CHAPTER-11. CAMOUFLAGE.

2372 Words
CHAPTER-11. CAMOUFLAGE. PAGI harinya Midnight terbangun karena merasakan Brady menciumi seluruh wajahnya. Midnight membuka mata secara perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah wajah manis Brady dan senyum tanpa dosanya. “Selamat pagi, Mid.” “Mmmmppphhhh…” Midnight menggeram, “Brady, apa yang kaulakukan?” Brady mencubit pelan hidung Midnight. “Membangunkan Si Puteri Tidur.” “Aku bukan Puteri Tidur, Brady.” Ia menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri selama beberapa kali. “Astaga…” Midnight bergumam lirih. “nikmat sekali.” Lanjutnya. Di sisinya Brady mengamati dengan kening mengerut dalam. “Apa yang nikmat? Aku bahkan belum menyentuhmu.” Midnight melotot, “Dasar otak iblis!” sembur Midnight. “Tidak bisakah kepalamu berpikir jernih? Kenapa selalu hal-hal kotor yang ada di sana?” Bukannya marah, Brady justru menyengir mendengar tuduhan Midnight. “Sudah kubilang. Aku iblis.” Pria itu tertawa kecil. “Apa yang nikmat?” “Leherku.” Midnight memijit tengkuknya dengan hati-hati. “Akhirnya aku bebas.” Brady duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau suka?” “Ya.” Midnight menjawab cepat. “Tinggal kakiku saja yang harus diurus. Apa menurutmu lukanya parah?” Mengedikkan bahu, Brady berkata acuh. “Entah. Kita harus konsultasi pada dokter untuk hal itu. Dan aku ini bukan dokter, Mid.” “Aku tahu.” Midnight memeluk perut Brady. “Aku tidak sabar melihatmu beraksi di atas motor.” Brady duduk bersandar di kepala ranjang. “Apa yang dokter katakan semalam?” “Dia bilang leherku baik-baik saja dan tidak membutuhkan cervical collar lagi. Tapi aku harus tetap berhati-hati.” “Baguslah!” Brady mendaratkan bibirnya di pucuk kepala Midnight. “Senang mendengar berita itu. Aku akan mandi dan bersiap untuk sarapan.” “Aku juga.” Ucap Midnight penuh antusias. Tak lama setelah mengucapkannya Midnight merengut. “Aku ingin mandi, Brady.” Sembari turun dari ranjang, Brady menjawab. “Aku akan memanggil pelayan untuk membantumu mandi dan mengganti pakaian.” Pelayan, mereka lagi, Pikir Midnight. Ia bukannya tidak suka dengan kedua pelayan yang telah disiapkan Brady untuk membantunya. Hanya saja, Midnight sama sekali tidak berbiasa diperlakukan istimewa oleh orang lain. Sejak kecil, kedua orangtuanya mengajarkan Midnight untuk mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. “Aku akan melakukannya sendiri.” Brady yang telah berjalan beberapa langkah menuju pintu terpaksa berbalik. “Kau tidak bisa, Mid. Kurasa kakimu belum cukup kuat untuk berjalan.” “Brady,” Midnight menatap pria itu dengan bibir mengerucut. “Aku tidak suka mereka.” Pria itu kembali menghampiri Midnight, kali ini dengan ekspresi yang tidak terlalu bersahabat. “Ada apa? Apa yang telah mereka lakukan padamu? Apa mereka memperlakukanmu dengan tidak baik?” “Tidak.” Midnight berkata lirih. “Aku hanya tidak terbiasa dengan mereka. Itu saja.” Brady mengambil napas dalam-dalam. “Mid, selama kau sakit kau membutuhkan mereka. Setelah kau sembuh, kau akan bebas.” Brady merangkum wajah Midnight dengan kedua tangan. “Dalam artian kau bebas dari para pelayanmu. Bukan dari aku.” “Aku tahu,” Midnight melepas kedua tangan Brady. “Tolong panggil mereka berdua. Kau juga perlu bersiap, bukan?” “Nah,” Satu tangan Brady mengacak-acak rambut Midnight dengan sayang. “Itu baru Mid-ku. Tenang, setelah kau sembuh kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka lagi.” “Ya.” Midnight melihat pria itu berbalik lalu berjalan menuju pintu. Setelah punggung Brady menghilang di balik tembok, Midnight meraih segelas air putih yang selalu tersedia di nakas ketika ia bangun di pagi hari. Karena tidak memperhitungkan gerakannya, tangan Midnight justru membuat gelas tersebut jatuh ke lantai sebelum ia berhasil meraihnya. Ia meringis dan reflek menggerakkan kakinya. Semula Minight berpikir akan merasakan sakit yang luar biasa karena tindakannya tersebut, tetapi setelah beberapa saat ia tidak merasakan apa pun. Midnight membuka mulut hingga membentuk huruf O. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dirasakannya saat ini. Tidak ada rasa sakit di kakinya yang masih di gips. Apakah- Tiba-tiba pintu terbuka lebar, menampilkan Brady yang terlihat panik. Dengan langkah lebar pria itu berjalan menghampiri Midnight yang masih syok dengan fakta baru yang menimpanya. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Brady dengan suara bergetar. “Apa yang terjadi.” Midnight menggelengkan kepala untuk mengembalikan fokusnya. Tidak ada waktu melamun, dia harus tahu apa yang terjadi dengan dirinya. “Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas.” Ia menunjuk di bawah. Pecahan gelas tersebut berceceran di lantai. “Maaf.” “Kau membuatku takut.” Brady menarik kepala Midnight dan memeluknya. “Tidak perlu meminta maaf. Aku akan menyuruh orang untuk membersihkannya.” “Brady,” Midnight mendongak agar bisa melihat ekspresi pria itu. “Aku bisa menggerakkan kakiku dan rasanya sama sekali tidak sakit. Kurasa aku sudah sembuh.” Brady tersenyum kecil. “Itu pengaruh dari gips yang melekat di kakimu. Jika benda itu tidak berada di sana, kau akan merasa kesakitan.” “Benarkah?” Pria itu mengangguk mantap. “Usai latihan, aku akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Kita akan tahu apa kau sudah jauh lebih baik atau masih membutuhkan perawatan khusus.” “Ya.” Midnight menyetujui ide Brady. “Dengan begitu aku tidak akan bertanya-tanya kapan aku bisa berjalan lagi.” “Kau akan bisa berjalan. Ingat mantra yang sudah kauucapkan?” “Tentu.” “Bagus!” Brady melepas pelukan mereka. “Satu jam dari sekarang kau harus sudah berada di meja makan. Jangan memakai pakaian yang bisa membangunkan iblis.” Bisik Brady di telinga Midnight. “Aku akan memakai bikini.” Goda Midnight lengkap dengan cengiran khasnya. Brady melipat kedua tangan di depan d**a. “Kalau begitu aku tidak akan mengijinkanmu keluar dari sini.” Tatapan kesal Brady menjadi hiburan tersendiri untuk Midnight. “Kalau begitu sebaiknya aku kabur.” “Mid…” Brady menggeram. “Baiklah, baiklah.” Midnight mendorong pria itu menjauh. “Pergilah. Aku akan bersiap.” “Temui aku satu jam lagi di meja makan.” “Siap, Sir!” ucap Midnight sembari meletakkan satu tangannya di pelipis. Penjelasan Brady sedikit banyak membuatnya tenang. Namun, entah kenapa hati kecilnya tidak bisa mempercayai pria itu begitu saja. Midnight justru merasa ada yang sedang disembunyikan oleh Brady. Mungkinkah pria itu tega membohonginya? Ataukah dirinya yang terlalu mudah memaafkan Brady. Midnight mendesah pelan, pesona Brady telah membutakan mata hatinya. Ia tidak pernah membiarkan orang asing menguasai hidupnya, sampai Brady datang dengan tipu muslihatnya dan membuatnya bertekuk lutut di hadapan pria itu. Semalam Brady menunjukkan pada Midnight bagaimana cara mencium yang benar. Midnight menikmati setiap momen yang mereka miliki. Brady menyentuh bagian dadanya dan membuatnya merasakan sensasi luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya sebagai seorang wanita dewasa. Semula Midnight mengira kegiatan panas mereka akan berakhir dengan s*x yang luar biasa. Semua berubah setelah Brady membawanya terbang ke langit ke tujuh dan berakhir pada satu kalimat yang membuatnya cukup kecewa. “Kakimu belum siap untuk diajak bercinta.” Lalu semua berkahir begitu saja. Midnight harus puas dengan cumbuan Brady di d**a dan perutnya. Brady memintanya untuk tidur agar pagi ini mereka bisa bangun dalam keadaan segar dan berenergi. Meski begitu, ia sama sekali tidak keberatan. Brady benar, kondisi kakinya tidak memungkinkan s*x yang luar biasa untuk pemula seperti dirinya. Hubungan mereka mungkin salah, tapi Midnight meyakini satu hal. Pasti ada alasan kenapa ia begitu terpikat oleh pesona Brady. Dan pasti ada alasan lain kenapa Brady juga merasakan hal serupa. Untuk pertama kalinya sejak kematian Drake, Midnight memandang Drake. itu sebagai sosok lain. Selain pembunuh kakaknya. ** Satu jam kemudian, Brady duduk di meja makan seorang diri. Ia baru saja memerintah Lennon untuk meninggalkan dirinya dan Midnight hanya berdua di meja makan. Brady membuka beberapa pesan yang dikirm oleh adiknya Bright. Pria itu memintanya untuk pulang ke New York setelah satu musim balapan selesai. Kedua dari Bruce, sang kakak yang terlampau overprotectif terhadap adik-adiknya. Ketiga dari sang ayah yang memberi semangat untuk Brady dan yang terakhir dari Gadis, ibunya. Pesan Gadis adalah pesan terkahir yang dibuka Brady. Biasanya sang ibu selalu memberi ceramah panjang lebar padanya. Seperti, “Brady hati-hati dalam memilih teman tidur. Brady hati-hati dalam berteman. Jangan minum terlalu banyak. Jangan lupa berolahraga dan makan makanan sehat.” Namun hari ini Gadis mengirimkan pesan yang sungguh di luar perkiraannya. Wanita yang hampir berusia lima puluh tahun itu berkata dalam pesan singkatnya, “Brady, sejak kapan kau berkencan dengan adik Drake?” Brady tidak lantas membalas pesan tersebut. Kehidupan keluarganya memang cukup terbuka. Siapa pun yang masuk ke dalam hidup salah satu di antara mereka pasti langsung diketahui oleh anggota keluarga yang lain. Contohnya Bruce, saat dia kembali menjalin hubungan dengan Eva, dia dan ketiga adiknya langsung mengetahui berita tersebut. Sekarang, Brady tahu seperti apa rasanya diganggu oleh anggota keluarganya yang lain. Dalam hati ia berdoa semoga ibunya tidak membocorkan berita kedekatannya dengan Mid kepada adik dan kakaknya. Atau… dunianya akan kiamat. Dengan perasaan kagum akan kehebatan sang ibu dalam memata-matai anaknya, Brady mulai menulis balasan kepada sang ibu. “Hi, Mom. Aku tidak berkencan dengan adik Drake. Dia masih terlalu kecil.” Brady meletakkan ponsel di atas meja, ia memandangi benda pipih tersebut, menunggu sang ibu membalas pesannya. Lama menunggu akhirnya ia mendapat balasan dari sang ibu. “Apa dia cantik? Kurasa kau belum cukup dewasa untuk mengajak seorang gadis tinggal bersamamu.” Brady menggerakkan jari-jarinya di atas keyboard. “Dia sempurna. Aku punya alasan kenapa dia tinggal bersamaku.” Menunggu balasan dari Gadis lagi. Brady mengambil minumannya, menyesap cairan tersebut hingga tandas. “Aku penasaran alasan apa itu.” Brady hendak meraih ponsel itu tetapi sebuah dehaman kecil dari Midnight membuat dia mengurungkan niatnya. “Sibuk?” tanya gadis itu dengan nada tidak suka. “Sedikit.” Ia bersandar di kursi, mengamati Midnight yang masih duduk di kursi rodanya. Gadis itu membuatnya terpikat, Brady tidak memungkiri fakta tersebut. Dan semalam, mereka telah memulai sesuatu yang baru, yang mungkin terdengar gila bahkan di telinga mereka sendiri. “Sejak kapan kau berdiri di sana?” Midnight menghela napas. “Entahlah. Saat kau sibuk dengan ponselmu yang lucu itu, aku sibuk memandangimu.” “Oh…” Brady meletakkan punggung tangan di dagunya. “Manis sekali, sayang.” “Manis?” ulang Midnight tidak suka. “Memandangimu… Oh, bukankah itu terdengar manis? Apakah ada lagu tentang memandangmu? Kalau belum, kita harus menciptakannya. Pasti kita akan memenangkan nominasi penyanyi pendatang paling sukses.” Cerocos Brady panjang lebar. Sayang, hal itu justru membuat Midnight semakin kesal. “Hey, ada apa? Kenapa kau terlihat tidak bersemangat. Apa ada yang salah.” “Tidak.” Midnight membuang muka. “Sama sekali tidak ada yang salah. Kau boleh melanjutkan…” gadis itu menjeda ucapannya. Untuk beberapa saat Brady hanya memandangi Midnight yang kini tengah merajuk. Ia menduga gadis itu cemburu dengan siapa pun yang berhasil membuatnya tersenyum dengan ponselnya. Tidak. Brady tidak ingin menyimpulkannya terlalu cepat. Sepertinya dia terlalu percaya diri. “Melanjutkan?” Akhirnya Midnight memusatkan perhatian pada Brady. “Ada seorang wanita.” Katanya. Hal itu memicu kobaran amarah di mata Midnight. Brady menyukai permainan ini. “Aku sedang berbicara dengan wanita itu.” “Kau bisa melanjutkannya. Aku akan pergi.” Midnight meletakkan kedua tangan di kursi rodanya, siap-siap berbalik. Sebelum gadis itu berhasil kabur, Brady bangkit dan mendorong kursinya. Ia menghampiri Midnight, berlutut di depan gadis itu. “Hei, kau mau kemana?” “Sudah kubilang, aku ingin pergi.” Ucapnya penuh penekanan. Pergi? Sejak kapan Brady mengijinkan adik Drake pergi meninggalkannya. “Kemana? Boleh aku ikut denganmu?” “Tidak.” sahut gadis itu cepat. “Kau sebaiknya membalas pesan dari wanitamu. Dia pasti menunggumu.” “Hmmmbbb…” Brady mengangguk-anggukan kepala. “Kau benar. Dia pasti menungguku.” Midnight menatapnya tajam. “Sekarang, lepaskan aku.” Brady menolak tegas ide tersebut. “Kau lupa kalau kita terikat?” “Aku-“ “Sssstttt…” Brady membungkam mulut Midnight dengan telunjuknya. “Sebaiknya kita sarapan.” Lagi-lagi Midnight yang masih kesal menggeleng tegas. “Aku tidak lapar.” “Ada yang merajuk.” Brady menyentuh kedua kaki Midnight. Ia membawa jemarinya menyusuri sepasang kaki jenjang itu, “Kakimu panjang sekali.” Dengan tangannya yang bebas, Midnight menonyor kepala Brady dengan cukup keras hingga pria itu terjungkal. “Sekali saja, bisakah otakmu berpikir jernih? Kenapa kepalamu hanya berisi hal-hal kotor.” Brady mencoba bangkit. Terkadang Midnight sama sekali tidak terlihat seperti gadis anggun pada umumnya. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada yang berani menonyor dan mencubit Brady dengan sengaja. Kecuali Si Kembar Eva-Ava dan Rachel, mereka tidak termasuk dalam hitungan karena kedua wanita itu tumbuh besar bersamanya. “Kenapa kau kasar sekali.” “Dasar lelaki!” Gadis itu menggerutu. “Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain. Kenapa kalian hebat sekali dalam kamuflase?” Kamuflase. Kali ini Brady benar-benar melongo. Selain manja, kasar, penuh percaya diri dan bertekad baja, rupanya Midnight juga bermulut pedas. “Kau marah?” ia kembali berlutut di depan kursi roda Midnight. Midnight mendengus. “Aku tidak punya hak untuk marah, Sir.” “Tapi kau sedang marah sekarang.” Ia meriah kedua tangan Midnight. “Kenapa kau kasar sekali padaku. Kau memberiku ide untuk memprakterkkan rough s*x. Bagaimana menurutmu?” “Astaga, Brady! Kau benar-benar butuh deterjen untuk mencuci otakmu! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu! Kita ini sedang-“ Kali ini Brady menghentikan kicauan Midnight dengan ciuman. Ia mengulum bibir Midnight dengan lembut dan berhenti ketika gadis itu mulai tenang. Brady menatap tepat di manik mata Midnight dan berkata, “Namanya Gadis, Gisella Anastasya Smith. Cinta pertamaku. Wanita yang tidak akan pernah menyakitiku dan aku sangat mencintainya.” “Giselle?” gumam Midnight dengan suara bergetar. “Oh…” desahnya kecewa. Reaksi itu semakin membuat Brady besar kepala. Kini dia benar-benar tahu apa yang dirasakan Midnight. “Kau cemburu.” “Tidak. Kau berhak bersama wanita itu-“ Brady tersenyum tipis. “Aku mencintai Giselle sampai akhir hayatku.”  Mata Midnight mulai berkaca-kaca. Ia memalingkan wajahnya, seolah enggan menatap Brady. Midnight menyingkirkan kedua tangan Brady dari tangannya. “Aku harus pergi.” “Kita belum sarapan, Mid.” “Dan aku tidak lapar.” Sahut Midnight masih enggan menatap Brady. Brady menarik dagu Midnight, memaksa gadis itu kembali menatapnya. “Dia ibuku.” Bisiknya geli. Detik itu juga, Midnight memalingkan wajahnya dan Brady memberi gadis itu sebuah cengir kuda.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD