Waktu lima tahun tinggal di negara orang memberikan banyak sekali perubahan pada seorang Daniel, baik dari segi tubuh karena sudah dewasa maupun sikap dan pergaulannya yang lebih luas. Tujuannya datang kesana untuk menuntut ilmu sudah banyak ia dapatkan, untuk pekerjaan saat ini dia sudah mendapatkan kemudahan. Hasilnya pun tidak bisa di bilang sedikit. Tabungannya sebagai lelaki dewasa sudah menumpuk karena ia bukan tipe lelaki yang suka berfoya-foya.
Daniel betah, ia nyaman tinggal di negeri orang. Sayangnya curahan hati sang Ibu beberapa hari terakhir ini mengusik ketenangannya. Ibunya ingin Daniel segera menikah, karena Bella adik perempuannya tidak mau menikah lebih dulu dan melangkahi dirinya.
Permintaan Ibunya terasa berat karena Daniel tidak mempunyai kekasih yang bisa di nikahi. Bukan karena dia tidak laku, tapi hati dan otaknya terus saja membandingkan dan mengingatkannya pada seseorang jika ia mulai dekat dengan wanita. Jujur Daniel lelah karena waktu sepanjang ini tak bisa membuatnya lupa, tak bisa membuat rasa yang di milikinya pada seorang wanita yang telah bersuami berubah.
Daniel menghembuskan nafas berat. Sambil menata baju kedalam kopernya ia memantapkan hati untuk pulang. Ia akan menghadapi semua bahkan jika kedua orangtuanya akan menjodohkan dirinya dengan seseorang. Mungkin memang sudah saatnya ia harus menikah agar bukan hanya nama wanita itu saja yang ada di dalam kepalanya dan Bella juga bisa segera menikah karena sudah berpacaran dengan kekasihnya cukup lama.
Dengan hati yang ikhlas dan lapang d**a, Daniel memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Menerima seperti apapun masa depan yang sudah di rancang Tuhan untuknya. Ia yakin bisa melupakan seorang Leana. Wanita yang tak pernah mau ia ketahui kabar keberadaannya setelah menikah. Keluarganya memang pernah hampir membahas tentang Leana tapi Daniel selalu melarangnya dengan alasan tidak mau mendengar kabar dari istri orang. Beruntungnya mereka mengerti, atau kalau ada pembahasan yang menjurus kesana Papanya selalu mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
Kepulangan Daniel di sambut bahagia bahkan air mata oleh Mamanya.
"Kamu kok baru mau pulang setelah Mama menua begini sih, Niel? Jahat banget." Ucap Davita sambil mengusap air mata menyambut kepulangan putera tercintanya.
"Ya maaf Ma, habisnya aku betah di sana."
"Tapi betahnya kamu kebablasan tahu."
"Maaf."
"Ya udah kamu istirahat dulu. Mama mau masak dulu buat makan malam. Kamu pasti kangen masakan Mama 'kan?"
"Banget."
Setelah bertemu dan berbincang sebentar dengan keluarganya, Daniel masuk kedalam kamar lamanya untuk beristirahat. Perjalanan yang cukup jauh membuatnya lelah dan mengantuk.
***
Malam harinya Daniel turun untuk makan malam. Acara makan malam itu berjalan baik-baik saja, mereka membicarakan banyak hal yang ia lewatkan. Sampai pada saat sang Ibu yang menyinggung tentang Leana.
"Niel, kamu kangen Leana nggak? Tadinya Mama mau undang dia kesini buat makan malam tapi nggak jadi."
"Enggak Ma, tidak baik juga kangen sama istri orang."
"Kok istri orang sih?"
"Ma?" Bram mencoba mencegah sang istri agar tak terlalu banyak membahas tentang Leana.
"Bentar, Mas. Dari dulu kamu selalu larang aku buat cerita tentang Leana ke Daniel 'kan? Tapi saat ini situasinya udah beda, Daniel udah pulang. Jadi izinkan aku memberitahu kabar tentang Leana. Biar bagaimanapun dulu mereka teman dekat."
Bram hanya bisa menghembuskan nafas berat jika sang istri sudah mengeluarkan nada ngototnya seperti ini.
"Ya sudahlah terserah kamu saja."
"Memangnya apa yang terjadi dengan Leana, Ma?" tanya Daniel.
"Dia udah bukan istri orang lagi Niel," jawab Mamanya.
"Maksudnya?"
"Leana sudah bercerai lama dari suaminya."
"Oh." Daniel berharap terlalu jauh, jika ia mendengar Leana dulu gagal menikah dan bukan malah telah bercerai dari suaminya mungkin akan sedikit melegakan hatinya. Sayangnya ia tak seberuntung itu. Tapi seperti apapun status Leana saat ini, itu sudah bukan urusannya lagi.
"Jadi gimana, kamu mau ketemu dia nggak? Pasti Leana seneng banget deh kalau tahu kamu pulang. Dia sering banget nanyain kabar kamu, tapi Papa larang Mama kasih nomor kontak kamu ke dia, katanya takut ganggu kamu disana."
"Nggak perlu, Ma. Aku bukan pulang buat dia."
"Ya elah, jual mahal amat sih lo Kak. Timbang ketemu doang, lo juga jomblo nggak ada yang marahin kalau ada ketemu cewek," sahut Bella adiknya. Sejak tadi dia kalem saja, tapi ketika sang Kakak terdengar meremehkan dan tidak menganggap sohibnya, Bella tidak terima.
"Gue nggak ada minat sama janda, Bel."
"Dih, meremehkan. Biarpun janda, Leana itu cantiknya melebihi ABG. Pokoknya dia itu janda kembang paling top, bohay, belum ada anak lagi."
"Nggak usah promosi."
"Ya kali aja lo tertarik, biar gue bisa cepet nikah juga."
"Gue nggak keberatan kalau mau lo langkahin kok, Bel."
"Sudah-sudah, kalian ini. Lama nggak ketemu sekalinya ketemu malah adu mulut," sela Bram menengahi.
Daniel tak lagi melanjutkan perdebatan karena menghormati sang Ayah, ia kemudian melanjutkan makannya. Meski bertanya-tanya akan status Leana yang saat ini sudah menjadi janda ia berusaha untuk tidak peduli. Sekali lagi itu bukan urusannya, sedekat apapun mereka dulu sudah tak ada artinya sejak Leana membuat hatinya patah karena memilih menikah dengan laki-laki lain.
"Selamat malam semua."
Daniel menghentikan suapan sendok ke mulutnya ketika mendengar suara yang tak asing menyapa telinga.
"Anna, kamu panjang umur banget Sayang, sini-sini," ucap Davita senang.
"Maaf datang malam-malam, aku baru pulang dari Jogja tante, liburannya nambah satu hari nggak jadi pulang kemarin. Ini aku bawain gudeg pesenan Tante, takutnya kalau aku anterinnya besok udah nggak sama lagi rasanya," jelas Leana.
"Oh iya, maaf ya Na jadi ngrepotin kamu."
"Nggak kok, Tante. Aku malah senang," jawab Leana.
Leana yang dulu memanggil Davita dengan sebutan "Mama" memang sudah merubahnya ketika menikah dulu, demi menghargai suami dan Ibu mertuanya.
"Oh ya kebetulan banget kamu kesini, Daniel udah pulang baru sampai tadi siang."
"Aku balik ke kamar dulu Ma, udah kenyang mau lanjut tidur."
"Loh, kok?"
"Ya biarin Ma, namanya masih capek."
"Maaf ya, Na."
"Nggak apa-apa kok Tante, aku juga buru-buru. Besok bisa balik kesini lagi buat ketemu Daniel."
"Ya udah kamu hati-hati pulangnya ya. Terimakasih oleh-olehnya."
"Iya Tante. Bell, oleh-oleh buat kamu masih di rumah belum sempat buka koper, gue bawa kesini besok ya?"
"Iya nggak apa-apa santai aja."
Setelah kepergian Leana dan selesai makan malam, Davita segera naik kekamar anak laki-lakinya. Ada sesuatu penting yang ingin ia sampaikan.
Setelah mengetuk pintu dan di bukakan oleh Daniel ia segera masuk.
"Ada apa Ma?"
"Kamu ini kenapa sih, itu Leana loh, masa kamu cuekin?"
"Ya kenapa emangnya kalau dia Leana?"
"Kamu jangan cuek begini ya Niel, Mama berniat menjodohkan kalian. Dulu kalian dekat banget, Mama ingin kembali ke masa-masa itu. Mama pengin jadikan Leana anak Mama beneran Niel, kamu mau 'kan nikah sama dia?"
"Tapi, Ma?" Lidah Daniel kelu, ia terkejut dengan permintaan Mamanya. Sekali lagi ia bukan pulang untuk Leana. Tapi apa iya dia sanggup menolak keinginan Mamanya? Bukankah dia sudah berjanji untuk menerima siapa pun jodoh yang di pilihkan orangtuanya? Tapi ini Leana, gadis kesayangannya dulu yang saat ini sudah menjadi janda.
Mungkin ini terdengar kasar, tapi ia tak berhasrat sama sekali jika mengingat Leana adalah seorang janda, wanita yang tubuhnya sudah di jamah laki-laki lain. Bagaimana ia bisa menjalani hari-hari jika sampai menikahinya? Satu yang yang ia khawatirkan adalah tak bisa memberi nafkah batin pada Leana karena rasa tidak sukanya. Bayang-bayang wanita itu sudah pernah di sentuh laki-laki lain sangat mengganggu pikirannya.