Daddy 7: Memilih Pulang

1641 Words
Sandra melajukan mobilnya berkeliling Jakarta. Dia sedang butuh waktu untuk sendiri, menjauh dari semua orang. Terutama menjauh dari papanya. Dia belum siap bertemu dengan papa yang sangat menyayangi menantunya. Sandra tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan papa nanti saat surat cerai itu tiba di rumahnya. Papa Sandra, Roni, dulu sangat bahagia saat Dimas mengatakan ingin menjodohkan Ghani dengan Sandra. Roni langsung menyetujui karena dia tahu Ghani tidak pernah terlibat skandal apa pun. Catatan bisnisnya juga selalu baik. Dan saat Sandra menikah dengan Ghani, Roni bahkan memberikan bonus pada seluruh karyawannya. Dan kini, dengan kemarahan Ghani yang memuncak, tidak menutup kemungkinan Ghani akan mengatakan pada papanya tentang obat itu. Lalu apa yang harus Sandra katakan ada papanya?? Sandra benar-benar tidak memberikan obat itu. Sandra juga tidak pernah mengetahui bentuk obat itu. Kenapa Ghani tidak bisa mempercayainya? Perut Sandra semakin sakit karena belum diisi lagi sejak selesai sarapan. Akhirnya Sandra memutuskan berbelok ke sebuah cafe. Sandra memilih duduk di pojok yang tidak menarik perhatian. Kaca mata hitamnya masih bertengger di hidung mancungnya. Sandra belum siap melepasnya karena orang-orang akan mengerti mata sembabnya. Selesai makan, Sandra segera pergi. Lebih baik dia pulang ke rumah papanya. Tubuh dan pikirannya benar-benar lelah. Sandra hanya bisa berharap papanya belum pulang saat dia datang nanti. Dan ternyata Tuhan mendengarkan doanya. Mobil papanya tidak terlihat saat Sandra memarkir mobilnya. Sandra cepat-cepat keluar dari mobil dan mengambil kopernya. Langkahnya pasti memasuki rumah. Sandra memencet bel rumah. Sesekali dia melihat ke belakang takut papanya datang. Mbok Darmi, pembantu di rumah Roni, membukakan pintu. “Non Sandra?” “Apa kabar, Mbok?” tanya Sandra sambil tersenyum. Sandra merentangkan tangannya memeluk sosok yang sudah ikut menjaganya sejak dia masih kecil. Darmi tersenyum lebar menyambut majikan mudanya. “Mbok sehat, Non. Non Sandra sehat? Sepertinya Non Sandra sehat. Pipinya agak gemuk.” Darmi tertawa menyentuh pipi Sandra. “Ayo masuk! Non Sandra menginap? Suaminya mana?” Darmi celingukan mencari Ghani. “Suami saya tidak ikut, Mbok. Ada pekerjaan di luar kota. Jadi Sandra memutuskan untuk pulang. Dari pada di rumah sendiri. Sandra capek, Mbok. Mau langsung istirahat saja.” Darmi mengangguk lalu membawakan koper Sandra menuju kamarnya. Setelah Mbok Darmi pergi, Sandra segera mengunci pintu kamarnya. Hatinya masih sedih. Dia takut sewaktu-waktu papanya datang dan membuka kamarnya saat air matanya sedang turun. Seperti saat ini. Sandra menghapus air mata yang pelan-pelan masih mengalir di pipinya. Sanda butuh menyegarkan badannya. Siapa tahu kalau badannya wangi dan segar, kesedihannya perlahan menghilang. Sandra pun melangkah menuju kamar mandi. Dia mengisi bathup dengan air hangat dan busa. Setelah dirasa cukup, Sandra menanggalkan bajunya. Dari cermin kamar mandi, Sandra masih bisa melihat beberapa tanda merah di d**a dan perutnya. Dia meraba semua tanda merah itu perlahan. Bukti percintaan panasnya dengan Ghani semalam masih terlukis di tubuhnya. Sayangnya, semua itu kini tidak lagi indah. Ghani telah membencinya. Sandra ingin tahu siapa yang telah memberi obat itu dan membuktikan pada Ghani bahhwa dia tidak bersalah. tapi Sandra tidak tahu caranya. Lagi pula, hatinya masih sakit dengan semua perkataan Ghani padanya. "Jalang." "Wanita murahan." Ya Tuhan, bagaimana mungkin Ghani bisa mengatainya seperti itu? Sandra mengela nafas. Dia lalu melangkah menuju bathup dan berendam. Dia akan berendam selama yang dia mau. Sandra tidak memperhatikan jam yang terus berdetak. Sandra masih saja terjebak dengan memorinya bersama Ghani. Hidup selama satu tahun dengan orang yang dicintainya, dipujanya. Dan saat Sandra mulai merasakan manisnya cinta, dia dihempaskan begitu saja oleh Ghani. Sandra menutup matanya. Tangannya terkepal erat. Tidak! Dia tidak boleh terjebak dengan perasaannya pada Ghani. Sandra tidak boleh lagi bersedih karena Sandra yakin ia tidak akan pernah memiliki Ghani. Ghani tidak akan terjangkau. Semua harapannya untuk bisa hidup selamanya dengan Ghani kini musnah. Sandra harus bangkit. Mungkin dia akan meminta izin ayahnya untuk liburan sebentar ke luar negeri. Ya, mungkin itu lebih baik. -- Pagi ini, Sandra bangun dengan muka yang lebih segar. Mata sembabnya sudah menghilang. Kepalanya juga sudah tidak pusing seperti kemarin. Setelah mandi dan berganti pakaian, Sandra turun untuk sarapan. Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Mungkin Mbok Darmi masih masak. Sandra berencana akan membantunya. “Pagi, Mbok,” sapa Sandra. Darmi yang sedang mengiris bawang, menoleh dan tersenyum. “Tidurnya nyenyak, Non?” tanya Darmi. “Iya, Mbok. Nyenyak seperti bayi,” jawab Sandra sambil tertawa. “Sepertinya pagi ini ada yang sedang senang sekali.” Suara Roni menginterupsi tawa Sandra. “Papa!” Sandra berlari memeluk Roni dengan erat. Rasa-rasanya dia tidak ingin melepas pelukan ini dan berharap ketika lepas, semua kejadiannya dengan Ghani kemarin adalah mimpi. “Wow!! Aku juga merindukanmu, Nak,” kata Roni sambil tertawa. Dan dia pun membalas pelukan anaknya. Sandra masih saja memeluk ayahnya. Dia memang sedang membutuhkan pelukan dari orang yang menyayanginya. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Roni keheranan. Sandra melepas pelukannya dan tersenyum. “Aku baik-baik saja, Pa.” “Mana Ghani?” tanya Roni. Air mata Sandra hendak tumpah saat mendengar pertanyaan Roni tapi dia terus menutupinya dengan senyuman. “Mas Ghani masih ada urusan kerja ke luar kota, Pa. Jadi, daripada aku di rumah sendiri, lebih baik aku ke sini saja. Aku sudah rindu masakan Mbok Darmi dan kue buatan papa.” Sandra menggandeng tangan papanya dan duduk di kursi makan. “Papa mau kopi?” tanyanya. “Boleh.” “Tunggu sebentar ya, Pa” Sandra pun berlalu dan membuatkan kopi untuk ayahnya dan teh jahe untuknya sendiri. “Diminum dulu, Pa.” Sandra menyodorkan kopinya. Roni tersenyum menerima kopi itu. Sandra duduk di samping Roni. Dia juga menikmati teh paginya. “Kamu rencananya berapa lama di sini?” tanya Roni. “Mmm, entahlah, Pa. Apa Papa keberatan aku menginap lama di sini?” “Bukan begitu, Sayang. Kalau memang lama, kenapa tidak ikut suamimu saja?” “Aku tidak ingin merepotkan Mas Ghani, Pa. Mmm, Pa. Sandra ingin berlibur ke luar negeri,” kata Sandra takut-takut. Tangannya dari tadi hanya memutar sendok tehnya. Dadanya berdegup karena gugup. Dia takut papanya bertanya macam-macam padanya. “Memangnya mau ke mana, Sayang?” tanya Roni. “Sandra ingin ke Jepang.” Sandra menatap papanya. Matanya menyiratkan keinginan yang dalam. Roni mengela nafas. Dia jadi berpikir kalau Sandra dan Ghani sedang bertengkar. Pulang sendiri dan menginap lama. Lalu malah memutuskan untuk ke Jepang sendiri. Sebagai orang yang pernah menikah, Roni wajar jika berpikir anak dan menantunya sedang berselisih. “Baik, jika itu maumu. Tapi sebaiknya kau berpamitan pada suamimu jika hendak berangkat,” kata Roni. Sandra tersenyum lebar. Lalu dia mengangguk dengan antusias. “Iya, Pa, tenang saja. Mas Ghani sudah memberi izin kok.” Roni ikut tersenyum lebar. Dia masih berharap pertengkaran rumah tangga putri satu-satunya ini hanya pertengkaran biasa. Jadi anaknya hanya butuh waktu untuk menyendiri selama beberapa hari. “Kapan rencanamu berangkat?” tanya Roni. Sandra menyipitkan matanya dan mengerutkan keningnya. “Mungkin besok atau lusa, Pa.” Lalu Darmi datang sambil membawakan sarapan. Sup merah dan tempura dibawa dengan nampan. Sandra dan Roni pun mulai sarapan. Setelah sarapan selesai, Roni pun berangkat ke kantor. Sandra pun berangkat ke kantor yayasan tidak lama kemudian. Dengan rok pensil navy panjang semata kaki, kemeja peach, dan sepatu boots, Sandra memasuki kantor kecil yang terdiri dari tiga lantai itu. Sandra sengaja datang ke kantor hari ini untuk mengalihkan pikirannya dari Ghani. -- Sandra melihat jendela kantornya. Ternyata matahari sudah mulai turun di barat. Sandra membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Semua pekerjaannya sudah di-handle. Dia tinggal mendisposisikan pada sub-sub terkait. Rencananya untuk terbang ke Jepang besok sudah siap. Mungkin lima hari cukup untuk menenangkan diri. Sandra sangat berharap dia bisa ke Jepang dulu sebentar sebelum surat cerainya. Dia ingin menata hatinya dulu sebelum menghadapi perceraiannya. Sandra keluar dari ruangannya dan menemui Feni, sekretarisnya. “Fen, ini semua sudah aku kerjakan. Aku besok ada urusan jadi tidak bisa ke kantor beberapa hari. Tapi kamu masih bisa hubungi aku seperti biasa.” “Baik, Bu,” jawab Feni. “Sudah waktunya pulang. Jangan lembur terlalu malam.” Sandra mengingatkan Feni. Feni tersenyum. “Iya, Bu.” Dia senang mendapat sedikit perhatian dari bosnya. Bahkan semua karyawan yayasan di sini sangat menyukai bos mereka. Sandra dikenal sangat baik dan ramah pada siapa pun tanpa pandang bulu. Sesampainya di rumah, Sandra melihat mobil ayahnya sudah terparkir di garasi. Sandra mengernyitkan keningnya. Tidak biasanya papanya pulang sebelum gelap. Ada apa ini? Sandra tiba-tiba merasa cemas. Dia pun melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. “Mbok! Mbok!” Seru Sandra. Darmi berlari dari arah dapur. “Iya, Non. Ada apa?” “Apa papa sudah pulang?” tanya Sandra keheranan. “Sudah, Non. Sepertinya Tuan Roni tidak enak badan. Mukanya pucat.” “Benarkah?” Darmi menjawab dengan anggukan. Sandra langsung melangkahkan kakinya ke kamar papanya. “Pa.” Sandra berjalan perlahan mendekati Roni. Saat itu, Roni sedang duduk di tepi ranjang. Dia hendak melangkah ke kamar mandi tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Mendengar namanya dipanggil, Roni menoleh. “Sudah pulang?” tanya Roni pada Sandra. Sandra tersenyum dan mengangguk. “Sudah, Pa.” Sandra duduk di samping Roni. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Roni, Sandra merasakan panas yang tidak biasa. “Papa benar sakit?” raut Sandra sudah menunjukkan kecemasan. “Tidak, Sayang. Papa hanya pusing sedikit,” Roni berkilah tapi bibirnya meringis menahan sakit. “Tapi badan Papa panas banget. Ke dokter ya, Pa?” Roni menggeleng. “Tidak apa-apa. Istirahat sebentar saja. Besok pasti sudah sembuh.” “Kalau begitu aku buatkan bubur saja. Papa istirahat.” Sandra pun keluar dari kamar Roni dan berjalan menuju kamarnya untuk mengganti baju sebelum memasak bubur. Melihat keadaan papanya yang seperti ini, sepertinya dia harus menunda kepergiannya ke Jepang. Hhh! Sandra tidak tahu apa takdir Tuhan. Belum sembuh hatinya, kini papanya juga sakit. Sandra terpaksa merelakan ke Jepang mengobati hatinya, berganti mengobati papanya di sini. Tapi, siapa tahu jika dia sibuk mengobati papanya, dia jadi bisa merelakan Ghani. Ah, Ghani. Bagaimana kabar suaminya itu? Ataukah benar dia masih suaminya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD