CHAPTER-6. A LIE.

2354 Words
CHAPTER-6. A LIE. MIDNIGHT akhirnya sampai di rumah Brady lewat tengah malam. Untuk ukuran seorang pembalap seperti Brady, pria itu memiliki rumah yang cukup besar dan mewah. Kali pertama ia memasuki rumah tersebut, Midnight membayangkan kalau kekayaan pria itu tidak hanya didapat dari balapan saja. Mungkin saja orangtua Brady memang seorang pengusaha yang cukup punya banyak untuk untuk memberi pria itu sebuah rumah mewah. Berbagai macam fasilitas ada di area rumah pria itu, termasuk kamar cantik yang kini ada di hadapannya. “Aku tidak tahu apa warna kesukaannmu, Mid.” Brady menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kuharap putih cocok untuk suasana hatimu.” Perhatian kecil itu menggetarkan hati Midnight. Jika memang Brady tidak begitu peduli padanya, mungkin ia tidak akan memperhatikan detail sekecil itu. Warna? Yang benar saja. “Ini cukup.” Ucap Midnight tulus. Tak lama kemudian, Brady mendorong kursi rodanya. Dokter yang merawatnya mengatakan kalau ia harus puas dengan hanya duduk di kursi roda selama kurang lebih empat minggu. Kenyataan itu cukup mengguncang Midnight, seandainya saja ia tidak gegabah dalam mengambil keputusan, seandainya saja ia mampu mengingat detail kecelakaan yang menimpanya, mungkin saat ini ia bisa berlari dengan menggunakan kedua kakinya. Mungkin saat ini Midnight tidak perlu memakai cervical collar di lehernya. “Terima kasih.” Lanjutnya setelah keduanya sampai di sisi ranjang. “Sebaiknya kau tidur.” Brady merapikan bantal dan selimut yang berada di atas kasur. Sebuah tindakan yang sama sekali tidak diperlukan karena tempat tersebut terlihat cukup nyaman. “Aku akan membantumu naik.” Midnight mengangguk lemah. Dalam situasi seperti sekarang, ia benar-benar merasa seperti seorang gadis yang tidak berguna yang hanya merepotkan orang lain saja. Dengan hati-hati, Brady mengangkat tubuh Midnight dan meletakkanya di atas ranjang. Pria itu menarik selimut, menutup sebagian besar tubuh Midnight dengan benda tersebut. “Brady,” ia akhirnya memberanikan diri mengucapkan nama itu. Seolah tahu ada yang salah, Brady menatap intens mata Midnight. “Ya?”  Kata-kata itu kembali tertelah di tenggorokan Midnight. Sedetik lalu Midnight yakin akan mampu mengucapkannya dengan baik. Detik berikutnya semua terasa berat. “Ada apa?” pria itu mendesak, membuat Midnight semakin tidak nyaman. Setelah menghitung sampai sepuluh di dalam hati, Midnight akhirnya memberanikan diri dan berkata, “Kau tidak perlu merawatku. Kumohon, ijinkan aku pulang.” “Tidak, Mid.” Brady menolak tegas. “Kau harus tetap di sini.” Midnight menolak gagasan itu. Kebenciannya terhadap Brady sama sekali belum berkurang. Justru rasanya semakin bertambah besar seiring berjalannya waktu. Terlebih setelah pria itu membuat dirinya seperti sekarang. “Kau bisa memberiku uang dan menyuruh orang untuk merawatku. Kurasa itu cukup. Jadwalmu cukup padat, bukan? Aku hanya akan menghambat langkahmu.” “Sayangnya, aku tidak berpikir seperti itu.” Brady tersenyum miring. Midnight melihat ada sesuatu yang berbeda dari Brady. Seolah pria itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. “Aku akan menyuruh dua orang untuk membantumu. Mereka akan dengan senang hati melakukan semua perintahmu. Jika kau tidak suka dengan pelayanan mereka, tolong katakan padaku.” “Dua orang maid?” tanya Midnight setengah tidak percaya. “Sungguh, aku sama sekali tidak membutuhkannya.” Midnight tampak jengah dengan ide tersebut. “Atau mungkin satu saja cukup.” Lanjutnya. Brady mengabaikan usulnya. “Dua lebih baik. Apa yang kaubutuhkan sekarang? Kau harus segera tidur karena ini sudah larut.” Pria itu menepuk kepala Midnight dengan lembut. Sebuah perlakuan kecil yang mengingatkannya pada Drake. “Aku akan segera tidur.” Midnight enggan berdebat dengan Brady saat ini. “Kau boleh keluar. Terima kasih, Brady.” “Selamat malam, Mid.” “Selama malam, Brady.” “Have a nice dream.” Brady bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh dari ranjang. Saat pria itu sampai di pintu, ia kembali menoleh. “Have a nice dream, Brady.” Ujar Midnight tulus. Pintu tertutup, meninggalkan Midnight seorang diri di kamar tersebut. Midnight memanjatkan doa sebelum memutuskan untuk tidur. Kerinduannya pada Drake dan Dalton membuat dirinya merasa tidak tenang. Jika biasanya dia sibuk dengan aktifitasnya, kini ia harus puas dengan hanya bisa berbaring di ranjang. Tempat baru, suasana baru dan kondisi kesehatan yang cukup buruk melengkapi malamnya. Selama sekian detik yang terasa cukup panjang. Midnight tidak menyerah untuk tidur. Ia menghitung berbagai macam makhluk mitologi Yunani yang pernah ia baca sebelumnya. Lelah berhitung Midnight memejamkan mata lagi dan mendengus keras ketika rasa kantuk tak kunjung menghampirinya. Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit. Midnight meneguk salivanya kasar, siapa yang datang? Ia mulai bertanya-tanya. Apakah bodyguard Brady yang berniat jahat padanya? Atau- ** Brady mengamati pintu di belakangnya. Kamar Midnight. Ia mengingatkan diri sendiri. Lennon yang sudah menunggunya di luar mengangkat sebelah alis, seolah sedang bertanya-tanya apakah yang kira-kira akan dilakukan Brady terhadap pintu tersebut. “Kau baik-baik saja?” tanya Lennon ragu. “Apa dia baik-baik saja?” Bahu Brady merosot. “Entah. Aku memaksanya kemari, mungkin dia tidak siap dengan tempat baru.” Lennon mengangguk, “Mungkin. Jadi sampai kapan kau akan berbohong padanya?” Pertanyaan Lennon sontak membuat Brady sadar akan satu hal. Cepat atau lambat, Midnight akan mengetahui kebohongan yang dengan sengaja ia ciptakan untuk memenjarakan gadis itu demi kepentingan pribadinya. Midnight gadis baik-baik dan tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan seperti itu. Terlebih, dia adalah adik kandung Drake. “Dia tidak akan tahu. Tugasmu, menjaga rahasia ini agar tidak diketahui oleh Midnight.” “Aku akan berusaha sebisaku.” Lennon memasukkan kedua tangan di saku celana. “Ada yang bisa kubantu lagi?” Brady mengangguk lemah. “Temani aku minum sampanye.” Ia berjalan menuju sebuah bar mini yang terletak di lantai dua. Keduanya melangkah beriringan tanpa suara. Dalam benak Brady, rasa bersalah yang cukup besar menyelimuti dirinya. Bukan karena kecelakaan yang menimpa Midnight, tetapi karena rencana liciknya untuk memenjarakan gadis itu. Sesampainya di bar, Lennon bergegas membuka pintu untuk mereka. Pria itu mengambil dua gelas lalu meletakkannya di atas meja di hadapan Brady. “Apa kita punya pilihan khusus malam ini?” Brady memegang kedua gelas dengan tangannya. “Tidak. Ambil saja yang menurutmu bagus.” “Kau punya koleksi terbaik. Semua berkelas di sini.” Lennon mengambil salah satu botol, meletakkan di atas meja dan membukanya. Merasa tidak perlu bertanya pada bosnya, ia mengambil gelas dari genggaman tangan Brady dan menuang sampanye untuk mereka. “Jangan minum terlalu banyak.” Perintah itu bukanlah hal yang sulit bagi Brady. Ia tidak berniat mabuk sekarang, Brady hanya membutuhkan sesuatu untuk menjernihkan kepala. Beruntung Lennon selalu memahami situasinya. Selain sebagai asisten pribadi yang merangkap sebagai bodyguard khusus, Lennon salah satu orang yang selalu ada untuk Brady dalam keadaan apa pun. “Tenanglah.” “Situasi hatimu sedang tidak baik. Bagaimana aku bisa tenang?” Lennon menimpali. “Kau sudah memenangkan kejuaraaan, jangan bekerja terlalu keras.” Bukan itu yang Brady pikirkan sekarang. “Aku tahu.” Katanya singkat. Sebaliknya, ia benar-benar  merasa kemenangan ini tidak ada artinya. Brady begitu mencintai dunia balap sebesar ia mencintai dirinya sendiri. Namun, kematian Drake sedikit mengubah cara pandangnya terhadap balapan. Dan Midnight, kenapa ia begitu ingin melindungi gadis itu? Hingga ia mengambil keputusan gegabah seperti sekarang. “Ada baiknya kau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada gadis itu. Kau tidak bisa membohonginya seperti ini terus-menerus.” Lennon meneguk sampanye dengan hati-hati. Wajah pria itu merah padam akibat cairan beralkohol itu. “Dia tidak akan mempercayaiku. Dia akan lebih percaya pada Si b******k Elliot.” Gerutu Brady. “Lagipula, kita tidak punya pilihan. Ini satu-satunya kesempatan yang kita miliki, Lennon.” Lennon kembali menuang sampanye untuk mereka. “Aku percaya padamu. Tapi satu hal yang harus selalu kau ingat, sesuatu yang dimulai dengan tidak baik mungkin akan berakhir tidak baik pula.” “Aku memulainya dengan tujuan yang baik.” Brady enggan melanjutkan ucapannya. “Hanya saja caranya yang salah, Bung.” Sambung Lennon. “Dia adik kandung Drake. Bukan gadis yang bisa kau mainkan seperti boneka. Aku ingatkan sekali lagi akan hal itu.” Lennon sepenuhnya benar. Mungkin tujuannya membawa Midnight ke rumah memang baik, tetapi caranya amat sangat salah. Ia memahami semua itu, tetapi Brady sama sekali tidak punya pilihan. Dia harus melakukan semua ini demi kebaikan Midnight. “Aku akan mengatakan yang sejujurnya nanti,” Lennon mengembuskan napas. “Nanti.” Pria itu bergumam lirih. “Sebaiknya kita tidur. Kau pasti lelah akhir-akhir ini.” Lennon bangkit dan menepuk bahu Brady. “Selamat malam, Brady.” Tak lama setelah itu, Brady melihat Lennon meninggalkannya seorang diri di bar. Sejauh yang ia ingat, Brady tidak pernah melakukan kejahatan semacam ini. Ia diajarkan oleh kedua orangtuanya untuk selalu melakukan segala macam hal dengan baik. Kecuali jika ada yang sengaja mencurangi dirinya, Brady tidak akan tinggal diam. Usai kepergian Lennon, Brady kembali menuang sampanye untuk diri sendiri. Ia meneguknya selama beberapa kali hingga kepalanya sedikit pening. Elliot, pria itu akan mendapatkan balasan setimpal atas perbuatannya, Brady memastikan hal itu. Merasa tak kunjung membaik, Brady memilih untuk kembali ke kamar dan tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Sebaiknya ia mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Esok rasa bersalah itu pastilah sudah berhenti menghantuinya. Ia hanya butuh waktu untuk meyakinkan Midnight akan bahaya Elliot dan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu semua selesai. Tidak ada lagi tanggung jawab untuk melindungi Midnight. Dan tidak ada lagi rasa bersalah. Ia akan kembali menjadi laki-laki yang bebas, tanpa beban. Melanjutkan hidup seperti sedia kala. Balapan, bersenang-senang, minuman, dan wanita. Bergoya-foya tanpa harus terikat pada siapa pun dan bertanggung jawab pada apa pun. Brady membayangkan hal itu sembari melangkah keluar dari bar. Sekarang, perasaannya terasa jauh lebih baik. Ia bisa tidur tenang mulai sekarang. Satu menit yang lalu semua itu terasa sangat menyenangkan. Namun, tiba-tiba saja kesenangan itu berubah menjadi keraguan. Keraguan itu datang ketika ia melewati kamar Midnight. Brady berhenti di sana, ragu sejenak sebelum akhirnya entah bagaimana tangannya terulur untuk membuka pintu tak berdosa itu. Apa yang kaulakukan? Tanyanya lebih kepada diri sendiri. Pintu terbuka separuh dan Brady tidak bisa mundur. Ia melihat sesuatu bergerak di atas tempat tidur Midnight. Mungkinkah dia belum tidur? Dengan ragu, Brady melangkah masuk lebih dalam ke kamar Midnight. Pintu itu tertutup otomatis saat ia sudah berada di dalam. Brady meneguk salivanya kasar. Haruskah ia melihat keadaan Midnight. Ia yakin melihat gadis itu bergerak saat ia membuka pintu, tetapi kenapa sekarang tidak ada pergerakan sama sekali? Apakah efek sampanye yang membuatnya seperti ini? Kau mungkin mabuk, Brady. Perlahan dan hati-hati, Brady membawa kedua kaki menuju ranjang Midnight. “Midnight…” gumamnya lirih. Tidak ada jawaban. Brady mencoba sekali lagi. “Kau sudah tidur?” Dan masih tidak ada jawaban. Brady menelengkan kepala, mencermati posisi tidur Midnight. Untungnya gadis itu tidur terlentang sehingga posisi leher dan kakinya cukup aman. “Kurasa aku tadi melihatmu bergerak.” Ia lagi-lagi berkata kepada diri sendiri. “Senang melihatmu nyaman di rumahku, Mid. Sampai jumpa.” Brady memutar tubuh dan berniat pergi dari kamar Midinight, tetapi… “Kau membuatku takut!” protes Midnight dengan nada kesal. Mengurungkan niat untuk pergi, Brady kembali berbalik dan mendapati Midnight melihatnya ketakutan. Gelombang rasa bersalah kembali menghantuinya. “Ada apa?” tanya Brady khawatir. “Kupikir kau laki-laki yang berniat jahat padaku.” cicit gadis itu disertai nada getir di dalamnya. Brady sontak mendaratkan p****t di ranjang Midnight, mencoba menenangkan gadis itu. “Tidak akan ada yang berbuat macam-macam padamu, Mid. Kau aman di sini.” “Kau harus mengunci pintunya saat aku tidur. Nyaris sebagian besar penghuni rumahmu adalah laki-laki. Bagaimana jika-“ gadis itu berhenti, suaranya semakin pelan. “lupakan.” Brady menunduk agar bisa menatap manik mata Midnight. “Tidak aka nada yang berani menyentuhmu. Aku berjanji.” Sayangnya, ucapan itu tidak lantas membuat Midnight merasa tenang. “Kunci pintunya saat aku tidur.” Seakan memahami ketakutan dalam suara Midnight, Brady mencoba menghibur gadis itu. “Tenang, aku sudah mendesai pintu sedemikian rupa sehingga tidak sembarang orang bisa masuk. Hanya aku dan beberapa pelayan wanita yang bisa melewati pintu itu.” Midnight mengembuskan napas lega. “Kau yakin?” Ujung bibir Brady terangkat melihat ekspresi Midnight yang jauh lebih tenang. Ternyata menyenangkan melihat gadis itu merasa aman saat bersama dirinya. “Aku yakin. Kenapa kau tidak tidur?” “Aku tidak bisa tidur, Brady. Entahlah. Aku benar-benar takut sekarang.” Gadis itu mendongak dengan perlahan, “Bagaimana denganmu?” Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku baru saja minum sampanye bersama Lennon.” “Kau mabuk?” tuduh Midnight. “Pantas saja aku mencium bau-“ “Aku tidak mabuk, Mid.” Sanggah Brady. “Hanya sedikit. Kalau aku mabuk, aku tidak akan dekat-dekat denganmu.” Pria itu mendesis. “Brady, jangan macam-macam!” Midnight berkata tegas. “Keluar dari sini sebelum kau…” kata-kata Midnight menggantung di udara. “Kau?” Brady tersenyum melihat ekspresi panik di wajah gadis itu. “Lupakan!” ketus Midnight. “sebaiknya kau kembali ke kamarmu.” Ia memberi saran. Sebaiknya memang begitu, tapi Brady enggan beranjak dari ranjang Midnight. Ia ingin memastikan Midnight tidur nyenyak sebelum meninggalkan gadis itu. “Pasti ada sesuatu yang membuatmu tidak bisa tidur. Apa kau tidak nyaman berada di sini? Apa kau membutuhkan sesuatu?” Tangan Midnight mencekeram erat selimut yang menutup tubuhnya. “Ini sesuatu yang baru untukku. Rumah baru, suasana baru dan juga kondisi fisik yang menyedihkan. Aku tidak bisa berhenti memikirkan semua itu.” “Kau perlu teman bicara kalau begitu.” Brady menggeser tubuh Midnight dengan hati-hati. Ia lalu berbaring di sisi gadis itu. “Aku akan menemanimu, sampai kau terlelap.” Midnight menolak tegas gagasan itu. “Brady, kau tidak perlu melakukannya. Sungguh!” “Sssttt…” Brady meraih tangan Midnight dan menggenggamnya. “Aku melakukannya dengan sukarela. “Kau ada di rumahku dan aku harus memastikan kau aman dan nyaman di sini.” Keheningan membungkus ruangan itu cukup lama. Midnight memecahnya dengan ucapan, “Terima kasih.” “Sama-sama.” Keduanya lalu larut dalam perbincangan ringan. Tak lama kemudian, Midnight menguap, diikuti Brady. Malam itu, pertama kalinya Brady merasa bahagia tidur bersama seorang gadis yang sama sekali tidak disentuhnya. Pertama kalinya Brady mengijinkan seorang wanita menginap di kediamannya. Dan pertama kalinya Brady merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Lalu, bagaimana jika Midnight mengetahui kebohongannya selama ini? Akankah gadis itu memaafkan Brady?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD