Kukuh mengusap wajahnya gusar, laki-laki itu menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya yang empuk. Laptonya dibiarkan menyala tanpa dia garap satu pun tugasnya. Kukuh masih memikirkan agar Eci tidak berniat keluar perusahaannya. Hari ini dia bisa menahan Eci untuk tidak keluar, tapi kedepannya? Siapa yang akan menjamin kalau Eci tidak ada niatan keluar lagi?.
“Atau aku pergi cari guna-guna juga ya?” tanya Kukuh pada dirinya sendiri. Siapa tau dengan guna-guna, Eci akan terkewer-kewer dengan perusahaannya. Kukuh menggelengkan kepalanya. Kalau dia meniru cara Eci yang sering menggunakan pelet untuknya, dia sama tidak warasnya dengan gadis itu.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu membuat Kukuh menendangkan kakinya di kaki meja dengan keras. Siapa gerangan orang yang berani mengganggu waktu pentingnya ini.
“Masuk!” teriak Kukuh dengan ngegas.
Seorang pria berusia dua puluh lima tahunan masuk dengan membawa rantang putih. Kukuh yang melihat adiknya yang datang, lantas mengusap dadanya lega. Kalau bukan adiknya, sudah pasti dia akan menendang oang itu sampai tidak bisa jalan.
“Mas, kamu lupa jalan pulang?” tanya Adiyaksa meletakkan rantang di meja kerja kakaknya.
Adiyaksa Wijaya, adik kandung Kukuh Wijaya dan Kakak Elleana Wijaya. Adiyaksa pria yang sama yang dijodohkan dengan Eci. Nainawati merasa frustasi dengan Kukuh yang tidak kunjung mau menikah, makanya dia berniat menjodohkan Adiyaksa terlebih dahulu. Siapa tau saat Adiyaksa menikah, Kukuh jadi mempunyai keinginan juga. Namun sialnya Adiyaksa memilih calon memperlai wanita yang salah kaprah. Kukuh anak pertama Nainawati yang sangat membangkang, saat disuruh meneruskan usaha keluarganya Kukuh kekeuh tidak mau. Kukuh juga jarang pulang ke rumah, sampai dia tidak tau kabar apa-apa tentang orang rumah. Telfon pun Kukuh sangat jarang, karena Kukuh terlalu malas bila harus membahas pernikahan. Kukuh hanya tau kalau adiknya dijodohkan, tapi batal. Entah gadis mana yang berani menolak adiknya, bathin Kukuh.
“Ada apa kamu ke sini?” tanya Kukuh.
“Aku nanya Mas, malah balik nanya. Ibu nungguin mas pulang,” ujar Adi.
“Aku akan pulang pas lebaran,” jawab Kukuh.
“Lebaran apa, Mas? Lebaran kura-kura? Lebaran sapi atau lebaran macan? Kamu dari dulu ditanya kapan pulang selalu jawab kalau pulang pas lebaran. Rumah ibu dan rumah kamu deket, Mas. Masak gak bisa sih sekadar mampir sebentar,” omel Adi.
“Gak bisa. Males kalau disuruh nikah terus,” jawab Kukuh.
“Mas, kamu sudah hampir kepala tiga loh. Kamu gak pengen apa dipanggil ayah?” tanya Adi menaikkan sebelah alisnya.
“Ribet!” maki Kukuh.
“Mau sampai kapan kamu gila kerja begini, Mas?”
“Sudah-sudah jangan urusi aku, mau apa kamu ke sini?”
“Aku ke sini karena dapat kabar kalau calon istriku kerja di sini, Mas,” jawab Adi. Kukuh menajamkan penglihatannya. Pikiran Kukuh mengarah ke hal yang tidak baik, siaal dia merasa terancam. Adi, nama yang sama yang mengirim pesan pada Eci dan yang menelfon Eci tadi.
“Pulang!” titah Kukuh menunjuk pintu. Adi kelabakan, dia bingung apa yang dimaksud kakaknya.
“Pulang, Adi!” titah Kukuh lagi.
“Mas, aku baru sampai. Kenapa disuruh pulang?” tanya Adi beranjak berdiri.
Braak!
Kukuh menggebrak meja dengan keras, dia menatap adiknya penuh permusuhan. Dia yakin kalau Adi yang ada di hp Eci adalah Adiyaksa adiknya sendiri. Kukuh menyesal saat tidak mau tau tentang perjodohan adiknya, andai dia tau kalau Eci lah yang dijodohkan dengan Adi, sudah pasti Kukuh akan memporak-porandakan lamaran itu. Yang membuat Kukuh lebih kesal adalah, Ibunya bilang lamarannya batal karena calon perempuannya tidak sopan, tapi kenapa Adi dan Eci masih berhubungan?.
“Lah kok mas ngamuk?” tanya Adi dengan tampang tak berdosanya.
“Keluar Adiyaksa!” teriak Kukuh dengan amarah yang jelas sekali terlihat.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuat kakak adik itu menolehkan kepalanya. Kukuh menatap penuh permusuhan ke arah Eci yang kepalanya menyembul di sela pintu, sedangkan Adi tersenyum cerah saat akhirnya menemukan Eci. Kukuh memaki-maki dalam hati, kenapa Eci datang di saat yang tidak tepat seperti ini. Baru saja Kukuh menyusun strategi dalam otaknya tentang cara menyembunyikan Eci, lah Eci malah muncul sendiri.
“Maaf mengganggu waktunya, bapak Kukuh yang terhormat. Saya mau menyerahkan berkas penting untuk bapak,” ucap Eci dengan cengengesan.
“Sini!” titah Kukuh sembari mengisyaratkan dengan tangannya agar Eci mendekat. Eci masuk seutuhnya ke ruangan Kukuh dan menutup pintu dengan pelan.
“Sini, Eci!” titah Kukuh lagi dengan suara tegas.
“Sepertinya tanda-tanda hukuman mulai terlihat,” gumam Eci yang bisa didengar Adi. Adi tersenyum lembut melihat tingkah gadis itu.
“Cepat!” bentak Kukuh.
“Iya iya ini ke situ,” ucap Eci mendekati Kukuh.
“Kyaaaa!” teriak Eci memekik kencang saat Kukuh mencengkram leher belakangnya dengan erat. Perasaan Eci tidak salah apa-apa dan tidak jadi keluar kerja, tapi kenapa Kukuh malah menyakitinya?.
“Mas, kamu apakan Dek Eci, lepasin!” ucap Adi mendekati Kukuh.
“Tetap di tempatmu, Adi!” ujar Kukuh menatap tajam adiknya.
Eci bingung dengan situasi yang sangat menegangkan ini. Ia melihat wajah Adi dan Kukuh bergantian, sekilas tampak mirip. Sungguh Eci merasa terharu mengetahui fakta ternyata Adi adalah saudara Kukuh, nama belakang mereka sama. Andai Kukuh yang ditawarkan pada Eci, sudah pasti Eci akan mau tanpa harus drama angkat satu kaki saat makan. Namun tiba-tba saat Eci terus membandingkan wajah keduanya, Eci baru sadar kalau lebih ganteng Adi, dan wajahnya juga lebih bersahabat Adi.
“Waah ada rantang!” teriak Eci melepas paksa tangan Kukuh dari lehernya.
“Iya, Eci. Itu gudeg, kamu mau makan?” tawar Adi membantu membuka rantang yang tadi dia bawa.
“Boleh aku makan, Mas Adi?” tanya Eci berbinar.
Kukuh mendelikkan matanya. Dia tidak suka dengan cara main Eci. Saat dengan dirinya saja Eci memanggil dengan sebutan formal, saat dengan Adi dengan sebutan layaknya orang dekat.
“Wah baunya enak banget,” ucap Eci saat Adi berhasil membuka makanan itu.
“Kalau soal makanan saja kamu paling gercep!” sinis Kukuh.
“Mas kalau Eci salah, nanti saja marahinnya. Ingat, jangan pakai kekerasan! Sekarang biar Eci makan dulu! Palingan juga kamu gak mau makan,” oceh Adi menarik Eci untuk menuju sofa. Eci mulai memakan gudeg itu yang rasanya sangat enak.
“Eci, kamu biasa makan dengan mengangkat satu kaki, kan? Angkatlah, tidak akan ada yang marah!” ucap Adi membantu kaki Eci agar terangkat ke sofa.
Panas, panas, panas! Itu lah yang bisa menggambarkan suasana hati Kukuh. Kukuh nyaris kebakaran saat melihat kebersamaan Adi dan juga Eci. Kukuh meremas berkas penting dengan geram. Eci tampak santai makan dengan Adi tanpa mempedulikan Kukuh yang hampir jadi abu saking panasnya.
“Enak banget, Mas. Makasih ya!” ucap Eci.
“Kalau kamu mau lagi, Mas bisa bawakan untuk kamu,” ujar Adi. Tangan Adi sudah terangat ingin mengelus puncak kepala Eci, tapi sebuah suara membuatnya menegang.
“Turunkan tanganmu atau aku patahkan sekarang juga?” bentak Kukuh menggelegar. Ternyata mata Kukuh tidak berhenti mengawasi Adi dan Eci.
Adi meletakkan tangannya kembali. Ia melihat wajah garang kakaknya yang siap menerjangnya hidup-hidup. Eci yang melihat Kukuh semarah ini jadi sedikit takut, dia memberesi rantang yang isinya sudah ludes. Setelah bersendawa kecil, Eci berdiri dan akan kabur dari kandang singa.
“Tetap di tempatmu, Eci!” titah Kukuh.
“Saya mau-“
“Tidak ada bantahan!” Sela Kukuh yang membuat Eci mencibir, dia kembali duduk di sofa.
“Keluar kamu Adi! Dan jangan pernah kembali kalau bukan aku yang memintamu!” tegas Kukuh.