di atas mereka. Ia melihat Kieran, adik perempuannya yang juga sahabat Jihan, sedang duduk di bangku tunggu di depan ruang perawat berkelas VIP itu. Gadis berusia 21 tahun itu menyambut Arjuna dengan isak tangis. “Mas Juna datang kapan?” tanyanya dengan air mata berderai. “Baru saja. Bagaimana keadaan Jihan?” “Jihan syok berat, Mas. Kieran nggak nyangka Gyan bisa melakukan semua ini. Gyan kok bisa sejahat ini, Mas?” Arjuna merengkuh Kieran ke dalam dekapannya. “Kamu yang sabar, ya. Kita nggak tau kan kejadian yang sebenarnya seperti apa. Semuanya baru dugaan. ” Beberapa detik kemudian, Ati keluar dari ruang perawatan Jihan. Wanita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga Arjuna itu menatap nanar ke arah Arjuna. Raut wajahnya tampak muram dan kesedihan jelas terlihat telah menghantamnya selama beberapa hari terakhir. “Bu Ati …,” panggil Arjuna lirih. “Apa salah anak saya sampai harus menerima ganjaran seperti ini, Mas Juna?” tanya Ati dengan suara bergetar. Arjuna terpaku menatap sang ART selama beberapa saat. Ia bisa melihat kesedihan yang begitu dalam di diri Ati, tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan adiknya begitu saja sebelum ada bukti. “Bu Ati, saya minta maaf mewakili Gyan. Saya harap Gyan segera sadar dan Jihan segera pulih supaya mereka bisa menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Arjuna. “Mas Juna pikir Jihan akan segera pulih?” nada bicara Ati meninggi karena frustrasi. Wanita bergamis cokelat itu kemudian meraih tangan Arjuna dan membawanya masuk ke kamar perawatan Jihan. “Lihat, Mas! Sejak sadar dari pingsannya, Jihan selalu berteriak-teriak ketakutan. Dia baru bisa tenang seperti itu kalau sudah disuntik penenang. Adik Mas yang membuatnya begitu.” Ati menyapu air mata dengan ujung hijabnya. Ia tidak bisa menahan tangis melihat keadaan anak semata-wayangnya. Hati Arjuna mencelus ke lumpur sesal melihat Jihan berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Ia masih tak habis pikir kenapa peristiwa mengerikan seperti ini bisa terjadi. Namun, ia sama sekali tidak bisa berburuk sangka pada Gyan. Di matanya, Gyan adalah sosok adik yang baik. “Padahal, saya sudah menganggap kalian seperti anak-anak saya sendiri. Namun, kenapa Mas Gyan sampai tega melakukan hal ini pada Jihan?” lanjut Ati “Bu Ati, mungkin ceritanya tidak seperti yang diduga banyak orang,” kilah Arjuna, “kita tunggu saja sampai Gyan sadar dan menceritakan semuanya.” “Bagaimana kalau Mas Gyan tidak akan pernah sadar? Bagaimana kalau anak saya nanti hamil? Jihan tidak hanya dianiaya, tapi juga dip3rkos4!” Ati nyaris berteriak lantaran tidak bisa menahan rasa sakit di hatinya. Wanita itu menangis sesenggukan di hadapan Arjuna. “Bagaimana dengan nasib Jihan nanti?” “Jika semua itu terjadi, saya yang akan bertanggung jawab.” Arjuna menjawab tanpa berpikir panjang. Namun, ia tidak menyesal sudah mengatakannya. Apa pun akan ia lakukan untuk menyelamatkan nama baik adik dan keluarganya, termasuk Jihan. “Iya, Bu Ati. Ibu bisa memegang kata-kata saya. Saya akan bertanggung jawab jika yang dikatakan Bu Ati nanti terjadi.” Arjuna menegaskan sekali lagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hasrat Istri simpanan

read
7.7K
bc

After That Night

read
8.5K
bc

The CEO's Little Wife

read
627.6K
bc

BELENGGU

read
64.6K
bc

Revenge

read
16.0K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.8K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook