CHAPTER-10. THE LINKED HEART.
SAAT tiba di kamar Midnight, Brady mendapati gadis itu tengah memeluk erat Lennon. Hanya ada mereka berdua di sana. Tidak ada pelayan, tidak ada bodyguard dan tidak ada dokter yang dijanjikan akan melepas cervical collar di leher Midnight. Brady mengamati dengan seksama, benda itu sudah menghilang dari leher Midnight. Artinya Lennon sudah melaksankan perintahnya dengan cukup baik. Lalu, apa yang dia lakukan di sana? Apa yang mereka berdua lakukan saat dia tengah asyik dengan… Miss Stone.
Seolah menyadari kemarahannya, Midnight melepas pelukannya pada perut Lennon. Gadis itu bergumam lirih tapi ia masih mampu menddengarnya. “Terima kasih.”
Lennon hanya mengangguk sekali lalu beranjak dari sisi Midnight. “Sama-sama, Miss Winters.”
Demi menjaga martabatnya, Brady menjaga air muka agar tetap tenang. Ia berjalan menghampiri Lennon dan Midnight, “Ada apa?”
Midnight mengerucutkan bibirnya lagi. Sebuah tindakan yang membuat Brady merasa sangat tidak nyaman. “Ada cicak.” Kali ini Midnight yang menjawab.
“Cicak?” ulang Brady tidak percaya. Ia mulai menerka-nerka, apa hubungannya seekor cicak dengan pelukan erat di antara mereka berdua. “Kau takut dengan cicak?”
“Saat aku bersiap untuk tidur, tiba-tiba seekor cicak jatuh di kepalaku. Aku terkejut, kupikir itu sesuatu yang berbahaya. Aku berteriak dan Lennon datang lalu aku reflek memeluknya.” Jelas Midnight.
Tidak ada alasan bagi Brady untuk tidak mempercayai kata-kata Midnight. “Kau boleh pergi, Lennon.”
Lennon menyingkir dari sisi ranjang Midnight. “Baik.”
Midnight melihat kepergian pria itu dengan tatapan memuja. Hal itu menimbulkan rasa iri yang sangat besar di hati Brady. Tidak… dia tidak sedang cemburu sekarang. Hanya saja, “Di mana cicak itu sekarang?” tanya Brady memecah perhatian Midnight pada punggung Lennon yang sebentar lagi menghilang di balik pintu.
Midnight mengggerak-gerakkan kepalanya. “Entah. Aku tidak tahu. Mungkin dia berlari setelah mendengar teriakanku.”
“Sejak kapan cicak bisa berlari?” suara ketus Brady terdengar menyedihkan bahkan di telinganya sendiri.
Dengusan kasar keluar dari tenggorokan Midnight. “Aku tidak tahu. Jika kau marah padaku karena urusan cicak tadi, kau sebaiknya keluar dari sini. Aku sedang tidak meladeni kemarahanmu, Brady.”
Tuduhan itu membuat Brady semakin kesal. “Aku tidak marah padamu, Mid.”
“Jadi? Tolong katakan padaku kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu.”
“Seperti apa?” Brady berbalik menghadap kaca jendela yang menampilkan seluruh tubuhnya. Penampilannya cukup baik meskipun sedikit berantakan karena insiden yang melibatkan dirinya dengan Miss Stone. Satu-satunya yang tidak bisa ditolerir adalah ekspresi wajahnya yang tampak sedang menahan amarah. Rupanya dia tidak setenang yang dibayangkan oleh Brady sendiri.
“Nah, kau lihat itu. Kau lihat sendiri seperti apa wajah marahmu itu dan berhentilah menginterogasi aku.”
Demi menjaga harga dirinya agar tidak jatuh di hadapan Midnight, Brady mencoba sekali lagi untuk bersikap tenang. Ia berbalik, kembali menghadap gadis itu. Dan sebelum Brady sempat mengucapkan sepatah kata untuk menyanggah tuduhan gadis itu, Midnight lebih dulu berujar. “Kalau kau sudah menyadari kesalahanmu, sebaiknya kau pergi dari sini.
Kedua bola mata Brady melebar sempurna mendengar hal itu. “Kau mengusirku?”
Midnight mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Ya.” katanya singkat.
Sambil melipat kedua tangan di depan d**a, Brady meluncurkan serangan selanjutnya. “Aku penasaran, apa saja yang telah kau dan Lennon lakukan. Kau berubah sejak-“
“Berhenti di sana, Brady. Berhenti! Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu lagi.”
“Kau tidak bisa mengusirku.” Brady berjalan menuju ranjang Midnight lalu naik ke tempat tidur. “Ada apa denganmu?”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Ada apa denganmu? Kau datang dan pergi sesuka hatimu. Kau tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu padaku!” seru Midnight dengan amarah menggebu.
Anehnya Brady tidak memiliki alasan yang kuat untuk membantah tuduhan itu. Midnight benar, dia telah meninggalkan gadis itu demi bersama dengan Miss Stone. Lalu dia kembali mencari Midnight setelah usahanya menyelamatkan kejantanannya gagal. “Aku…”
“Sudahlah!” Midnight terdengar semakin kesal. “Sebaiknya kau pergi dari sini. Aku lelah berdebat denganmu.”
“Aku tidak akan pergi.” Sahut Brady lembut.
Midnight menatap pria itu sekilas. Gadis itu lalu memalingkan wajahnya seolah Brady adalah sebuah objek yang tidak pantas untuk diamati. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh dan tenggorokannya naik turun.
Melihat hal itu, Brady dilanda rasa bersalah yang teramat besar. Midnight tidak seharusnya menerima kemarahannya. Dialah yang bersalah karena telah meninggalkan gadis itu. Mengabaikan perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh pelukan di antara Midnigtht dan Lennon, ia meraih tangan gadis itu lalu menggenggamnya erat. Brady menyandarkan punggung di kepala ranjang, merenungkan kembali apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya.
Lama mereka terdiam. Baik Brady maupun Mindight enggan mengucap sepatah kata pun. Jemari-jemari mereka saling bertaut. Dan tanpa keduanya sadari, hati mereka pun sama. Bertaut satu sama lain. Saling membutuhkan hingga rasanya mustahil untuk mereka hidup tanpa kehadiran satu dengan yang lainnya.
Setelah dirasa tenang, Brady akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan di antara keduanya. “Aku minta maaf.”
Di luar dugaan, Midnight langsung mengangguk. “Aku juga minta maaf.”
Brady mengeratkan genggaman tangannya pada Midnight. Ia lalu menarik kepala gadis itu dan menyandarkan di bahunya. “Aku benar-benar minta maaf, Mid.”
“Sebaiknya kita lupakan pertengkaran tadi.” Gadis itu mengambil napas dalam-dalam. “Akulah yang bersikap terlalu kekanak-kanakan.”
“Tidak, tidak. Aku yang terlalu mengedepankan egoku.” Brady menunduk untuk mencium pucuk kepala Midnight. “Maafkan aku.”
Keheningan kembali mengambil alih ruangan itu, tetapi dalam suasana yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Brady kembali teringat dengan Miss Stone, wanita luar biasa yang dicampakannya begitu saja. Lalu akhirnya dia menyadari satu hal, sejak bertemu dengan Midnight Brady telah menolak dua w*************a yang sengaja datang untuk menyelamatkan gairahnya. Sejak bertemu dengan Midnight, dia tidak pernah lagi tidur dengan wanita. Ini adalah rekor paling tidak masuk akal yang pernah terjadi pada Brady. Sebelumnya, hampir tidak ada wanita yang bisa membuatnya berhenti memikirkan s*x.
“Bagaimana dengan lehermu? Apa masih terasa sakit?”
“Hanya sedikit kaku. Tapi kurasa jauh lebih baik dari sebelumnya.” nada suara Midnight terdengar sangat bahagia. “Terima kasih, Brady. Kau pasti keluar untuk mencari dokter.”
Jantung Brady seolah merosot ke perut saat mendengar ucapan polos Midnight. Dia keluar untuk mencari kepuasan, bukan mencari dokter. “Tidak, Mid. Aku menyuruh Lennon memanggil dokter. Bukan aku sendiri yang pergi.”
“Oh,” Midnight mendongak, menyuguhkan seulas senyum simpul untuk Brady. “Tetap saja aku harus berterima kasih padamu.”
Tidak tahan dengan senyum manis itu, Brady mengulurkan tangan untuk mencubit hidung Midnight. “Sama-sama, Mid. Kalau kakimu bisa segera sembuh, kita pergi ke pantai.”
“Pantai?” ulang Midnight tidak percaya.
“Ya, pantai.” Brady semakin menunduk hingga menyebabkan hidung mereka saling bertabrakan. “Apa kau mau?”
“Menarik.” Midnight mengangkat wajah saat menjawab. Kini bibir mereka saling bersentuhan. Hanya butuh sedikit usaha bagia Brady untuk memiliki sepasang bibir ranum itu di dalam mulutnya. “Aku suka pantai.”
“Boleh aku menciummu, Mid?”
Napas Midnight memburu mendengar pertanyaan itu. “Kau tidak pernah meminta ijin sebelumnya.”
Brady mengakui itu. “Aku pergi karena aku tidak sanggup melihatmu mengerucutkan bibir.”
“Apa itu jawaban yang jujur? Dan apa alasannya.”
Brady mengulurkan tangan, membelai rahang Midnight. “Sangat jujur. Sudah kubilang, aku laki-laki dewasa. Aku bisa menjadi sangat liar jika berhadapan dengan gadis sepertimu.”
“Sepertiku?”
“Aku menginginkanmu untuk kepuasan tubuhku.”
Midnight meletakkan satu tangannya di d**a Brady. “Aku tidak cukup menarik untuk pria sepertimu.”
“Kau salah.” Jemari Brady bergerak lembut di rahang Midnight. “Sudah kubilang, kau sempurna. Aku menginginkanmu, Mid. Tapi aku terlalu takut…”
“Takut?” Menelengkan kepala, “Apa yang kautakutkan?”
“Aku takut melukaimu. Aku iblis. Tidak sepantasnya seorang iblis menginginkan malaikat sepertimu.”
Midnight tersenyum, “Sejak kapan aku berubah menjadi malaikat? Aku manusia biasa, tidak ada sepasang sayap di punggungku.”
“Kua tidak tahu seberapa brengseknya aku.”
“Aku tahu,” Midnight mengecup bibir Brady singkat. “Aku salah menilaimu.” Ia menggerakkan tangannya di d**a Brady, merasakan detak jantung pria itu.
“Kau tidak salah. Pepatah mengatakan perempuan tidak pernah salah.”
“Setelah kau mencuri ciuman pertamaku, kau berniat berhenti menciumku?”
“Pertama?” ulang Brady tidak percaya. Pria itu menarik tangan Midnight dari dadanya. Tidak tahukah Midnight, sentuhan itu bisa membakar seluruh tubuhnya? Tidak tahukan Midnight dia begitu menginginkan gadis itu sekarang.
“Ciuman pertamaku yang telah kau curi.”
“Sial!” Brady kehilangan kendali atas dirinya. Ia benar-benar mereguk bibir Midnight tanpa ampun. Napas mereka menyatu dan genggaman pada tangan Midnight terlepas begitu saja. Kini, jemari Brady beralih menyusuri leher jenjang gadis itu. Gerakannya semakin turun ke bawah dan berakhir di d**a Midnight. Gadis itu benar, p******a Midnight gagal tumbuh. Ukurannya terlalu kecil untuk wanita seusia Midnight. Meski begitu, Brady sama sekali tidak merasa kecewa. Ia tidak yakin menginginkan buah d**a yang lebih nyaman disentuh selain milik Midnight setelah ini.
Saat Brady nyaris berhasil mendapatkan gadis itu, tiba-tiba bayangan Drake melintas di benaknya. Brady seketika tersentak dan melepas pagutan bibir mereka. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari manik mata Midnight. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah dia lakukan pada gadis seperti Midnight? Kenapa dia tega…
“Di sini bukan hanya kau yang sudah tumbuh dewasa, Brady.” Midnight menyentuh wajah Brady dan langsung ditepis oleh pria itu. “Aku juga sudah dewasa.”
“Aku tidak pantas untukmu.”
Bibir Midnight yang membengkak membentuk sebuah senyuman. “Lalu, siapa yang menurutmu pantas untukku?”
“Aku iblis, Mid. Kau harus tahu itu.”
“Apakah Elliot?” d**a Midnight kembang-kempis karena menahan kecewa. “Apakah Elliot pantas untukku?”
Brady menatap Midnight tajam. “Tidak. Dia tidak akan pantas untukmu.”
“Lalu?” Midnight mengalungkan kedua tangan di leher Brady. “Kau menolakku, Brady.”
“Itu karena aku sama sekali tidak pantas untukmu. Kau terlalu baik untukku, Mid.”
“Tolong katakan kalau kau sama sekali tidak tertarik padaku.” Tantang Midnight. “Sekarang.”
Brady memalingkan wajah. Di antara ratusan atau bahkan ribuan wanita yang pernah dia temui, kenapa harus Midnight yang menarik perhatiannya? Kenapa harus gadis yang masih suci ini? Dan kenapa harus adik dari mendiang sahabatnya? “Aku tidak tertarik padamu.” Katanya tanpa menatap wajah Midnight.
“Kau berbohong padaku, Brady.” Midnight mendaratkan bibirnya di pipi Brady. “Kau tertarik padaku dan kau tidak mau mengakuinya.”
“Tidak.” Sanggah Brady lagi. Semula memiliki Midnight dalam genggamannya adalah hal yang sungguh menarik. Namun belakangan ia mulai menganggap ide itu cukup gila. Brady tidak bisa mengedepankan egonya seperti ini. Tugasnya melindungi Midnight, bukan menghancurkan gadis itu. “Aku tidak bisa, Mid.” Ia mengeluh dalam. Meski sebagian besar dari dirinya memang menginginkan Midnight, hati kecilnya menolak kehadiran gadis itu.
Midnight merebahkan kepalanya di bahu Brady. “Kau tahu, seharusnya aku membencimu karena kau telah membunuh kakakku. Kau tahu, seharusnya aku menuntutmu atas apa yang menimpaku saat ini, tapi aku tidak bisa melakukannya, Brady. Tidak mudah bagiku menerima keadaan ini. Tidak mudah bagiku untuk memaafkan atau bahkan tertarik padamu. Tapi, di sinilah kita sekarang. Di sinilah kau dan aku. Terjebak dalam hubungan seharusnya tidak terjadi.”
“Kau lebih baik membenciku, Mid.” Brady mengulurkan tangan, hendak membalas pelukan Midnight. Namun ia mengurungkannya.
“Aku sudah melakukannya.” Midnight berkata tegas. “Diakui atau tidak, kau tertarik padaku. Aku tahu itu. Aku mengakuinya, Brady. Sekarang giliranmu. Kau tidak pernah memberiku pilihan tapi kau selalu bisa memilih jika berkaitan denganku.”
Brady menolak tegas ide itu. Bersama Midnight bukanlah pilihan. Jika dia tergiur dengan penawaran gadis itu, jika dia sedikit saja membiarkan Midnight masuk ke kehidupannya, hidupnya akan hancur.
“Waktumu tidak banyak, Brady.”
“Aku tidak bisa.” Brady menegaskan. Dia harus mengambil keputusan, ia mendorong Midnight lalu menatap gadis itu dengan tatapan tegas. “Kita tidak bisa seperti ini.”
Midnight tersenyum tulus. “Kau benar,” gadis itu mencium singkat bibir Brady. “Selamat tinggal, Brady. Kau sudah memilih, maka tidak akan ada tempat kembali untukmu. Aku bebas bersama siapa pun yang kumau.”
Bayangan Midnight bersama Elliot kembali terlintas di benak Brady. Elliot adalah kandidat paling kuat untuk merebut hati gadis itu. Pria ular itu tidak akan tinggal diam melihat Midnight tidak lagi di bawah pengawasannya. Jika Brady melepaskan Midnight sekarang, ia harus puas melihat Elliot mempermainkan Midnight. Sampai kapan pun, Brady tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia mungkin tidak pantas bersanding dengan Midnight tapi Elliot tidak lebih baik dari dirinya. Pilihannya hanya ada dua; membiarkan Midnight bersama Elliot atau membiarkan dirinya sendiri hancur karena harus kehilangan Midnight.
Kau tidak boleh hancur, Brady.
Seolah ada yang membisikkan kata-kata itu di telinga Brady.
“Kau tidak bisa mengucapkan selamat tinggal semudah itu!” Brady menarik tubuh Midnight dan memeluknya. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?”’
“Kau sudah memilih.” Midnight menatap Brady tepat di manik matanya. “Kau tidak bisa kembali.”
“Kau menginginkanku, Mid. Aku milikmu sekarang.”
“Apa aku juga milikmu, Brady?”
“Tentu,” Brady memagut bibir Midnight seolah itu adalah ciuman terakhir mereka sebelum keduanya jatuh ke dalam jurang kehancuran. “Sekarang kaulah yang tidak punya pilihan untuk pergi. Kau tahu konsekwensinya.”
“Aku tahu.” Midnight menyatukan kening mereka. “Aku juga tahu ini salah. Tapi hatiku telah memilihmu. Untungnya, aku menyalahkan diriku sendiri atas pilihan bodoh ini.”
“Sekarang kita terikat.” Brady membelai rahang Midiniht. “Kuharap kau tidak menyesal menjadi bagian dari iblis sepertiku.”
“Tidak akan.” Midnight mencium bibir Brady intens. Keduanya saling memberi dan menerima, hangat napas mereka bersatu padu menjadi satu kesatuan yang mustahil untuk dapat dipisahkan. Midnight melepas bibir Brady, “Why sin always tastes sweeter?”
“Because the so-called tempter is a devil not an angel?” Brady menyerukkan hidungnya di leher Midnight. Ia membutuhkan gadis itu sebagai penolong kebutuhan biologisnya. “Sekarang, kita lihat seberapa dewasa dirimu, Midnight.”
“Brady…” erangan lemah terlolos begitu saja dari tenggorokan Midnight. Gadis itu meremas rambut Brady dengan cukup kuat. “Apa yang kaulakukan padaku?”
“I will take you to heaven.”