Daddy 8: Tanda Tangani!!

1753 Words
Roni berbaring di kasur setelah Sandra membuatkannya bubur. Papanya itu masih saja tidak ingin ke dokter dan tidak ingin dipanggilkan dokter. Dia masih bersikeras kalau besok dia akan baik-baik saja. Alhasil, Sandra hanya bisa memberinya vitamin dan paracetamol untuk menurunkan panasnya. Semalaman, Sandra mengompres dahi dan leher papanya dengan air dingin. Dia sangat berharap demam papanya bisa menurun besok paginya. Dan lagi-lagi, doa Sandra didengarkan oleh Tuhan. Pagi ini, demam Roni sudah menurun. Wajahnya tidak sepucat kemarin. “Terima kasih sudah menjaga papa semalam. Kau pasti sangat lelah.” Roni berkata sambil memegang tangan Sandra. Sandra tersenyum mendengar penuturan Roni. “Tidak, Pa. Aku baik-baik saja. Dan bahkan sekarang aku bahagia karena demam papa sudah menurun. Sebaiknya papa kembali beristirahat.” Roni tersenyum dan mengangguk. Sandra segera keluar dari kamar papanya sambil membawa mangkok bubur sarapan Roni tadi. Setelah Sandra keluar, Roni segera mengambil tabletnya. Dia harus mengecek pekerjaannya. Roni mengembuskan nafas. Mungkin sebaiknya dia mulai kembali serius untuk meng-IPO perusahaannya agar dia bisa sedikit lega. Iya, dia harus melakukannya jika tidak ingin perusahaannya gulung tikar. Apalagi Sandra benar-benar tidak ingin terjun langsung mengurus perusahaan. Hatinya terlalu lembut untuk menjadi seorang CEO. Seandainya saja Ghani mau, dia juga bisa menjabat di perusahaannya, tapi dia sudah menolak. Ah, Ghani. Entah apa yang sebenarnya sudah terjadi antara anak dan menantunya itu. Sandra bilang kalau Ghani sedang ada pekerjaan di luar kota. Tapi kemarin siang, Roni dengan jelas melihat Ghani sedang menikmati makan siang bersama Sapta, asistennya. Seketika itu juga badannya lemas dan kepalanya pusing. Roni masih memperhatikan iPadnya saat Sandra masuk membawakan buah-buahan untuk ayahnya. Sandra menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kenapa tidak istirahat, Pa?” tanya Sandra. Roni mendongak. Dia tersenyum melihat putri satu-satunya. “Kurang sedikit lagi. Papa ada proyek besar di Pati dan Palembang.” “Proyek masih bisa dikerjakan besok. Kesehatan Papa harus diutamakan. Sudah. Ayo, aku akan mengupaskan buah.” Roni menurut. Putrinya betul. Lebih hari ini dia beristirahat agar cepat sembuh karena sebentar lagi dia mempunyai jadwal yang tidak bisa diwakilkan. Roni pun menaruh kembali tabletnya. Sandra duduk di samping ranjang. Dia mengambil sebuah apel dan mulai mengupasnya. “Maaf. Gara-gara papa kamu jadi batal ke Jepang. Kamu malah sibuk mengurusi papamu.” Roni berkata dengan raut wajah menyesal. Sandra tersenyum. “Jangan dipikirkan. Seandainya pun aku sudah di Jepang dan mendapat kabar Papa sakit, aku juga pasti langsung pulang.” Roni tersenyum. Putrinya ini sungguh baik. Entah apa yang membuatnya bertengkar dengan Ghani. Sepertinya pertengkaran mereka cukup rumit hingga Ghani sama sekali tidak terlihat mencari Sandra. Roni sangat berharap Ghani bisa menjaga putri satu-satunya dan tidak akan meninggalkannya. Semoga saja pertengkaran mereka segera berakhir. -- Setelah dua hari tergolek lemas, Roni bangun dengan badan yang amat segar. Dia merasa badannya sudah jauh lebih baik meski kepalanya masih agak pening. Roni sudah siap dengan kemeja dan jasnya. Dia turun ke lantai satu sambil memakai jam tangan Tag Hauer miliknya. “Papa ke kantor?” tanya Sandra. Saat ini Sandra sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Mbok Darmi sedang di dapur memasak. Dia terkejut melihat papanya yang ternyata sudah siap dengan setelan kerja. “Iya, Sayang. Papa harus berangkat. Banyak yang harus diurus karena besok pagi harus sudah di Pati membicarakan pembangunan pabrik baru di sana,” jelas Roni. “Tapi papa belum sembuh betul. Bagaimana kalau terjadi apa-apa?” Sandra menatap papanya dengan raut khawatir. “Jangan khawatir. Papa akan baik-baik saja. Lagi pula, ada sopir kantor. Jadi kamu jangan khawatir. Oke?” Roni berkata sambil tersenyum. “Aku akan membuatkan s**u madu hangat. Papa harus menghabiskannya!” Kata Sandra dengan raut serius. Roni mengiyakan perkataan Sandra. Toh memang setelah meminum s**u madu hangat, biasanya badannya akan terasa lebih segar. Roni pun menggeser kursinya dan duduk. Sandra segera mengambil piring untuk papanya dan mengisinya dengan nasi. Mbok Darmi datang tepat waktu. Dia membawa sayur bayam, ayam goreng, dan balado telur. Sandra segera mengambilkan lauk untuk papanya. “Sepertinya nanti papa tidak pulang. Sore hari papa langsung berangkat ke Pati,” kata Roni. Sandra sontak menghentikan tangannya yang akan mengambil lauk. “Papa naik mobil?” tanya Sandra. Roni mengangguk sambil mengunyah makanannya. “Kenapa tidak naik pesawat saja, Pa?” tanya Sandra. Roni menggeleng. Dia menelan makanannya sebelum berkata, “Di sana tidak ada bandara, Sayang. Bandara terdekat ada di Semarang. Papa masih harus naik mobil lagi dari Semarang ke Pati. Sama saja.” “Nggak, Pa. Sandra tidak mau Papa semakin sakit karena harus naik mobil berjam-jam. Perjalanan darat bisa memakan sekitar sepuluh jam. Papa naik pesawat atau tidak usah berangkat. Pilih salah satu!” Roni mengembuskan nafasnya. “Baik, papa akan pesan tiket pesawat.” Kini, Sandra yang mengembuskan nafasnya. Dia memegang tangan papanya yang mulai keriput. “Pa, ini demi kesehatan Papa. Sandra harap Papa bisa mengerti.” Roni tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dan mereka berdua pun melanjutkan sarapan. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Sandra dan Roni berpandangan. Siapa kira-kira yang bertamu sepagi ini? Batin mereka. Mbok Darmi segera berjalan menuju pintu. Dia tidak membiarkan kedua majikannya yang sedang menikmati sarapan jadi terganggu. Tidak lama kemudian, Mbok Darmi kembali. “Ada tamu untuk Non Sandra,” kata Mbok Darmi. “Siapa?” tanya Sandra. “Kurang tahu, Non. Laki-laki memakai jas kantor,” jawab Mbok Darmi. “Apa kau menunggu seseorang?” tanya Roni. “Tidak.” Sandra menggeleng. Dia bertanya-tanya siapa tamunya ini. Apa mungkin Ghani? Apa Ghani tiba-tiba merindukannya yang sudah empat hari tidak pulang? Tapi itu tidak mungkin. Selama tinggal di rumah papanya, Ghani sama sekali tidak menghubunginya. Dia juga tidak berusaha menemuinya, baik itu di kantor atau di rumah. Seolah kepergian Sandra bukan hal besar baginya. Huft! Seharusnya Sandra sadar kalau suaminya itu benar-benar tidak mencintainya. Dia hanya mencintai perusahaannya. Dan hanya kantor yang ada di pikirannya. Sandra berdiri dan berjalan untuk menemui tamunya. Dia melihat seorang pria duduk di kursi tamu. Sandra menaksir dia berusia empat puluh tahun. Wajahnya seperti familiar, tapi dia lupa di mana mereka pernah bertemu. Saat melihat Sandra, tamu itu pun berdiri. Dia mengulurkan tangannya. “Apa kabar, Nyonya Sandra?” Hanya ada satu kemungkinan saat Sandra mendengar kata “Nyonya” keluar dari bibir pria ini. Dia adalah salah satu orang Ghani. Sandra menyambut uluran tangan itu. Dia memasang senyum di wajah cantiknya meski dalam hati dia gugup tidak karuan. Sandra menduga-duga berita apa yang dibawa anak buah Ghani ini. Dalam hati, dia berdoa semoga bukan tentang perceraian. Papanya sedang di rumah dan dia baru sembuh. Sandra tidak ingin menambah beban papanya. “Saya baik,” jawab Sandra, “ada yang bisa saya bantu?” “Saya Felix. Saya pengacara dari Tuan Ghani.” Felix menyerahkan sebuah map kepada Sandra. Ya betul. Sandra ingat sekarang. Felix dulu juga yang mengurus perjanjian pra nikahnya dengan Ghani. “Di dalam map ini adalah surat cerai. Dan Tuan Ghani berharap Anda segera menandatanganinya.” Felix berkata sambil tersenyum kecut. Sebenarnya dia menyayangkan perceraian ini. Kedua orang itu terlihat sangat serasa saat bersama. Ghani yang pendiam dan Sandra yang ramah. Ghani yang workahlic dan Sandra yang rumahan. Keduanya juga tampan dan cantik. Sayang hubungan mereka harus berakhir seperti ini. Sandra tercekat. Sepertinya kali ini Tuhan tidak mengabulkan doanya. Sandra menerima map itu dengan ragu. Dia lalu membukanya, membacanya dengan teliti. Ini benar-benr surat cerai. Di bawahnya terdapat nama Ghani dan Sandra. “Ghani belum menandatanganinya?” tanya Sandra. “Tadi malam Tuan Ghani berangkat ke India. Saya belum sempat bertemu dengannya,” jawab Felix. Sandra mengela nafas. Sepertinya Ghani benar-benar sudah muak dengannya. Ini bahkan belum tanggal anniversary mereka, tapi Ghani sudah mengirim surat cerai padanya. Baik, jika memang itu yang diinginkan Ghani, maka Sandra akan mengabulkannya. Sandra meraih pena dan membubuhkan tanda tangannya di sana. Sandra tidak lagi memedulikan hatinya yang sakit. Dia masih muda. Dia akan menyongsong sendiri masa depannya tanpa Ghani. Dia tidak akan lagi meminta pada Tuhan agar Ghani bisa menerimanya. “Kau bercerai? Kenapa? Apa ada masalah?” Sandra menoleh. Dia lupa kalau papanya tadi sedang makan. Dia pasti menyusul Sandra karena tidak segera kembali ke ruang makan. Sandra bodoh! Harusnya tadi dia menemui Felix di luar saja. “Katakan apa yang terjadi, Sandra? Kenapa kau bercerai dengan Ghani? Bukankah rumah tangga kalian baik-baik saja?” tanya Roni lagi. Sandra segera menyerahkan map itu pada Felix dan memintanya keluar. Setelah itu Sandra mendekati papanya yang masih shock dengan kejadian ini. “Maafkan Sandra, Pa,” kata Sandra. Dia menuntun Roni untuk duduk di sofa. Roni menatap Sandra dengan sedih. Matanya menyiratkan kekecewaan yang dalam. Sandra semakin merasa bersalah. “Ini sudah menjadi keputusan Sandra, Pa. Kami tidak cocok.” Sandra berusaha mencoba menjelaskan. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya. Itu akan menambah kekecewaan di hati Roni. “Kau yang meminta bercerai?” tanya Roni. Sandra menggeleng. “Ini keputusan bersama, Pa.” “Apa ini alasanmu sebenarnya ingin ke Jepang?” Sandra menatap Roni dan mengangguk perlahan. Roni mengembuskan nafasnya perlahan. Apa yang ditakutkannya ternyata benar terjadi. Rumah tangga putrinya bermasalah. Tapi kedua belah pihak sudah memutuskan. Apa yang bisa diperbuat Roni? Kepalanya kembali pening. “Sekali lagi maafkan Sandra, Pa. Sandra sudah membuat Papa kecewa.” Sandra menundukkan kepalanya. Dia tidak ingin melihat kekecewaan di mata Roni. Roni mengulurkan tangannya memeluk putrinya. “Kamu pasti sangat bersedih. Kesedihan papa tidak ada apa-apanya dibanding sakit hatimu. Pergilah ke Jepang. Papa akan baik-baik saja.” Sandra membalas pelukan itu tidak kalah erat. Air matanya kembali jatuh. Sandra bersyukur Tuhan masih memberinya papa yang begitu menyayanginya. “Papa harus segera berangkat. Kau juga harus menjadwalkan keberangkatanmu ke Jepang. Bersenang-senanglah. Maaf papa tidak bisa menemanimu di sana.” Roni dan Sandra melepas pelukan mereka. Sandra menyeka air matanya. Dia kembali memasang senyum di wajahnya. “Sandra tidak apa-apa, Pa. Sandra yakin Tuhan Maha Baik. Papa tidak perlu khawatir.” Roni mengelus rambut Sandra. “Baiklah. Kalau begitu kabari papa kapan kamu berangkat.” Sandra mengangguk. Roni pun berdiri dan berjalan menuju mobil. Seorang sopir sudah menunggu Roni dan membukakan pintu penumpang untuknya. Setelah Roni pergi, Sandra segera ke kamar untuk menyiapkan koper. Dia akan ke Jepang entah untuk berapa lama. Mungkin seminggu atau dua minggu. Sandra meyakinkan hatinya untuk menutup semua lembaran tentang Ghani dan meninggalkannya. Tidak ada lagi nama Ghani di hidupnya. Tidak akan pernah ada lagi!! Kekecewaan di hatinya sudah menggunung. Ghani tidak memercayai penjelasannya sedikit pun tentang obat itu. Ghani juga memberikan surat cerai seminggu sebelum tanggal pernikahan mereka. Sandra tersenyum kecut melihat fakta-fakta itu. Bertambah keyakinan Sandra untuk menghapus nama Ghani dan menyongsong masa depannya sendiri. Berdiri di kakinya sendiri tanpa Ghani!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD