CHAPTER-9. YOUR TOUCH.

2267 Words
CHAPTER-9. YOUR TOUCH. MIDNIGHT dan Brady memandang satu sama lain saat mereka sampai di kamar hotel. Brady lupa mengatakan pada timnya kalau dia datang dengan seorang gadis. Alhasil, di sinilah mereka sekarang. Terdampar di dalam satu kamar dengan satu tempat tidur. “Aku benar-benar lupa.” Gumam Brady lebih kepada diri sendiri. Ia menoleh, memandangi Midnight dengan perasaan tidak nyaman. “Aku bisa memesan kamar lain untukmu, tapi itu artinya aku harus membiarkanmu jauh dariku.” Pria itu mengalihkan pandangan dari Midnight ke ranjang mereka. “Brady,” Midnight mengulurkan tangan, menyentuh lengan pria itu. “Aku tidak mau jauh darimu.” Midnight terdiam selama beberapa saat. Ini kali pertama ia pergi ke Australia. Bodohnya, ia mengarungi samudera hanya dengan laki-laki yang bahkan baru dikenalnya. Dulu, Drake selalu melarangnya berhubungan dengan orang asing. Sekarang, setelah sang kakak tiada, dengan bodohnya Midnight melupakan nasihat sang kakak. “Maksudku, aku tidak mengenal satu pun dari mereka.” “Aku tahu.” Brady meletakkan kedua tangan di kursi rodanya. “Kurasa kita berdua butuh istirahat. Setelah ini masih ada banyak yang harus kulakukan. Aku…” Pria itu mencondongkan tubuh agar bisa menatap Midnight. “mungkin tidak akan punya banyak waktu untukmu.” Sejak awal Midnight menduga kehadirannya hanya akan menimbulkan kekacauan bagi hidup Brady. Pria itu datang kemari untuk bekerja, bukan untuk berlibur. Namun dirinya dengan begitu bodoh justru membuat Brady sibuk mengurus ketidakberdayaannya. Dengan hati-hati Brady mengangkat tubuh Midnight ke atas ranjang. “Terima kasih” ujar Midnight tulus. Sebuah senyum nakal menghiasi wajah Brady. Pria itu mencubit pelan hidung Midnight sembari berkata. “Berhentilah mengucapkan terima kasih padaku, Miss Winters.” “Jika bukan karena bantuanmu, mungkin aku tidak akan bisa naik ke tempat tidurku sendiri, Mr. Smith.” Ia menangkap tangan Brady dan menggenggamnya. “Kau tidak tahu betapa senangnya aku berada di sini.” Setelah perjalanan berjam-jam dengan menggunakan pesawat, akhirnya mereka sampai di Melbourne International Airport. Dari Bandar udara Melbourne mereka masih harus melakukan perjalanan selama dua jam ke depan untuk mencapai Phillip Island. Sepanjang perjalanan, Brady menceritakan apa saja yang akan mereka lakukan selama berada di Phillip Island. Pria itu sempat berjanji kepada Midnight untuk membawanya melihat setidaknya satu tempat terindah di Phillip Island. “Aku akan segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Kurasa dokter mungkin bisa melepas cervical collar di lehermu.” Brady naik ke ranjang setelah menutup kaki Midnight dengan selimut. “Aku tahu betapa tidak nyamannya memakai benda itu.” Sejak awal, Midnight menganggap Brady adalah pria angkuh yang hanya bisa menimbulkan kekacauan dalam hidupnya. Namun semakin ke sini, entah bagaimana pria itu seolah memiliki mantra sihir yang bisa mengubah rasa benci menjadi… entahlah. “Aku juga menunggu bisa berjalan normal.” Midnight mengerucutkan bibir. Tindakan itu tak luput dari pandangan Brady. “Kupastikan kau akan mendapatkan keinginanmu, Mid.” Ujar Brady sembari memalingkan wajah. Pria itu memejamkan mata rapat-rapat, dengan kening mengerut dalam Midnight entah bagaimana yakin Brady tengah mengalami pergulatan batin yang cukup melelahkan. “Brady,” karena tidak tahan melihat ekspresi Brady, Midnight memberanikan diri menyentuh rahang pria itu lalu mengarahkan wajah Brady agar melihatnya. “ada apa? Apa aku melakukan kesalahan?” Perlahan Brady membuka mata. “Tidak.” ucap pria itu sambil tersenyum. “Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan.” “Kenapa aku tidak merasa seperti itu?” Midnight kembali mengerucutkan bibirnya. “Katakan sesuatu. Di mana salahku agar aku bisa memperbaikinya.” Brady mengambil napas dalam-dalam. “Kita akan terus berdebat jika aku tidak menjawab pertanyaanmu, bukan?” “Ya.” Jemari Midnight bergerak di atas rambut-rambut halus yang tumbuh di rahang Brady. “Kau harus bercukur.” Ia menjilat bibir bawahnya. “Kau terlihat seperti berandalan.” “Itulah diriku.” Brady membenarkan. Midnight menarik tangan. “Katakan di mana salahku, Berandalan.” “Jangan ulangi lagi.” pinta Brady seolah ia sedang bertarung melawan Zeus dan pasukannya. “Kumohon.” Midnight sama sekali tidak mengerti maksud perkataan Brady. Ia menelengkan kepala sembari mengingat apa yang telah dia lakukan hingga membuat pria seperti Brady terlihat begitu frustasi. “Apa?” “Jangan sentuh aku seperti itu.” Brady akhirnya berkata. “Kau bisa membuatku gila.” “Hanya sentuhan,” bantahnya. Brady mengangguk tidak berdaya. “Ya. Hanya sentuhan. Aku laki-laki dewasa, Mid.” Brady mengambil tangan Midnight dan mengecupnya. “Kukatakan padamu, seorang laki-laki akan menjadi begitu buas ketika berhadapan dengan gadis sepertimu.” Kedua mata Midnight memicing. “Sepertiku?” “Sepertimu.” Brady kembali memalingkan wajah. “Aku harus pergi.” Dengan gerakan secepat cahaya, Brady turun dari ranjang. Pria itu nyaris jatuh karena tidak hati-hati dalam melangkah. Midnight memandang sikap aneh Brady sebagai sebuah cemooh untuk dirinya. Lagi-lagi ia teringat dengan percakapan mengenai p******a bodoh di antara mereka berdua. “Ada apa dengannya?” tanya Midnight pada dirinya sendiri saat Brady menutup pintu dengan begitu keras. “Lain kali aku tidak akan menyentuhnya jika memang sentuhan itu membuatnya gila!” gerutunya. Sepeninggal Brady, Midnight harus puas ditemani oleh dua pelayan yang datang beberapa saat setelah kepergian pria itu. Para pelayan membantu Midnight membersihkan diri, mengganti baju dan bahkan mengantar Midnight ke toilet. Setelah tugas mereka selesai, Midnight menyuruh keduanya untuk meninggalkan dirinya seorang diri. Kali ini ia tidak meminta mereka memanggil Brady. Setelah insiden sentuhan tidak masuk akal itu, sepertinya Brady membutuhkan bergelas-gelas alkohol untuk mendapatkan ketenangannya lagi. “Harusnya dia juga memberiku sebotol wine.” Gerutu Midnight lagi. ** Brady sepenuhnya menyalahkan Midnight atas apa yang menimpa dirinya saat ini. Bagaimana bisa gadis itu tidak menyadari kesalahannya. Wajah polos Midnight saat emarinya bergerak lamban di atas kulitnya terngiang-ngiang di kepala Brady. Efek dari sentuhan itu cukup membuat seluruh tubuh Brady terbakar oleh gairah. Saat ini Brady berdiri di balkon kamar Lennon dan bodyguard yang lain demi menghindari Midnight. Seandainya saja dia salah mengambil langkah, mungkin Midnight tidak akan selamat dari terkamannya. Dari sudut matanya Brady melihat Lennon mendekat. Pria itu berdeham pelan, “Ada yang bisa kubantu?” “Aku ingin cervical collar di leher Midnight dilepas saat ini juga.” Brady memberi perintah singkat. “Jika kita melakukannya,” Lennon berhenti sejenak, memikirkan kembali ucapannya. “Dia akan curiga.” “Dia tidak akan curiga jika kau memberinya penjelasan yang masuk akal. Midnight terus mengeluhkan lehernya yang tidak bisa digerakkan.” Kedua tangan Brady mencekeram erat pagar pembatas di balkon tersebut. “Setelah balapan selesai, aku ingin gips dikakinya juga dilepas. Jangan gunakan dokter luar untuk menangani kasus Midnight. Aku hanya ingin dia ditangani oleh dokter pribadi kita.” “Baik.” Seperti biasa, Lennon akan melaksanakan perintahnya dengan sesegera mungkin. “Dalam satu jam cervical collar akan terlepas dari leher Midnight.” “Aku akan segera kembali ke sana setelah selesai.” “Ada lagi yang bisa kubantu?” tanya Lennon sebelum melangkah keluar. Sesuatu dalam celana Brady membutuhkan pertolongan. Ia tidak bisa menyentuh Midnight seperti yang baru saja gadis itu lakukan padanya. Brady ingin melindungi dan menjaga adik mendiang sahabatnya. Bukannya menghancurkan masa depan Midnight. Sebagai laki-laki yang memiliki kebiasaan buruk yang berkaitan dengan wanita, Brady merasa dirinya sama sekali tidak pantas untuk Midnight. “Lennon,” ia berucap lirih. Tidak ada jawaban dari Lennon, pria itu tahu betul Brady belum selesai bicara. “Aku butuh seorang wanita.” Hening selama beberapa saat. Brady tidak tahu apa yang benar-benar terjadi dengan dirinya. Sebelumnya dia tidak pernah merasa seperti ini. Wanita, alkohol dan pesta adalah kehidupannya, tapi mengapa ketika begitu membutuhkan seorang wanita demi memenuhi nafsunya Brady justru tidak menginginkan hal itu? “Kau yakin?” Lihat, bahkan Lennon sendiri tidak percaya dengan ucapannya. Melawan desakan untuk bersikap sok baik, Brady memilih untuk berkata, “Ya.” Sampai kapan pun, dia akan selalu menjadi Brady yang sekarang dan tidak ada siapa pun yang bisa mengubah dirinya. “Kirim wanita terbaik yang bisa menemaniku malam ini.” Pungkasnya. Sesaat setelah itu, Lennon benar-benar meninggalkan dirinya seorang diri. Sepeninggal Lennon, Brady terus merenungkan apa yang salah dengan dirinya. Ia mengusap wajah dengan telapak tangan, kembali mengenang masa-masa paling indah sebagai seorang pria yang hidup bebas tanpa ikatan. Selama ini satu-satunya yang Brady pikirkan adalah keluarganya. Brady siap melakukan apa pun demi kakak, ketiga adik, ayah dan ibunya. Brady bahkan menomor duakan karirnya di dunia balap. Ia bersumpah akan dengan senang hati memberikan nyawanya jika memang salah satu keluarganya membutuhkan itu. Lama berdiri di balkon, tiba-tiba terdengar pintu dibuka. Brady mengenali parfum Lennon. Pria itu telah kembali dengan membawa wanita pesanannya. Parfum feminim khas w*************a merambah indra penciuman Brady. Sebuah dehaman singkat memaksanya mengalihkan seluruh perhatian kepada mereka berdua. “Miss Stone siap menemani Anda.” “Tinggalkan kami berdua.” Titahnya pada Lennon. Setelah terdengar suara pintu tertutup, Brady segera berbalik dan menemukan seorang wanita yang sering muncul di salah satu majalah fashion. Miss Stone, begitu Lennon memanggilnya, memiliki wajah tirus dengan rambut pirang serta tingginya sekitar 180 cm. Dengan bentuk tubuh proporsional wanita itu cocok menjadi model pakaian dalam. Tatapan mereka bertabrakan, Miss Stone tampak terkejut melihat dirinya. “Kau?” gumam wanita itu rendah. Dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “Aku benar-benar tidak menyangka.” “Terkejut?” Brady menghampiri Miss Stone. Tatapannya menjelajah setiap inci tubuh wanita itu. Dengan langkah panjang, tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di hadapan Miss Stone. “Kuharap kau tidak kecewa malam ini.” Miss Stone melepas mantel yang menutup tubuhnya. “Sama sekali tidak. Sebaliknya, aku sangat senang bertemu denganmu.” “Baguslah!” Brady berhenti tepat di hadapan wanita itu. Ia mereguk bibir Miss Stone tanpa permisi terlebih dahulu. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Gumamnya tepat di depan mulut Miss Stone. “Tentu.” Wanita itu meletakkan satu tangan di rahang Brady sementara tangannya yang lai membelai sesuatu di antara pahanya. “Kau bisa memakai aku sampai waktumu habis di sini. Akan kuberi potongan harga.” Bisiknya. Seharusnya itu menjadi penawaran yang cukup menarik bagi Brady. Potongan harga? Siapa pun tidak akan melewatkan kesempatan tersebut. “Ya.” Brady kembali memagut sepasang bibir mungil milik Miss Stone. Saat ini yang dia butuhkan bukanlah sebuah ciuman. Brady hanya ingin wanita itu menyelamatkan kejantanannya. Bukan bibirnya. Karena tidak membutuhkan treatment khusus, Brady mendorong kepala Miss Stone dengan satu tangannya. Seolah memahami keinginan kliennya, Miss Stone segera berlutut di depah paha Brady. Ia membuka celana panjang Brady dan mengeluarkan kejantanan pria itu. Bara gairah berkobar di mata wanita itu. Dengan hati-hati, dia mulai memijit bagian tubuh Brady yang mulai mengeras. Miss Stone mendongak, memandang Brady seolah pria itu adalah Dewa yang harus dia sembah. “Siap?” “Lakukan sekarang.” “Dengan senang hati.” Miss Stone lalu memasukkan kejantanan Brady ke dalam mulutnya. Ia menghisap dengan hati-hati bagian itu seakan-akan jika dirinya salah langkah maka bagian tubuh Brady yang itu akan hancur di dalam mulutnya. Selama beberapa saat Brady menikmati percintaannya dengan Miss Stone. Ia menunggu waktu yang tepat agar bisa menyatukan tubuh mereka. Miss Stone cukup berpengalaman dan Brady sungguh menyukai tipe wanita seperti itu. Sebagai laki-laki, ia selalu senang dipuaskan oleh teman tidurnya. Brady sama sekali tidak tertarik dengan gadis polos yang menyodorkan keperawanannya hanya untuk mendapatkan harga tinggi. Baginya gadis yang masih belum terjamah sama sekali tidak menarik. Kecuali… Sebentar lagi. Brady merapalkan mantra dalam hati. Tidak, saat ini ia tidak boleh memikirkan Midnight. Midnight bukanlah gadis polos yang menjual kesuciannya demi mendapatkan uang. Dia adalah adik Drake, Brady mengingatkan diri sendiri. Midnight… Lagi-lagi nama gadis itu berdendang di dalam benaknya. Brady yang saat itu nyaris mencapai puncak reflek mendorong kepala Miss Stone hingga membentur sofa. Wanita itu mengaduh, mendadak limbung dan dalam sekejap mata sudah terkapar di atas lantai. Dengan mata terpejam, Miss Stone menggapai apa pun yang bisa diraihnya untuk berpegangan. Brady menduga benturan yang cukup keras itu menyebabkan rasa pusing di kepala Miss Stone. Menyadari ketidaksanggupannya melawan pesona Midnight, ia memilih pergi dari kamar tersebut, Meninggalkan Miss Stone yang masih sibuk memegangi kepalanya dengan ekspresi kebingungan. Sembari berjalan, Brady membenahi celana panjangnya. Ia nyaris mencapai pintu saat Miss Stone memanggilnya. “Kau mau kemana?” Brady berbalik singkat. “Aku harus buang air besar.” “Ha?” ekspresi jijik tampak di wajah Miss Stone. Brady menggunakan kesempatan itu untuk mengusir wanita tersebut. “Maaf. Aku diare.” Brady berhenti tepat di depan pintu. “Kau mau menungguku? Atau-“ “Tidak.” tolak wanita itu tegas. “Tapi kau dan semua laki-laki di luar sana sama saja.” Kata-kata Midnight kembali terngiang di kepala Brady. Membuaatnya semakin tidak sabar ingin meninggalkan wanita yang kini terlihat kesal karena ulahnya. Siapa sangka, seorang pembalap ternama justru diare saat sedang menyewa kekasih satu malamnya. “Sialan!” Miss Stone bangkit sambil mengumpat. “Menjijikkan.” Brady mengabaikan wanita itu, ia menekan beberapa tombol di sisi pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar, menampilkan beberapa orang yang tengah berjaga di depan. Brady mengenali mereka semua, tapi dia tidak mendapati Lennon di sana. “Di mana Lennon?” Salah satu bodyguard yang menjadi tangan kanan Lennon menjawab, “Di kamar Miss Winters.” Perasaan yang tak biasa bergolak di d**a Brady. “Sejak kapan dia di sana?” Pria itu menatap Brady dengan ekspresi kebingungan. Meski begitu dia tetap menjawab. “Setelah mengantar Miss. Stone dia segera menemui Miss Winters. Sial! Brady mengumpat dalam hati. Kenapa tidak terpikirkan olehnya untuk melarang Lennon masuk ke kamar Midnight. “Aaahhhrrrgggghhtttt!” Sebuah jeritan yang diyakini milik Midnight terdengar begitu jelas di lorong. Brady berlari menuju kamar Midnight sambil berdoa dalam hati, berharap tidak terjadi sesuatu dengan gadis itu. Jika Lennon berani menyentuh Midnight-nya… Brady tidak akan memaafkan pria itu. Tidak akan pernah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD