Permintaan Mamanya membuat Daniel dilema. Jika boleh jujur ia masih se-sayang itu dengan Leana, bahkan mendengar suaranya saja masih membuat hatinya berdebar. Akan tetapi ada perasaan lain yang menghalangi. Leana tidak salah, dia tidak pernah tahu perasaan yang dirinya miliki sehingga mau menerima lamaran dan menikah dengan lelaki lain.
Menyalahkan Leana karena rasa sakit dan kecewanya pada diri sendiri mungkin terlalu berlebihan. Tapi itulah yang Daniel rasakan, ia sakit hati, kecewa pada diri sendiri karena penantian dan pengorbanannya bertahun-tahun berakhir sia-sia. Dan ketika mendengar Leana sudah bercerai dari suaminya ia membenci status janda yang di sandang Leana. Jika pada akhirnya bercerai, dan Leana di jodohkan dengannya, kenapa pernikahan itu harus ada? Seolah hanya untuk memberi noda pada keutuhan cinta yang ia punya untuk Leana.
"Aku pikir-pikir dulu ya Ma," jawab Daniel.
"Mikirnya jangan kelamaan biar Mama bisa langsung omongin ini ke Tante Alea. Kalau kalian setuju kita tinggal susun rencana acara biar pernikahannya cepat di lakukan."
Daniel menghembuskan nafas berat. Mamanya bertanya, tapi sepertinya sembilan puluh sembilan persen sudah berharap jawabannya adalah iya.
"Ma?"
"Ya?"
"Sudah sejak kapan Leana bercerai?" Daniel tidak bisa menahan pertanyaan ini terlalu lama.
"Udah lama, kalau nggak salah Alea hanya bersama dengan suaminya setahun lebih," jawab Davita mengingat-ingat.
Daniel tersenyum miris. Leana benar-benar mempermainkan hatinya. Kenapa memutuskan menikah jika hanya untuk coba-coba?
"Masalahnya apa Ma, apa yang membuat mereka bisa sampai bercerai secepat itu?"
"Mama kurang tahu, tapi setahu Mama mereka pisahnya baik-baik," jawab Davita.
"Mama yakin? Aku rasa tidak ada rumah tangga yang bubar kalau emang baik-baik aja Ma."
"Iya juga sih, tapi Mama nggak ada dengar mereka ada masalah Niel, setelah bercerai juga Leana terlihat baik-baik saja."
"Apa Leana sudah pernah hamil?"
"Setahu Mama belum. Atau mungkin karena itu mereka pisah? Iya juga ya, apa karena Leana belum kunjung punya anak makanya mereka cerai?" ucap Davita bertanya-tanya.
"Jangan menebak-nebak Ma, nanti jatuhnya fitnah. Usia pernikahan satu tahun belum bisa di katakan bercerai karena masalah belum punya anak."
"Tapi Mama jadi kepikiran. Kalau buat Mama sih mau Leana bisa punya anak atau tidak nggak masalah, Niel. Keputusan ada di tangan kamu mau Mama jodohin sama Leana atau tidak."
"Kasih aku waktu semalam aja Ma buat mikir. Besok pagi aku kasih tahu jawabannya."
"Benar ya, Mama berharap banget kamu mau. Siapa tahu emang Leana di takdirkan untuk jadi istri kamu makanya dia bercerai dari suaminya. Kalau dulu Leana belum bisa punya anak siapa tahu sama kamu nanti gampang."
***
Untuk meredakan suara berisik di kepalanya, Daniel memutuskan untuk keluar rumah. Tapi tujuannya bukanlah keramaian, ia menjalankan mobilnya menuju ke sebuah rumah. Rumah impian yang ia bangun dan berharap Leana yang menjadi pengisi utamanya.
Meski di tinggalkan lama, Daniel mempercayakannya pada seseorang untuk merawat rumah itu agar tetap bersih dan tidak rusak.
Daniel membuka pintu utama rumah itu dan tersenyum miris. Seandainya hari itu Leana menerima lamarannya dan bukan malah menunjukkan cincin lamaran dari laki-laki lain mungkin saat ini rumahnya sudah terisi dengan suara ramai anak kecil. Cita-cita lain Daniel selain memiliki Leana tentu saja ingin punya anak dari wanita yang di cintainya itu. Daniel bukan laki-laki berhati suci yang bisa mencintai tanpa nafsu. Ia mencintai Leana sudah sepaket dengan nafsu ingin menyentuhnya.
Daniel lelaki normal, melihat wanita yang ia cintai bohong jika tidak ada rasa ingin menyentuhnya. Bahkan mungkin saat sesekali Leana tertidur di kamarnya, ia sudah pernah melakukannya. Mencium leher dan bibir Leana tanpa izin.
Leana adalah satu-satunya wanita yang ada dalam bayangan Daniel akan ia sentuh. Bahkan mimpi indah Daniel selalu berisi Leana. Dan hal itulah yang membuatnya gila. Rasa dan bayangan itu yang membuat Daniel sulit menerima kenyataan jika tubuh Leana sudah pernah di sentuh laki-laki lain.
Daniel masuk kedalam kamar utama di rumah itu. Kamar yang ia siapkan untuk ia dan Leana tidur. Melihat pakaian baru Leana yang tertata di lemari membuat Daniel tertawa karena dulu ia se-percaya diri itu, dan mempunyai mimpi sejauh itu. Dan ketika saat ini mimpi itu seperti bisa ia gapai meski sudah terlambat, haruskah ia kembali meraihnya?
Daniel mengambil sebuah kotak perhiasan berwarna biru tua yang ia simpan di laci kamarnya. Masih utuh, seperti perasaannya pada Leana. Daniel akan membawanya pulang nanti kalau memang ia bisa meng-iyakan keinginan Mamanya benda itu akan ia gunakan lagi.
Daniel masuk kedalam kamar mandi, mengambil air wudhu lalu masuk kembali ke kamarnya. Ia mengambil sebuah sajadah yang di sebelahnya terdapat mukena baru untuk Leana. Daniel masih percaya pada sebuah ritual sholat yang bisa menentukan jawaban untuk masa depannya.
***
Pagi harinya Daniel turun dari kamarnya dengan perasaan lebih tenang, ia sudah memiliki jawaban yang akan ia berikan pada Mamanya.
Pandangan Daniel terpaku pada seorang wanita yang tengah sibuk membantu Mamanya memasak di dapur. Tentu saja itu bukan Bella adiknya yang takut api.
Daniel mengurungkan niat menghampiri Mamanya untuk menyampaikan jawaban pertanyaannya. Ia lalu menghampiri sang Ayah yang pagi-pagi sudah sibuk dengan laptopnya.
"Pagi, Pah."
"Pagi. Kamu udah bangun? Padahal setahu Papa kamu pulang malam."
"Tidur empat jam sudah cukup."
"Jangan di biasakan nggak sehat, kamu masih muda perjalanan masih panjang, jaga kesehatan biar nggak menyesal pas tua nanti. Kamu nggak mau 'kan anak masih kecil udah sakit-sakitan?" tanya Papanya.
"Siapa sih orang yang pengin sakit, Pah?"
"Ya makanya jaga kesehatan, makan juga jangan sembarangan. Solusinya nikah Niel biar ada yang masakin makanan sehat di rumah," saran sang Ayah.
"Kalau cuma masalah makanan sehat solusinya bukan cuma nikah Pah, catering makanan begitu sudah banyak sekarang. Belum tentu juga nikah dapat istri yang suka makanan sehat, kalau yang sukanya jajan sama makanan micin sama aja bunuh diri namanya Pah," jawab Daniel.
"Kan calon istri bukan cuma Leana saja Niel."
"Kok malah jadi Leana?"
"Ciri-ciri istri yang kamu sebutkan tadi Leana, dia suka jajan dan makanan bermicin. Hampir setiap datang bawa makanan yang dia beli di luar," jawab Bram.
"Aku nggak ada niat buat nikah sama Leana kok Pah."
Bram sedikit terkejut. Ia tahu Davita istrinya sudah menanyakan hal ini pada puteranya, dan ia merasa tidak yakin dengan jawaban Daniel.
"Berarti jawaban kamu atas pertanyaan Mama adalah tidak?"
"Iya," jawab Daniel mengangguk mantap.
"Kamu yakin?"
"Yakin."
"Alasannya?"
"Dia udah jadi janda Pah, aku nggak suka," jawab Daniel jujur.
Bram menutup laptopnya. Dari jawaban Daniel ia menyimpulkan anaknya ini masih mencintai Leana dan menolaknya hanya karena status.
"Dengar Niel, meski kamu tidak pernah mengatakan, tapi Papa tahu perasaan kamu ke Leana. Itu alasan dulu kamu pergi bukan? Papa tidak akan melarang kamu menikah dengan siapapun. Kamu menerima atau menolak keinginan Mama buat jodohin kamu sama Leana juga Papa ikut keputusanmu saja. Tapi satu yang jadi pertanyaan buat Papa. Apa kamu yakin mau melepas kesempatan ini? Kamu akan siap jika menyaksikan pernikahan Leana dengan lelaki lain untuk kedua kalinya? Coba kamu lihat dan perhatikan Leana baik-baik. Apa kamu benar-benar rela tubuh Leana di miliki laki-laki lain, sekali lagi? Coba kamu pikirkan baik-baik Niel sebelum membuat keputusan. Jangan hanya berpatokan perkara statusnya yang seorang janda."
Dari sekian banyak pertanyaan Papanya mungkin jawaban terbanyak adalah kata, tidak. Dan alasan Daniel menolak Leana memang hanya karena dia janda. Bahkan ketika ia bertanya pada sang Pencipta saja jawabannya adalah, iya. Dalam waktu tidurnya selama empat jam ia bermimpi jika Leana adalah istrinya. Tapi logika dan kepala Daniel mengatakan ia tidak perlu menyiksa hati dengan menikahi Leana. Akan tetapi pertanyaan Papanya membuat ia berpikir lagi. Benarkah ia bisa merelakan Leana untuk lelaki lain saja, membiarkan pahatan sempurna tubuh Leana di sentuh laki-laki lain lagi?