CHAPTER-17. TEACH ME!

2302 Words
CHAPTER-17. TEACH ME! MIDNIGHT merasakan tubuh Brady menegang dalam pelukannya. Perlahan ia membuka mata dan menemukan pria itu mencekeram erat selimut yang semula menutup tubuh mereka berdua. Dengan diliputi rasa kantuk yang masih menggelayut, Midnight bangkit dari tidurnya dan mencoba turun dari ranjang dengan hati-hati. “Drake…” gumaman yang terdengar memilukan itu keluar dari mulut Brady. Ketika berhasil menapakkan kedua kakinya di lantai, Midnight mengambil kaus milik Brady dan memakainya. Semalam, mereka melakukan perbuatan yang nyaris membuat Midnight kehilangan kesuciannya. Keduanya tidur hanya dalam balutan pakaian dalam minim yang sama sekali tidak pantas. “Drake…” ucap Brady lagi. Midnight hanya bisa mendesah kecewa melihat pria itu. Perasaan bersalah menyelinap masuk melalui celah hatinya yang terdalam. Selama ini ia menyalahkan Brady atas apa yang menimpa kakaknya. Tidak pernah sekali pun Midnight memikirkan perasaan Brady. Bagaimana pria itu melewati semua ini? Apakah Brady baik-baik saja atau… “Drake…” suara Brady menghentikan pertarungan batinnya. Pria itu menendang ke segala arah, keringat dingin  mengucur di pelipis Brady. Kedua tangan Brady meninju udara kosong dengan brutal. Tidak ada yang bisa Midnight lakukan dalam situasi seperti ini kecuali menunggu bantuan datang. Sebelum tidur, Brady memberitahu Midnight jika mimpi buruk itu kembali menghantuinya, yang harus dia lakukan adalah menyingkir sejauh mungkin dari pria itu. Brady tidak mau melihat Midnight terluka lagi karena dirinya. Maka Midnight pun melakukan hal diminta oleh Brady. Tak lama kemudian, ia mendengar ketukan di pintu kamar mereka. Dengan berat hati, Midnight meninggalkan Brady seorang diri di ranjang dan berjalan menghampiri pintu. “Mid, apa kau di sana?” suara Lennon. “Ya.” sahut Midnight tenang. “Kau butuh bantuan?” “Tidak.” Midnight melihat Brady yang perlahan mulai tenang. “Aku bisa mengatasinya.” “Kau yakin?” tanya Lennon dari balik pintu. Tidak. “Ya. Tinggalkan kami, Lennon. Aku akan memanggilmu jika kami membutuhkan sesuatu.” Hening selama beberapa saat. Brady menyerukan nama Drake lagi dan sesekali mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. “Baiklah.” Sahut Lennon akhirnya. Lima menit yang cukup menegangkan berlalu. Lampu tidur terjatuh dengan sangat tidak anggun di lantai dan hancur berkeping-keping. Selimut tebal mereka pun telah berpindah ke lantai beserta satu bantal. Midnight memandangi Brady yang kini hanya diam di atas tempat tidur dengan mata terpejam rapat. Setelah membulatkan tekad, ia kembali menghampiri pria itu. Tangannya terulur untuk membelai wajah Brady yang tampak begitu lelah. Rupanya, sentuhannya membuat Brady membuka mata. “Hai…” sapa Midnight. Brady meraih tangan Midnight dan membawanya ke mulut. “Pagi…” “Aku mengkhawatirkanmu.” Ujar Midnight jujur. Ia lalu duduk di sisi ranjang sembari menggenggam erat tangan Brady. “Apa aku menyakitimu?” tanya pria itu dengan ekspresi panik. “Apa kau terluka?” sambungnya.  “Tidak. Aku tidak terluka.” Midnight membungkuk, membubuhkan ciuman singkat di bibir Brady. “Sesuai instruksi, aku menyingkir saat kau mulai mengalami mimpi buruk itu.” Midnight kembali menegakkan punggung. “Lihat, aku baik-baik saja.” Seberkas rasa bersalah muncul di manik mata Brady. “Maafkan aku.” “Ssstttt…” Midnight meletakkan telunjuk di bibir pria itu. “Kita sudah membahasnya.” “Ya.” Brady menarik Midnight ke dalam pelukannya. “Kau melakukannya dengan sangat baik. Semoga kau tidak bosan dengan keadaanku.” “Tidak akan.” Sahut Midnight cepat. “Lain kali, kita harus memakai pakaian yang pantas sebelum tidur.” Midnight mendongak agar bisa melihat ke manik mata Brady. “Aku takut sewaktu-waktu Lennon menerobos masuk dan melihat penampilan kita yang kurang pantas.” Tandasnya. Mendengar penuturannya, Brady terkekeh geli. Ia mengusap punggung Midnight dengan sayang dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi di pucuk kepala gadis itu. “Aku tidak bisa berjanji untuk hal yang satu itu. Ngomong-ngomong, kau melakukan hal yang benar dengan memakai bajuku.” “Kau mau Lennon melihatku setengah telanjang?” Sebelah alis Brady terangkat mendengar hal tersebut. “Tentu saja tidak. Tapi, kau yakin kita bisa menahan… menahan… menahan…” Karena Brady tak kunjung menyelesaikan ucapannya, Midnight terpaksa turun tangan. “Menahan gairah untuk bersenggama?” “Mid,” Brady mengembuskan napas kesal. “Jaga bicaramu. Jangan ucapkan kata-kata kotor.” Senyum simpul muncul di wajah cantik Midnight. “Hanya ada kau dan aku di sini. Tidak aka nada yang mendengar percakapan tidak pantas ini.” “Sebagai seorang perempuan, kau tidak seharusnya berkata seperti itu.” Midnight bangkit, memandangi Brady yang masih nyaman dalam posisinya. “Ck! Aku sudah dewasa, Brady. Sekarang aku bertanya-tanya, kenapa sepertinya kau enggan menyentuhku.” Sebelum menjawab pertanyaan Midnight, Brady bangkit dari tidurnya. “Kakimu masih sakit. Aku tidak mau terlalu terburu-buru mengambil keputusan.” Ia menyelipkan tangan di rahang gadis itu. “Kau terlalu berharga untukku. Asal kau tahu itu.” “Apa karena aku adik Drake?” “Itu salah satunya.” Jawab Brady jujur. “Janjiku adalah melindungimu. Bukan menghancurkanmu, Mid.” Brady mengecup bibir Mindight rakus. “Kau tidak tahu betapa aku menginginkanmu.” “Seberapa besar keinginan itu?” “Sebesar planet bumi.” Jawab Brady polos. Pria itu merangkum wajah Midnight dengan telapak tangannya. “Bahkan lebih besar dari itu, tapi sekali lagi aku harus menahannya sampai kakimu sembuh.” “Kakiku lagi.” keluh Midnight tidak suka. “Sampai kapan drama kaki ini akan berakhir, Brady? Atau kau hanya menggunakan kakiku sebagai alasan menolak percintaan yang selama ini kuimpikan?” “Kau memimpikannya?” tanya Brady tidak percaya. Midnight melipat kedua tangan di depan d**a. “Aku dan sekian ribu perempuan di luar sana menginginkan percintaan panas denganmu, Brady. Jangan pura-pura bodoh!” Brady mencebik keras. “Tidak. Aku tidak pura-pura bodoh. Aku memang meniduri banyak wanita.” Ia meringis di ujung kalimat. “Maaf, tapi itu faktanya. Kukipir hanya aku yang menginginkannya.” “Kau bintang bagi mereka.” Midnight membelai d**a Brady lembut. “Itu membuatku penasaran betapa seberapa hebat kau saat di atas ranjang.” Brady menangkap tangan Midnight, “Sehebat saat aku berada di atas motor.” “Kau membuatku semakin penasaran.” Midnight mendorong d**a Brady lalu duduk di atas pangkuan pria itu. Ia melepas baju yang ia pakai, menampilkan seluruh tubuh bagian atasnya yang tak terbungkus sehelai benang pun. “Ukurannya mungkin kecil, kuharap kau tergoda.” Pria itu menggigit bibir bawahnya, “Jangan!” gumamnya serak. “Kenapa?” “Hari ini aku sibuk.” Brady membelai perut rata Midnight. Ia membawa telapak tangannya menyusuri d**a mungil gadis itu. “Bagaimana mungkin aku tidak tergoda dengan bagian ini? Kau tahu, Mid, Adam rela diusir dari syurga hanya agar bisa menikmati semua ini.” “Kita bukan Adam dan Hawa,” “Aku tahu.” Brady menarik tengkuk Midnight dan mengulum bibirnya. “Aku ingin melihatmu menjadi iblis saat bersamaku.” Brady mengangguk, “Kau akan mendapatkan yang kauinginkan. Aku milikmu. Seutuhnya. Sampai kau bosan denganku.” Aku milikmu. Dua kata itu terasa begitu nyata bagi Midnight. Sebelum Brady menghilangkan nyawa Drake, ia mengagumi pria itu. Midnight pernah membayangkan bagaimana menghabiskan sehari penuh bersama seorang superstar seperti Brady. Kini, keinginannya itu benar-benar terwujud. Namun, jauh dari lubuk hatinya, Midnight takut kehilangan pria itu. Dunia mereka berbeda. Brady layaknya bintang paling terang di langit hitam sementara dirinya hanyalah serbuk bintang yang nyaris tak bersinar. Brady dilihat, dikagumi dan dipuja banyak orang sedangkan dirinya nyaris tidak terlihat bahkan di tengah lingkungannya sendiri. “Kapan kah itu?” “Setelah aku memenangkan balapan hari ini.” Brady mengecup bibir Midnight lama. “Pastikan kakimu baik-baik saja. Aku tidak mau menimbulkan trauma.” Jawaban itu cukup membuat gelenyar menyenangkan di punggung Midnight. “Pasti.” “Aku tidak mau mendengar penyesalan darimu.” Brady mengambil napas dalam-dalam. “Kau terlalu berharga untuk iblis sepertiku, Mid.” “I want you. I always imagined making love to the man I wanted and wanted me. I hope this time I get both.” “You will get it later.” ** Siang hari, Midnight mematut dirinya di depan cermin. Setelan casual menjadi pilihan berbusananya hari ini. Riasan wajah sederhana serta sepasang sepatu hitam melengkapi penampilannya. Midnight memegangi d**a, mencoba menetralkan napas yang sejak beberapa saat lalu terasa tak nyaman. Ia memejamkan mata sembari berdoa dalam hati. Berharap semoga Brady memenangkan balapan dan melewati semuanya dengan cukup baik. Bayangan akan mimpi-mimpi buruk yang menghantui pria itu serta kematian Drake mengganggu pikirannya. Midnight tahu tidak seharusnya ia berpikir negatif. Namun setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri apa yang menimpa Brady setiap malamnya, hal-hal negatif selalu datang menghampirinya. “Hei,” Midnight terlonjak saat kedua tangan Brady melingkar di perutnya. “Apa yang kaulakukan di sini, huh?” Mencoba memasang senyum terbaiknya, Midnight berbalik. “Aku gugup.” Dustanya. “Kuharap kau tidak malu membawaku ikut bersamamu.” “Kau akan menjadi primadona di sana.” Brady mencium bibir Midnight singkat. “Kau cantik sekali.” Saat ini, Midnight yakin kalau wajahnya pasti memerah akibat pujian itu. Ia membalas ciuman singkat dari Brady dan menyandarkan kepala di d**a pria itu. “Semoga beruntung, Brady.” “Kemenangan kali ini akan kupersembahkan untukmu.” “Kau sudah menjadi pemenang,” ia mengurai pelukan mereka. “Kau tidak lagi membutuhkan kemenangan lain.” Brady mengacak-acak rambut Midnight. “Kau benar. Sebaiknya kita berangkat sekarang. Aku tidak mau terlambat sampai di sirkuit.” Keduanya lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Mereka memustukan untuk segera berangkat ke sirkuit sebelum hari semakin siang. Sepanjang perjalanan Brady tak hentinya menceritakan berbagai hal yang berhubungan dengan balapan dengan penuh kebanggan. Sesekali Midnight menyela dengan pertanyaan yang sama sekali tidak penting tetapi Brady dengan sabarnya menjawab pertanyaan-pertanyaan Midnight. Dari percakapan mereka Midnight akhirnya tahu, betapa besar rasa cinta Brady terhadap dunia balap. Rasanya mustahil Brady dipisahkan dengan dunianya itu. Midnight sama sekali tidak keberatan jika memang Brady harus selalu berada di sana, hanya saja dia takut sesuatu yang buruk terjadi dengan pria itu. Sesuatu yang menimpa kakaknya. Kurang dari satu jam kemudian, mereka akhirnya sampai di sirkuit. Sorak-sorak penonton terdengar bergemuruh di langit saat melihat Brady keluar dari mobil dan berjalan menuju paddoct area. “Brady! Brady! Brady!” seru mereka bersamaan. Midnight yang melihat hal itu mendadak kehilangan kepercayaan dirinya. Ada begitu banyak kamera yang mengambil gambar mereka. Meskipun dilindungi oleh para pengawal Brady, hal itu masih membuatnya merasa tidak nyaman. Di sisinya, Brady menggenggam tangan Midnight dengan begitu erat seolah akan ada badai yang tak lama lagi memisahkan mereka berdua. “Dia bersama seorang gadis!” “Siapa gadis itu?” “Apakah itu kekasihnya?” “Sejak kapan Brady punya teman kencan?” Suara-suara penuh tanda tanya bergema di sekeliling mereka. Midnight mendongak, menemukan satu-dua kamera yang mengarah ke arahnya. Ia menyesal telah melakukan hal tersebut. Kini paparazzi itu berhasil mengambil gambarnya. “Kau pasti tidak suka dengan situasi ini.” Gerutu Brady di sisinya. Midnight tidak menyangka dalam situasi seperti ini Brady masih memikirkan perasaannya. Midnight hanya mengedikkan bahu singkat. “Mereka bertanya-tanya siapa diriku.” “Mereka memang harus tahu siapa dirimu.” Brady menoleh sekilas, memandangnya penuh perasaan. “Katakan kau milikku dan aku milikmu.” “Itu bukan jawaban.” Sanggah Midnight jengah. “Itu pernyataan.” Setelah melewati kerumunan paparazzi yang penasaran dengan kedatangan mereka berdua, akhirnya Midnight dan Brady sampai di paddoct area. Brady langsung disambut oleh rekan-rekannya dan melupakan kehadiran Midnight. Lennon yang melihat situasi tersebut berinisiatif menghampiri Midnight. “Sebaiknya kita duduk.” Midnight memandangi punggung tegap Brady saat pria itu tengah berbincang dengan salah satu mekanik. “Ya.” sahutnya tak lama kemudian. Setelah mendapatkan kursi berkat bantuan Lennon, ia duduk tenang sembari mengamati sekeliling. Untungnya, sebelum hari besar ini datang, Brady telah lebih dulu membawanya bertemu dengan teman-teman satu tim pria itu. Beberapa di antara mereka menyapa Midnight dan sesekali menggoda gadis itu. Kehadirannya menarik perhatian orang-orang di ruangan itu. Midnight yang seidikit gugup karena tidak terbiasa menjadi pusat perhatian mencoba untuk memusatkan dirinya pada balapan yang saat ini tengah berlangsung. Moto2. “Maaf meninggalkanmu begitu saja.” Brady tiba-tiba datang dan mengambil duduk di sisi Midnight. Pria itu memegang gelas minumannya dan melepas topi yang entah sejak kapan bertengger di kepala pria itu. “Anginnya cukup kencang.” Keluh Brady. “Aku bisa melihatnya.” Sahut Midnight lembut. “Kau yakin ini aman untuk para pembalap?” Brady menoleh ke arah Midnight sekilas. “Cuaca di sini memang tidak bisa diprediksi. Seringkali angin yang datang dari laut mengacaukan kami. Semoga Tuhan melindungi kami hari ini.” Ujar Brady terdengar pesimis. Selama sisa balapan, Midnight terus memperhatikan Brady yang memusatkan perhatian pada layar besar di hadapan mereka. Sesekali pria itu berbincang dengan rekan satu timnya yang duduk tepat di sisi Brady. Midnight melihat ketidakpercayaan diri yang cukup besar di mata pria itu. Mungkinkah pria seperti Brady juga takut menghadapi sesuatu yang sangat disukainya? Atau ini hanyalah perasaannya saja? Akhirnya, kini giliran Brady menghandapi balapanya sendiri. Pria itu bangkit dengan diikuti oleh Lennon. Midnight entah bagaimana reflek berdiri saat melihat Brady hendak meninggalkan dirinya. Hal itu membuat Brady cukup terkejut. “Aku… harus pergi.” Ucap pria itu gugup. Midnight mengangguk singkat. “Semoga beruntung.” Brady membuka kedua tangannya lebar-lebar, meminta Midnight untuk memeluk pria itu. Tanpa berpikir dua kali, Midnight memeluk erat tubuh Brady dan tak lupa memberinya sebuah kecupan singkat di bibir. “Terima kasih sudah datang dan mendukungku.” Bisik pria itu tepat di telinga Midnight. “Selesaikan balapanmu dan tepati janjimu malam ini.” Midnight berkata lirih sebelum melepas pelukan mereka. “Kembalilah dengan selamat. Ada Iblis Kecil yang menunggumu di ranjang.” Mendengar ucapan nakalnya, Brady tak kuasa menahan umpatan. “Sial! Dasar Iblis Kecil!” ia kembali mengulum bibir Midnight. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. “Kau yakin?” “I've never felt this ready before. Be the first man to touch my body and teach me how to make love.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD