Sandra terbangun dengan rasa pegal dan lengket di bawah sana. Sandra merasa risi dengan rasa lengket itu. Tiba-tiba dia teringat penyebab rasa pegal dan lengket itu. Akhirnya setelah hampir satu tahun, Ghani menganggapnya istri yang sesungguhnya. Sandra tersenyum. Wajahnya memerah malu. Kilas-kilas adegan panas semalam masih menyisakan sensasi menggelitik dan nikmat yang bersamaan. Ghani menggagahinya berkali-kali semalam. Sandra tidak pernah membayangkan kalau suaminya ternyata bisa bermain selama itu.
Sandra menoleh ke samping. Kosong. Sepertinya Ghani sudah bangun, tapi kenapa Sandra tidak mendengar suara air.
Apa Ghani sudah berangkat? Jam berapa ini? Batin Sandra.
Sandra berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Sandra sedang tidak ingin berendam. Yang di bawah sana masih nyeri meski dia bisa berjalan dengan baik. Dia mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Setelah lima belas menit, Sandra keluar. Dia melihat jam. Ternyata sudah jam delapan pagi. Pantas saja suaminya sudah keluar.
Kamar tidurnya masih acak-acakan. Seprei dan bed cover tampak kusut dan tidak berbentuk. Beberapa spot terdapat bekas kenikmatan yang tertinggal. Ada satu dengan warna coklat bercampur merah darah.
Sandra tersenyum. Dia bahagia Ghani benar-benar menjadi yang pertama untuknya. Dalam hati, dia merasa sudah menjadi istri seutuhnya. Istri Ghani, pengusaha batu bara. Dulu, dia berpikir Ghani akan menceraikannya dalam keadaan perawan. Tapi melihat bagaimana bersemangatnya Ghani semalam, Sandra menjadi ragu Ghani masih ingin melepasnya.
Tiba-tiba dia merasa haus. Ternyata teko berisi air kemarin sudah tidak ada. Apa Mbak Kartini yang mengambilnya? Mungkin saja. Sudahlah. Lebih baik dia membersihkan kasur.
Sandra mendekat dan mengambil seprei dan bed cover yang sudah kotor itu, menumpuknya di keranjang kotor. Biar nanti Kartini yang memasang seprei baru. Setelah itu, dia memasuki lemari untuk mencari baju yang cocok. Sepuluh menit kemudian, Sandra keluar kamar.
“Mbak, apa Mas Ghani sudah berangkat?” Sandra bertanya pada Kartini.
“Tuan Ghani tadi berangkat pukul 6.30, Nona.”
Sandra terkejut. “Dia tidak sarapan?”
Kartini menggeleng. “Tidak, Nona. Sepertinya Tuan Ghani tadi terburu-buru. Tuan Dimas berangkat setelah sarapan.”
Sandra membelalak. “Papa!”
Dia benar-benar lupa jika ayah mertuanya semalam menginap di sini dan dia bangun kesiangan! Dia juga tidak menyiapkan sarapan seperti biasa! Ya ampun, Sandra malu sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Semalam Ghani terus saja mengusik tidurnya.
“Ya sudah, Mbak. Tolong kamarku dibersihkan. Aku akan sarapan dulu."
Kartini mengangguk. Dia segera berjalan menuju kamar tidur utama. Sandra pun melangkahkan kakinya ke dapur. Dia ingin membuat sarapan yang bisa meningkatkan staminanya setelah digempur semalaman. Jadi, Sandra akan memasak telur orak-arik dan tuna panggang.
Setelah sarapan, Sandra kembali ke kamar dan membuka laptopnya. Ada banyak pekerjaan yang harus diurusnya setelah acara amal semalam. Uang 5,5 milyar rupiah harus segera dikelola.
Tidak terasa, hari sudah menjelang sore. Sandra dari tadi masih betah di depan laptop. Tapi kini, perutnya melilit minta diisi. Jadi, Sandra menutup laptopnya dan keluar kamar. Saat di tengah-tengah tangga, Sandra melihat suaminya memasuki rumah. Seketika itu juga, senyum merekah di wajah Sandra.
“Temui aku di ruang kerja!” Ghani berkata dengan nada dingin dan aura membunuh yang kental.
Senyum Sandra langsung menghilang. Kenapa Ghani marah? Sandra langsung meremang. Apa Ghani marah karena semalam? Rasanya tidak mungkin karena Ghani terlihat sangat menikmati. Lagi pula, semalam Ghani berkali-kali menaikinya.
Ghani sudah menghilang dari pandangan dan terlihat memasuki ruang kerja. Sandra segera menyusulnya.
Sandra segera menutup pintu setelah memasuki ruang kerja Ghani. Ghani berdiri di depan meja dengan angkuh. Matanya memerah menahan amarah. Sandra berjalan perlahan mendekati Ghani.
Dengan kasar, Ghani melempar sebuah map ke arah Sandra. Karena jarak mereka yang tidak terlalu jauh, map itu otomatis mengenai tubuh Sandra. Sakit. Tubuh Sandra kini bergetar karena takut.
“Dasar tidak tahu malu! Aku sama sekali tidak menyangka kau akan berbuat licik hanya untuk tidur denganku!!” suara Ghani menggelegar memenuhi ruangan.
Sandra berjingkat kaget. Matanya mulai basah dengan air mata. “M-maksudmu a-apa, Mas?”
“Kau masih bertanya??? Aku pikir kau adalah wanita baik dan sopan. Aku sempat terlena dengan kesopananmu. Nyatanya kau sama saja dengan jalang di luar sana!!”
“Mas!! Tolong jaga ucapanmu!!” Air mata mulai turun di pipi Sandra.
“Apa yang harus aku jaga di depanmu?? Kau wanita busuk!!”
“Jelaskan apa kesalahanku, Mas? Apa yang sudah membuatmu marah?”
“Kau sengaja memberi obat pada air teko semalam, ‘kan?”
Mata Sandra membelalak. Mulutnya terbuka karena terkejut. Sandra sempat limbung, tapi dia berhasil menguasai dirinya.
“Mas, aku sama sekali tidak tahu apa pun tentang obat yang kau maksud. Jangan menuduhku sembarangan!”
“Semuanya sudah jelas. Map itu berisi kandungan yang ada di dalam air teko semalam. Alasan apa lagi yang akan kau utarakan, huh?”
Sandra segera menunduk mengambil map yang tercecer. Tangannya bergetar saat membacanya. Tertulis jelas di sana “Afrodisiak 30%”.
“Tidak. Ini tidak mungkin! Aku tidak melakukan ini, Mas. Percayalah padaku!” Sandra mengiba.
“Sayangnya, ini jelas tertulis begitu dan teko itu semalam ada di kamar,” sergah Ghani.
"Kau sengaja hanya memberi 30% saja agar terlihat seolah-olah aku memang tergoda olehmu. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa jahat dan liciknya dirimu!!"
Ghani tersenyum mengejek. “Aku baru menyadari kalau kau memang sengaja menyetujui papa menginap di sini agar aku bisa tidur di kamar denganmu lalu kau dengan liciknya menyiapkan air itu dan menaruhnya di dekat sofa agar aku meminumnya. Iya, ‘kan?? Dasar jalang murahan!! Kau ternyata sangat ingin aku tiduri sampai berbuat licik seperti ini!! Aku jadi semakin yakin akan menceraikanmu!”
Mata merah Ghani menatap nyalang. Telunjuknya mengarah ke wajah Sandra yang memucat. Lalu dengan sekali gerakan, Ghani melempar vas yang ada di meja kerjanya ke tembok.
PRANG!!
Vas mahal itu jelas tidak bisa diselamatkan. Sandra terlompat ke belakang karena terkejut. Tubuhnya melemas dan melorot. Dia pun terduduk di lantai. Air matanya tidak berhenti turun dari tadi.
“Tidak, Mas, bukan aku. Aku tidak pernah berpikir untuk melakukan ini. Aku tidak pernah punya rencana apa pun. Percayalah!”
BRAK!!!
Ghani memukul meja kerjanya dengan keras. Darah tampak mengalir dari tangannya. Nafasnya semakin memburu. Sandra terlonjak. Dia tidak pernah melihat Ghani semarah ini. Biasanya Ghani hanya akan mendiamkannya semalam lalu besoknya, semua kembali seperti biasa.
Setelah nafasnya kembali tenang, Ghani menatap Sandra.
“Jangan harap aku akan percaya. Aku bukan pria bodoh yang bisa kau tipu dengan trik murahanmu.”
Ghani berdiri tegak dan merapikan jasnya. “Masih tersisa sepuluh hari sampai tanggal pernikahan kita. Setelah itu, kau bisa pergi dari sini. Atau kau bisa pergi malam ini juga. Aku jijik melihat wajahmu!!”
Lalu dengan sisa-sisa kemarahan, Ghani keluar dari ruang kerjanya. Kakinya melewati Sandra begitu saja. Saat berada di dekat pintu, Ghani berhenti. “Aku akan mengirim surat cerainya.”
Dan Ghani pun keluar. Sandra merasa sangat sakit. Dia dituduh melakukan hal menjijikkan, dihina, dianggap tidak berharga. Harga dirinya diinjak-injak oleh orang yang dicintainya. Menurutmu apa masih kurang menyakitkan?
Setelah air matanya mereda, Sandra berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Dia akan pergi saat ini juga. Untuk apa menunggu lagi? Agar Ghani bisa kembali menghinanya? Mempermalukannya?
Sandra membuka kopernya dan mengambil bajunya, baju yang memang miliknya, bukan pemberian Ghani. Sandra juga melepas anting dan gelang dari Ghani. Semua disimpannya di kotak perhiasan di closet. Sandra hanya mengambil cincin pernikahannya. Bahkan buku nikahnya juga tidak dibawanya. Sandra akan pergi dari kehidupan Ghani untuk selamanya.
"Nona akan pergi?" tanya Kartini.
Dia sangat terkejut melihat Sandra menyeret sebuah koper kecil. Sandra tersenyum kecil. Dia meletakkan kopernya dan memeluk Kartini.
"Terima kasih untuk semua kebaikanmu. Ada hal yang harus aku lakukan. Jadi aku akan pergi. Jangan khawatir. Ghani sudah memberikan izin."
Sandra pun melepaskan pelukannya.
"Aku pergi dulu," ucap Sandra.
"Kapan Anda akan kembali?" tanya Kartini.
Sandra hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan Kartini. Dia pun melanjutkan langkahnya keluar rumah. Keluar dari rumah yang sudah satu tahun ini dihuninya. Meski Ghani bersikap acuh padanya, tapi kenangan manis itu pasti ada. Seperti saat Ghani tersenyum saat pertama memakan masakannya. Juga saat Sandra membuatkan kue ulang tahun untuknya. Ghani sangat menyukai kue itu hingga dia memakannya sendiri hingga habis. Juga saat malam amal saat Ghani terus-menerus menempel padanya dan memegang erat pinggulnya tanpa melepasnya. Dan jangan lupakan percintaan panas mereka semalam. Kini, Sandra tidak yakin apakah percintaan itu adalah sebuah kenangan indah karena fakta yang baru terungkap.
Huft. Apa pun itu, semua sudah terjadi. Dan Ghani sudah membencinya sampai ubun-ubun. Jadi, Sandra bertekad tidak akan lagi bertemu dengan Ghani. Sandra melajukan mobilnya keluar gerbang dan tidak lagi menoleh ke belakang.