2. Damai Sementara

1726 Words
Empat bulan yang lalu  Arjuna membuka kembali file RAB untuk perusahaan yang memakai jasa konsultan Wealth & Young, firma konsultan keuangan multinasional tempatnya bekerja. Ia mempelajari isi file selama hampir satu jam. Meeting siang nanti adalah meeting pertama yang dipimpinnya dengan klien premium. Sebagai Senior 4 yang setara dengan asisten manajer, selama ini Arjuna paling banter hanya memimpin meeting mingguan untuk staf dari divisi keuangan dan sub divisi tersebut, yakni divisi jasa keuangan. Itu pun bergantian dengan Naomi, sang manajer. Oleh karena itu, Arjuna harus mempersiapkan diri dengan baik. “Mas Juna, kata Bu Omi, nanti siang Mas yang memimpin meeting Delta Project. Bener, Mas?” pertanyaan Icha, teman satu tim Arjuna, membuyarkan konsentrasi Arjuna. Arjuna mengalihkan pandangannya dari layar PC ke arah Icha yang berdiri di depan kaca pembatas kubikel. “Lo kok bisa tiba-tiba ada di situ, Cha?” Arjuna menatap heran Icha, tepatnya terbengong-bengong, melongo sejenak. “Perasaan, gue nggak ngeliat lo lewat,” imbuhnya. “Mas Juna tuh yang overfocus ke monitor.” Icha mengerucutkan bibir, kesal lantaran Arjuna menganggapnya seolah-olah ia makhluk astral yang bisa muncul tiba-tiba. “By the way, bener nggak nanti siang Mas Juna yang memimpin meeting?” Arjuna mengangguk mengiakan. “Iya. Kenapa?” “Berarti Mas harus kerja sama dengan Mbak Aya dong di meeting nanti.” “What?!!!” Arjuna tersentak mendengar penjelasan Icha. Kulit di antara kedua alisnya berkerut sementara matanya menyipit dan memancarkan tanda tanya besar. “Ngapain si Nenek sihir itu ikutan meeting?” Sudah bukan rahasia lagi kalau Arjuna memang tidak pernah akur dengan salah satu staf dari divisi audit. Meskipun mereka pernah sama-sama berkuliah di kampus yang sama di Melbourne, tetapi mereka lebih mirip musuh bebuyutan ketimbang teman. Entah apa penyebab mereka bermusuhan, itu masih menjadi misteri. “Lah, emang Bu Omi nggak bilang kalau meeting Delta Project nanti akan membahas konsultasi RAB dan rencana audit eksternal Delta Group?” Icha jadi ikutan heran. “Wah, bener-bener nih Bu Omi. Ini sih namanya jebakan Batman. Emak-emak itu nggak bilang sama gue kalau substansi meeting nanti akan membahas masalah audit eksternal juga.” Arjuna mendorong punggungnya ke sandaran kursi sambil menggembungkan pipi, lalu mengembuskan kekecewaannya terhadap keputusan sang atasan yang memintanya memimpin rapat. “Tenang, Jun.” Alfa, rekan satu tim Arjuna melongok dari balik dinding kubikel yang pendek—yang sebenarnya hanya formalitas. “Dia nggak bakalan ngajak lo ribut di depan klien,” imbuhnya. “Gue nggak yakin tuh.” Arjuna merasa pesimis memikirkan si Nenek Sihir tidak akan mengacaukan rapat nanti. Wanita licik itu pasti akan berusaha menjatuhkannya di depan klien, pikir Arjuna. “Kita briefing sebentar yuk!” Arjuna bangkit dari duduknya. Pria berusia 26 tahun itu melirik ke meja Alfa. “Al, kasih tau anak-anak. Kita briefing dulu buat matengin substansi kita nanti.” “Sekarang, Jun, briefing-nya?”Dengan polosnya Alfa bertanya. “Tahun depan,” jawab Arjuna geram. Juniornya itu kadang-kadang bikin gemas. Gemas pengen nampol. “Ya, sekaranglah.” “Oke, gas! Gue sebar spam dulu ke grup.” Alfa segera mengirimkan undangan briefing ke rekan-rekannya yang lain di grup Wh4tsapp. Dalam waktu beberapa menit, keempat rekan satu tim Arjuna sudah berkumpul di depan ruang meeting standar yang biasa digunakan untuk meeting mingguan para staf. Arjuna yang datang belakangan dikejutkan oleh penampakan keempat sejawatnya yang tak kunjung masuk ke ruang rapat tersebut. “Ngapain lo pada berdiri di situ? Kenapa nggak masuk?” tanyanya dengan nada heran. “Kita dijegal, Mas,” jawab Icha dengan mimik wajah sendu dan bibir agak monyong. “Tadi anak Audit bilang, ruangan ini bakal dipake briefing sama mereka.” Alfa menambahkan. Arjuna mengetat rahang tegasnya. Air muka pria berkemeja biru itu seketika berubah keras dan tegas. “Pasti kerjaan si Nenek Sihir.” “Jun, Jun ….” Leo rekan satu tim Arjuna yang lain memberi peringatan. Arjuna mengangkat dagunya. “Apaan?” “Nenek Sihir kesayangan lo datang,” ledek Leo sambil menahan tawa. “Ngadi-ngadi lo ….” Arjuna tidak melanjutkan ucapannya ketika posisinya sudah berbalik dan pandangannya menemukan wanita yang diberi gelar Nenek Sihir. MasyaAllah. Tanpa sadar Arjuna memuji Athaya dalam hati. Pesona Athaya bagai magnet yang menarik netra Arjuna untuk terus menatapnya. Wanita yang mengenakan setelan blazer dan rok pensil merah itu berjalan dengan anggun menyusuri lorong. Rambutnya bagai mutiara hitam yang jatuh ke pundak dan berkilat diterpa pantulan sinar matahari dari jendela. Seperti seorang Lady Boss, Athaya berjalan didampingi oleh para bodyguard yang tidak lain adalah rekan satu timnya di divisi audit. “Astaghfirullah.” Arjuna segera beristighfar setelah menyadari bahwa sesaat lalu dirinya sempat mengagumi penampilan fisik Athaya. Athaya menghentikan langkahnya sekitar setengah meter di depan Arjuna. Ia mengangkat wajah untuk mensejajarkan pandanganya dengan si pemilik tinggi 183 sentimeter. “Kenapa ngeliat gue, lo ngucap istigfar? Lo pikir gue set4n?!” Athaya bertanya dengan geram. “Masih untung gue cuma ngucapin istighfar, bukan membaca Ayat Kursi. Kalau gue baca Ayat Kursi, punah lo dari peradaban.” Arjuna menimpali dengan tak kalah sadis. Athaya meletakkan tangannya di pinggul seolah-olah sedang menantang Arjuna. “Lo tuh sejenis outlier manusia normal. Nyebelin banget.” “Terserah elo.” Arjuna enggan menanggapi lebih banyak. Ia menoleh ke samping ke arah Alfa. “Kita masuk sekarang.” “Tunggu!” sergah Athaya, “ruang meeting-nya mau kita pake.” “Gue dan tim gue datang duluan. Berarti gue dan tim gue yang make.” Arjuna berbalik, lalu mengisyaratkan pada rekan-rekannya untuk masuk. “Ayo masuk, guys!” “Heh, tunggu!” tahan Athaya, secara otomatis memaksa Arjuna kembali berbalik berhadapan dengannya. “Apalagi sih? Udah jelas gue dan tim gue yang datang duluan.” Darah Arjuna mulai panas oleh sikap tak mau kalah Athaya. Ini bukan soal mengalah pada perempuan, melainkan profesionalisme. Semua ada aturan dan etikanya. “Jangan mentang-mentang lo anak owner bisa seenaknya,” tambah Arjuna menandaskan. Sama halnya dengan Arjuna, Athaya pun mulai terpancing untuk memulai perang. Athaya paling tidak suka dituduh hanya memanfaatkan statusnya sebagai anak pemilik perusahaan. “Kenapa lo jadi bawa-bawa bokap gue?” kemarahan terdengar kental dalam pertanyaannya. Di belakang Arjuna, Alfa dan Leo berbisik-bisik. Mereka sudah menduga akan ke mana akhir perjalanan briefing ini. Briefing batal, yang muncul kemudian adalah lomba debat. “Perang lagi nih,” bisik Alfa. “Iya. Heran gue sama anak-anak orang kaya ini,” tutur Leo dengan suara pelan. Tiba-tiba Karen, rekan satu tim Arjuna yang lain, pergi meninggalkan kerumunan kecil itu. “Mbak Karen, mau ke mana?!” Leo sengaja bertanya dengan suara agak kencang supaya bisa didengar oleh Arjuna dan Athaya yang sedang berseteru. Alhasil, memang benar kedua makhluk paling manis yang mirip Tom & Jerry itu menghentikan adu argumennya. “Mau manggil Damkar! Udah panas dan mulai berkobar soalnya,” jawab Karen tanpa menoleh. Sarkasme Karen langsung menampar Arjuna dan Athaya. Yang benar saja Karen harus memanggil pemadam kebakaran untuk mendamaikan kedua staf yang berselisih. Akan jadi insiden yang sangat memalukan bagi Wealth & Young apabila hal itu benar terjadi. Arjuna akhirnya mengalah karena dia sadar tingkahnya seperti anak kecil dan jauh dari kata profesional. Namun, perasaan kesal pada Athaya masih tersemat di hatinya. “Guys, kita briefing di ruangan kita saja. Biar mereka yang di sini. Gimana?” saran Arjuna pada rekan satu timnya. “Nggak masalah,” ucap Alfa. “Oke, Mas.” Icha mempertegas jawaban Alfa. Di sudut lain, Athaya merasa tersentuh dengan keputusan yang diambil Arjuna. Selama berseteru dengannya, pria bernama Arjuna Mahanta itu paling anti mengalah. Ajaib, sekarang Arjuna mau mengalah. “Tunggu-tunggu!” Leo maju ke tengah-tengah, persisnya di depan Arjuna dan Athaya. “Gue mau ngomong sama lo berdua, boleh?” Athaya yang pertama mengangguk setuju, sedangkan Arjuna menunggu reaksi Athaya. Namun, Arjuna akhirnya menyetujui juga. Ketiganya beranjak menjauh dari teman-teman mereka yang lain. “Begini, Jun, Aya.” Leo memulai sesi pemberian nasihatnya. Sebagai sesama senior yang usianya lebih senior alias lebih tua dari Arjuna dan Athaya, Leo pikir ada baiknya kalau dia memberi wejangan untuk mereka. “Gue nggak bermaksud ngajarin lo berdua. Gue cuma mau ngingetin. Sekarang ini kita ada di proyek yang sama, Delta Project. Gue pribadi, nggak mau sampai project kita ini hancur gara-gara kalian yang selalu ribut. Kita itu membawa nama Wealth & Young, lho. Please, jangan egois. Kesampingkan dulu deh masalah pribadi kalian—” “Interupsi.” Athaya mengangkat tangan di samping tubuhnya, memotong ucapan Leo. “Kita nggak punya masalah pribadi.” “Betul, Le. Kita nggak punya masalah pribadi,” tegas Arjuna. “Nah, kalau kalian nggak punya masalah pribadi, ngapain lo berdua pada ribut melulu? Begini, urusan ribut: mau adu mulut, mau adu tinju, atau mau adu-adu yang lain, itu di luar Delta project. Selama kalian ada di Delta project, tolong dong jaga nama baik WY. Delta Group itu klien premium, paus.” Leo mulai menggebu-gebu. Andaikan Arjuna dan Athaya itu anak kecil, Leo udah pengen ngejitak kepala mereka berdua. “Oke, deal.” Athaya berbesar hati mengulurkan tangan ke arah Arjuna. “Gue bakal kooperatif di Delta Project.” Dengan ragu-ragu, tidak yakin, galau, dan lain sebagainya, Arjuna akhirnya menerima uluran tangan Athaya, berjabat tangan. “Gue juga akan kooperatif di Delta Project.” Leo bertepuk tangan di udara. Raut wajah pria asal Medan itu seketika menjadi semringah. “Gitu dong. Demi Wealth & Young!” katanya berapi-api. Melihat reaksi Leo, Alfa mendekat. “Jadi, gimana nih briefing-nya?” “Briefing mah bisa di mana saja. Di ruangan kita saja,” tutur Arjuna. “Di ruang meeting saja,” sambar Athaya, “kita berbagi ruangan.” Arjuna sontak menoleh ke arah Athaya. “Tumben lo—” “Juuun.” Leo memelototi Arjuna, lalu melontarkan isyarat supaya Arjuna tidak meneruskan menabuh genderang perang dengan menggeleng. Dia kemudian menoleh ke arah Alfa. “Kita masuk ke ruang meeting.” “Oke,” kata Alfa. Arjuna menarik kedua ujung bibirnya ke atas sambil mengedikkan pundak. Ia hampir saja memicu kembali perang yang sudah sedikit mereda. “Oke. Kita ke ruang meeting,” imbuh Arjuna. Leo mengembus napas lega. Kedua rekan kerjanya yang berselisih akhirnya mau berdamai walaupun hanya sementara. “Udah ya, jangan berantem lagi selama ada di Delta Project. Lagian, kelewat benci, ntar lama-lama jadi cinta,” tandas Leo. Arjuna dan Athaya kompak memelototi Leo, lalu menyangkal pernyataan pria berkulit hitam manis itu dengan tegas. “Nggak bakalan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD