Daniel Figa Bramastya tersenyum lebar saat memenuhi janji temu dengan Aleana Davisha Ravendra. Gadis cantik nan cerewet itu baru saja lulus dari kuliahnya di luar kota beberapa hari lalu. Hatinya berdebar saat senyum gadis itu menyambut kedatangannya.
Akhirnya hari yang sudah bertahun-tahun Daniel tunggu datang juga. Hari ini dia sudah siap, baik dari segi mental maupun finansial. Ia sudah siap memboyong Leana ke istana kecilnya, untuk duduk di singgahsana milik Daniel sebagai ratu.
"Kamu cantik banget," ucap Daniel saat gadis itu baru saja mendaratkan ciuman lembut di pipinya.
"Ih, makasih pujiannya. Setelah dua puluh dua tahun aku hidup akhirnya pecah telor juga, kamu mau mengakui kalau aku ini cantik."
Daniel tertawa mendengar tanggapan Leana akan pujiannya.
"Penting banget ya dapat pengakuan kalau kamu itu cantik?" tanya Daniel.
"Penting dong, itu menambah kepercayaan diriku," jawab Leana. "Ngomong-ngomong, kita ini mau makan atau ngobrol dulu, katanya ada hal penting yang mau kamu sampaikan?"
"Iya. Sesukanya kamu aja, mau makan atau ngobrol dulu."
"Makan dulu ya, aku lapar."
"Ya udah aku pesen dulu, kamu tunggu di sini sebentar."
Daniel lalu bangkit dari duduknya dan menuju meja tempat memesan makanan. Tanpa bertanya ia sudah tahu makanan apa yang menjadi favorit Leana. Mereka sudah bersama sejak kecil, jarak usianya yang tidak terpaut begitu jauh membuat mereka memiliki hubungan yang cukup dekat. Bahkan bisa di bilang sudah seperti keluarga. Daniel mengagumi, meyayangi, menjaga, bahkan mencintai Leana dalam diam. Ia sudah sempat ingin menyatakannya rasa cinta dan ingin memiliki itu pada Leana saat gadis kesayangannya lulus SMA, tapi begitu mendengar Leana begitu menggebu-gebu ingin kuliah di luar kota, Daniel urung menyampaikan keinginannya. Dia harus menahannya sampai Leana lulus kuliah.
Setelah makanan datang, mereka makan sambil berbincang ringan. Bukan pembicaraan utama seperti yang mereka bicarakan di telepon semalam.
Berkali-kali Daniel meraba saku celananya. Takut jika barang penting yang ia bawa untuk di berikan pada Leana sampai terjatuh dan hilang.
"Alhamdulillah, kenyang banget perutku. Makasih ya Daniel kamu udah sering banget kasih aku makan," ucap Leana. Tidak hanya dulu maupun hari ini, Daniel memang sesekali mengirimi uang jajan untuk Leana sewaktu masih menempuh pendidikan di luar kota. Hubungan mereka masih sangat baik meski terbentang jarak.
"Hanya makanan Na, tidak usah berlebihan. Sekarang mau aku atau kamu dulu yang bicara penting?" tanya Daniel.
"Ehm, sebentar. Biar aku tebak kamu mau bicara apa?"
"Memangnya kamu bisa menebak?"
"Bisa dong, pasti ini berhubungan dengan perempuan? Bener nggak?"
Daniel mengernyitkan kening. "Iya, betul."
"Kamu jatuh cinta sama seseorang."
"Iya," jawab Daniel mantap sambil menatap dalam mata Leana.
"Kamu udah pengin nikah dan mau lamar dia?"
"Bisa jadi."
"Oke, kalau gitu aku dulu yang bicara dan kasih tahu kamu sesuatu."
"Silahkan."
Leana tidak langsung bicara, tapi menunjukkan tangan kirinya pada Daniel.
"Apa?"
"Lihat ini, aku di lamar Pak Bian dosen muda idola semua cewek di kampusku yang pernah aku ceritakan ke kamu Niel," ucap Leana penuh semangat.
Daniel terdiam. Tubuhnya membeku, tangannya mengurungkan niat mengambil sesuatu di saku celananya. Ia lalu menatap sebuah cincin yang bertahtakan berlian melingkar di jari manis Leana.
"Kamu bercanda 'kan Na?" tanya Daniel tak percaya.
"Kok bercanda sih, nggak percaya kalau aku laku. Emang kamu doang yang punya niat buat nikah muda?" tanya Leana kesal.
"Selama ini kamu nggak pernah cerita kalau udah punya pacar disana, Na?" tanya Daniel dengan tenggorokkan tercekat.
"Kita emang nggak pacaran. Kalau kata orang cuma taaruf aja mungkin. Beliau orangnya alim banget Niel, nggak pernah macem-macemin aku. Pegang tanganku aja nggak pernah."
Daniel berusaha untuk tersenyum meski hatinya remuk redam. Ia tak menyangka jika akan kehilangan Leana bahkan ketika dia belum sempat memilikinya. Perjuangan dan penantian yang selama ini ia lakukan terasa begitu sia-sia. Lebih dari separuh hidupnya, kepala Daniel hanya terisi dengan satu nama yaitu Leana. Tiga tahun, hanya tiga tahun ia terpisah dari Leana karena mereka tidak berada di kota yang sama. Dan Daniel harus mendapatkan hasil akhir tak terduga seperti ini.
Lalu setelah ini kemana kakinya harus melangkah, saat tujuan hidupnya sudah mempunyai tujuan lain? Melangkah bersama sepasang kaki lain, bukan bersama dua kaki miliknya.
"Kita akan menikah satu bulan lagi."
Telinga Daniel berdenging dan tak bisa mendengar kata-kata selanjutnya dari Leana dengan baik. Ingin rasanya ia berlari dan berteriak. Daniel tak bisa membayangkan tubuh Leana di sentuh laki-laki lain. Tubuh yang sudah ia jaga dari banyak teman laki-laki Leana saat sekolah dulu seharusnya jadi miliknya. Bukan seperti ini akhir yang Daniel inginkan.
"Apa tidak bisa di undur atau di batalkan saja?" tanya Daniel serius tapi di anggap hanya candaan bagi Leana.
"Ya nggak bisalah, Mas Bian sama keluarganya bahkan sudah sampai rumah dan ketemu Mama-Papa."
Daniel menatap Leana dengan mata memerah. "Apa aku kamu anggap se-tidak penting ini Leana? Sampai hal sebesar ini baru kamu kasih tahu aku sekarang?" tanya Daniel dengan d**a bergemuruh.
"Kan buat kejutan."
"Dan kamu sangat berhasil membuatku terkejut."
"Emangnya kenapa sih Niel, kamu nggak suka?"
Daniel tak bisa memjawab, ia hanya bisa menahan sesak. Seandainya ia nekad menghancurkan rencana pernikahan Leana, keluarga Leana pasti akan menanggung malu dan jika ia memaksakan kehendak pada gadis di depannya ini ia takut Leana akan membencinya seumur hidup. Satu-satunya jalur paling aman adalah ia memilih untuk memendamnya dan hancur sendirian.
"Mukanya jangan gitu dong aku takut," ucap Leana melihat raut wajah Daniel yang tak bersahabat.
"Maaf."
"Sekarang giliran kamu, apa kabar baik yang mau kamu sampaikan?" tanya Leana.
"Aku mau meneruskan kuliah dan juga pekerjaanku di luar negeri," jawab Daniel spontan.
"Loh, katanya?"
"Karir dan pendidikan lebih penting dari apapun."
Kenyataan membuat Daniel putar arah dan merubah rencana hidupnya seketika. Satu yang ia syukuri dia tidak pernah memberitahukan pada orang lain akan perasaannya terhadap Leana, jadi cukup ia yang sakit sendirian tanpa membuat orang lain khawatir, termasuk kedua orangtuanya.