CHAPTER-7. PHILIP ISLAND.

2457 Words
HAI, SEBAGIAN DARI KALIAN PASTI BERTANYA-TANYA, KENAPA CERITA INI SAMA SEKALI TIDAK MENARIK. TIDAK ADA KONFLIK ANTARA MIDNIGHT DAN BRADY. ATAU BISA DIKATAKAN TIDAK "GREGET" SAMA SEKALI. AKU HANYA BISA MINTA MAAF JIKA PADA AKHIRNYA CERITA INI TIDAK SESUAI EKSPEKTASI KALIAN. SEKALI LAGI, MAAF. DI SINI AKU HANYA INGIN MENULISKAN APA YANG INGIN AKU TULIS. BAGIKU SETIAP KISAH ITU 'UNIK'. AKU MENCOBA MENCIPTAKAN KARAKTER YANG BERBEDA DALAM SETIAP CERITA YANG KUBUAT. SETIAP TOKOH MEMILIKI KEISTIMEWAAN. PUN DENGAN BRADY DAN MIDNIGHT. TIDAK SEMUA BISA DIPUKUL RATA. HARUS SEPERTI INI DAN HARUS SEPERTI ITU. BRADY DAN MIDNIGHT CUKUP MEMBUATKU KESULITAN DALAM PROSES PENCIPTAANNYA. MEREKA BERDUA ADALAH TOKOH-TOKOH YANG BERSEMBUNYI DI RELUNG IMAJINASIKU YANG CUKUP JAUH SEHINGGA AKU HARUS SUSAH-PAYAH BERLARI MENGGAPAI MEREKA. DI SINI, AKU INGIN MENUMBUHKAN CINTA UNTUK MEREKA SETELAH DENDAM MIDNIGHT PADA BRADY KARENA KEMATIAN DRAKE. DAN SETELAH BENIH-BENIH CINTA TUMBUH DI ANTARA KEDUANYA, AKU INGIN MENGHANCURKAN CINTA KEDUANYA DENGAN CINTA YANG LAIN... TENANG, CINTA SEJATI AKAN SELALU MENEMUKAN RUMAH TERBAIKNYA, BUKAN? SELAMAT MEMBACA. SEBELUM SEMAKIN KECEWA DENGAN ALURNYA, SEBAIKNYA KALIAN MUNDUR DARI SEKARANG. WITH LOVE, EVA. CHAPTER-7. PHILIP ISLAND. PAGINYA Midnight terbangun dengan tubuh remuk redam akibat ulah cervical collar dan gips di kakinya. Ia mengerang tertahan kala kedua benda itu membatasi pergerakannya selama semalam penuh. Tidurnya sama sekali terasa tidak nyaman, bahkan jauh dari kata nyenyak. Midnight berharap ia bisa menyingkirkan dua benda sialan itu  dan bebas bergerak sepanjang malam seperti yang selalu ia lakukan. Namun sayang, sepertinya ia hanya mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi. Kedua benda itu akan selalu menyertai dirinya sampai dokter mengatakan dia sembuh. “Good morning, Mid.” Sebuah suara serak khas orang bangun tidur mengejutkan Midnight. Meski pagi ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu, tetap rasa rasanya… mengejutkan. Dari ekor matanya, Midnight melirik pada pria yang masih melingkarkan satu tangan di perutnya. “Bagaimana tidurmu?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Midnight. Ia sama sekali tidak menduga akan bertanya seperti itu pada Brady. Brady menguap lebar, “Nyenyak. Dan kau?” Jawaban pria itu menggerakkan sudut-sudut di bibirnya. “Jauh dari kata nyenyak kurasa.” “Pasti karena cervical collar dan gips itu, bukan?” Dugaan Brady benar tepat sasaran. “Ya. Aku sangat tidak nyaman.” Perlahan Brady bangkit dari tidurnya. “Ya, kau pasti merasa seperti itu. Saat aku jatuh dari motorku beberapa tahun yang lalu, aku harus merasakan sakit yang sama seperti yang rasakan saat ini. Untungnya proses pemulihanku cukup cepat, jadi aku hanya perlu membutuhkan waktu kurang dari satu bulan untuk bisa terbebas dari benda-benda menyebalkan itu.” pria itu menyandarkan punggung di kepala ranjang. Satu tangannya membelai lembut rambut Midnight. “Maaf membuatmu merasa seperti ini, Mid. Aku akan mencari dokter terbaik untuk merawatmu.” Midnight tidak suka dengan cara Brady mengucapkan kalimat terakhirnya. Hal itu tampak seolah pria itu bisa membeli dunia sedangkan dirinya tidak berdaya di bawah ketiak Brady. “Ya… ya… ya… Aku percaya itu.” Brady menunduk, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. “Kau marah padaku, Mid?” tanya pria itu hati-hati. “Ayolah, aku tidak bermaksud seperti itu. Kau tahu aku hanya ingin bertanggung jawab atas perbuatanku. Ibuku selalu mengajariku untuk tidak menyakiti hati wanita-“ “Hentikan, Brady.” Midnight mulai muak dengan ucapan tanggung jawab yang selalu dilontarkan pria itu. “Kau membuat suasana hatiku semakin buruk.” “Baiklah, aku minta maaf.” Ia mengecup pucuk kepala Midnight. “Aku harus pergi hari ini. Ada dua suster yang akan membantumu di sini. Kuharap kau nyaman dengan mereka berdua.” Mendengar hal itu, Midnight hanya bisa mendesah pelan. Ya, akhirnya ia harus menerima kenyataan kalau memang Brady tidak akan menemaninya. Pria itu memikiki jadwal yang cukup padat sebagai seorang superstar di bidangnya. Balapan, latihan, pemotretan, wawancara dan masih banyak lagi. Semua kegiatan Brady hampir sama seperti yang dulu kakaknya lakukan. Hanya saja, nama Drake tidak sebesar nama Brady sehingga kesibukan mereka pun sedikit berbeda. Midnight memandangi pria itu saat turun dari ranjang. Brady yang dilihatnya selama dua hari terakhir memperlakukan dirinya seperti seorang kakak yang sedang menjaga adik kecilnya yang tidak berdaya. Kenyataan itu menghantam telak d**a Midnight. Sungguh, dia tidak ingin Brady meninggalkannya. Dia tidak mengenal siapa pun di rumah besar itu. Satu-satunya yang dia kenal hanyalah Brady. Apa jadinya ia tanpa pria itu? Midnight lebih baik kembali pada keluarganya dibanding harus terkurung di rumah Brady seorang diri. “Mid…?” Brady menggoyang-goyangkan salah satu tangan di depan wajanya, “Kau baik-baik saja?” tanya pria itu hati-hati. Midnight mengangguk dan tersenyum getir. “Brady, aku ingin pulang.” Pintanya dengan nada lirih. Pria itu menggeleng tegas. “Maaf, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu.” Katanya penuh sesal. Midnight mengambil napas panjang, “Aku tidak bisa tetap tinggal selama kau tidak di sini. Ijinkan aku pulang atau kau bisa memindahkan semua fasilitas ini ke rumahku. Kau juga menyewa satu kamar di rumah sakit untuk menampungku. Please…” pintanya. Brady menatap Midnight penuh sesal. “Aku harus pergi. Maaf.” “Aku tahu. Ijinkan aku pergi dari sini.” “Aku tidak bisa.” Suara Brady mendadak kasar dan dingin. Pria itu menyugar rambutnya yang mulai panjang. “Kau harus tetap tinggal di sini sampai aku kembali.” “Sampai kapan?” Midnight mulai terisak. Kakinya yang lumpuh dan lehernya yang cidera benar-benar membuat dirinya muak. “Aku tidak mau di sini, Brady! Biarkan aku pergi!” “Tidak!” Brady menolak dengan tegas. “Kau harus tetap tinggal sampai aku kembali!” pria itu melempar tatapan tajam pada Midnight. “Kau kejam!” Midnight balas berteriak. Aneh, seharusnya ia merasakan sakit pada lehernya saat berbicara dengan nada tinggi. Namun Midnight sama sekali tidak merasakan apa pun. Tidak ada rasa sakit atau hal-hal yang mengidikasikan kalau dia mengalami cidera parah. “Aku harus pergi.” Brady berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. “Kau, tepati janjimu!” Usai mengucapkannya, Brady bergegas meninggalkan Midnight. Pria itu melangkah menuju pintu yang otomatis terbuka saat Brady sampai di depan daun pintu. Brady tampak ragu sebelum akhirmya menengok singkat pada Midnight dan bergegas meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya, Midnight bersyukur karena Brady masih mau bertanggung jawab atas dirinya. Meskipun Midnight telah menuduh Brady tanpa bukti, menantang balapan, dan bahkan mempermalukan pria itu di hadapan teman-temannya, Brady dengan senang hati menampung dirinya. Midnight tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya jika Brady tidak mengambil alih masalah ini. Mungkin saat ini ia harus menyaksikan Dalton bekerja mati-matian demi membiayai hidup mereka berdua. Hanya air mata yang bisa menemani Midnight saat ini. Ia tidak punya teman untuk berbagi, tempat untuk mengadu dan bahu untuk bersandar. Satu-satunya yang dia miliki adalah air mata dan tubuh tidak berdaya. Jika Midnight bisa berlari, ia mungkin akan berlari sejauh mungkin dari jangkauan Brady. Jika Midnight bisa berteriak, ia akan mengumpat dan memberi pria itu sumpah serapah. Dengan kelumpuhan yang menimpanya, Midnight hanya bisa pasrah. Dia tidak punya pilihan. Dan sekali lagi, dia sudah berjanji kepada Brady. ** Brady menemukan Lennon berdiri di depan pintu saat berjalan keluar dari kamar Midnight. Pria itu seolah memahami apa yang barusan terjadi. Lennon hanya bisa menggeleng lemah sembari melempar tatapan penuh simpati ke arahnya. “Kita harus berangkat siang ini.” Ujar pria itu tenang. “Aku tahu.” Brady kembali teringat pertengkarannya dengan Midnight. Membawa seorang gadis ke dalam kehidupannya memang sebuah keputusan yang cukup beresiko. Ia memahami semua itu, tetapi ini adalah satu-satunya cara menyelamatkan Midnight dari Elliot. Brady tidak punya pilihan. Tidak sama sekali. Meskipun telah dinyatakan menang bahkan sebelum ia menyelesaikan semua sesi balap musim ini, Brady tetap harus mengikuti semua sesi yang tersisa. Siang ini, ia dan timnya harus terbang ke Autralia. Sepulang dari Autralia Brady masih harus pergi ke Malaysia dan Valencia. Perjalanan itu membutuhkan waktu yang cukup lama sampai akhirnya rangkaian MotoGP dinyatakan selesai. Yang artinya, ia harus meninggalkan Midnight sendirian di  rumahnya selama ia pergi. Brady membawa keduanya kakinya menuju kamarnya sendiri. Semua barang-barang yang seharusnya ia bawa ke Australia sudah disiapkan di dalam beberapa koper. Untuk pertama kalinya Brady melihat tumpukan koper tersebut dan merasa kecewa pada dirinya sendiri. Inilah salah satu alasan ia tidak mau terikat dengan wanita mana pun. Memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis adalah ancaman bagi karirnya. Namun, hubungannya dengan Midnight sungguh sangat berbeda. Seharusnya dia tidak terusik dengan fakta tersebut. Namun pada kenyataannya, kehadiran Midnight sungguh sangat mengusik dirinya. Setelah berpikir selama beberapa saat, ia akhirnya memutuskan untuk memanggil Lennon ke kamarnya. Tak butuh waktu lama bagi Lennon untuk masuk dan menghadap Brady. “Ada yang bisa kubantu?” “Aku ingin Midnight ikut bersama kita.” Brady berkata tegas. Lennon mengangkat sebelah alis, seolah keberatan dengan ucapan Brady. “Sepertinya kita tidak punya rencana cadangan untuk membawa seorang gadis-“ “Aku tidak mau tahu, Lennon. Aku ingin Midnight ikut bersama kita. Siapkan semua yang dia butuhkah. Tugasmu mencari Dalton dan menemukan passport Midnight. Bawa juga kedua pelayan yang sudah kutugaskan untuk merawatnya.” Pria keras kepala seperti Lennon memang tidak bisa begitu saja melakukan perintah Brady. “Ada banyak sekali resiko yang harus kita hadapi jika kita nekat membawanya. Midnight belum bisa berjalan. Secara teknis dia membutuhkan perawatan medis.” “Aku tahu.” Brady menangkupkan kedua tangan di wajahnya dengan frustasi. “Kita bisa membawa dokter pribadi untuk memantau keadaannya. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun darimu, Lennon. Keputusanku sudah bulat, aku akan membawa Midnight ke Autralia siang ini.” Lennon mendesah pelan. “Dia bahkan harus menggunakan kursi roda.” “Kursi roda bukanlah alasan yang tepat kau tidak menyetujui rencanaku. Waktu kita tidak banyak, usai makan siang kita harus pergi ke bandara.” Brady menyilangkan kedua tangan di depan d**a. “Kau boleh pergi.” Pungkasnya. Merasa tidak berdaya melawan keputusan atasannya, Lennon akhirnya memilih angkat kaki dari sana. “Baik.” Ia berkata sambil lalu. Tak lama setelah kepergian Lennon, Brady bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus memberitahu Midnight mengenai kepergian mereka ke Australia. Keadaan Midnight tidak menghalangi niat Brady membawa gadis itu bersamanya. Midnight memang harus menggunakan kursi roda, tetapi dengan tubuh berototnya Brady sangat yakin ia mampu mendorong Midnight mengelilingi benua Australia. Kurang dari satu jam kemudian, Brady kembali berdiri di depan pintu kamar Midnight. Ia melihat beberapa orang telah menghilang dari rumahnya. Itu artinya Lennon membawa anak buahnya untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan keikutsertaan Midnight ke Autralia. Brady menekan salah satu tombol yang berada di sisi pintu. Benda yang terbuat dari besi itu membuka secara otomatis. Begitu pintu terbuka, ia menemukan Midnight seorang diri di atas ranjang dengan wajah sendu. Dengan perasaan membuncah, Brady menghampiri Midnight yang jelas menyadari kedatangannya. Gadis itu membuang muka, tampak begitu muak dengan dirinya. “Aku datang untuk memastikan apakah pasienku sudah sarapan atau belum.” Brady mengambil tempat di sisi Midnight, ia menepuk pucuk kepala gadis itu selama berkali-kali. “Mid…” ujarnya saat Midnight tak kunjung merespon. “Apa kau baik-baik saja?” Dengusan kecil lolos begitu saja dari tenggorokan Midnight. “Tidak.” ucap gadis itu singkat. “Kau marah padaku?” “Tidak.” “Nah, sikapmu yang dingin menunjukkan kalau kau sedang marah padaku. Jadi, apa kau sudah sarapan?” Brady mengarahkan pandangannya ke meja makan dan menemukan makanan Midnight sama sekali belum tersentuh. “Kau harus makan, Mid.” Midnight menoleh dan menatap Brady tajam. “Aku tidak butuh makan. Yang aku butuhkan saat ini adalah kebebasan! Kebebasan, Brady! Catat itu! Sekarang berikan kursi roda padaku dan aku akan pergi secepatnya dari sini.” ucap gadis itu galak. Mendengar hal itu, Brady hanya bisa meringis. Membiarkan Midnight pergi? Yang benar saja, sampai kapan pun ia tidak akan melepaskan Midnight. Tidak setelah gadis itu tahu fakta yang sebenarnya tentang kematian Drake. “Aku akan memberimu kursi roda setelah kau menghabiskan sarapanmu. Bagaimana?” Ucapannya barusan sontak menarik minat Midnight. Ia memusatkan tatapannya pada Brady, keningnya mengerut dalam seakan tidak yakin dengan perkataan Brady barusan. “Kau bercanda?” “Tidak.” Brady bangkit untuk mengambil piring di atas meja yang terletak tak jauh dari ranjang Midnight. “Habiskan makananmu, Mid. Aku berjanji akan memberimu kursi roda setelah ini.” Sorot mata Midnight yang semula redup mendadak dipenuhi kobaran api semangat. Gadis itu menyunggingkan senyuman terbaiknya, “Baiklah! Berikan padaku piringnya dan aku akan segera menghabiskan sarapanku.” Brady menyerahkan piring tersebut kepada Midnight. Namun berhubung gadis itu masih memakai cervical collar, dia tidak bisa leluasa menyendok dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Melihat Midnight kesulitan, Brady hanya bisa menahan senyumm. Ia akan menunggu sampai berapa lama gadis itu meminta bantuan darinya. “Sial!” umpat Midnight saat makanan jatuh dari sendoknya. Midnight mencoba menyendok lagi dan lagi, tetapi tampaknya gadis itu benar-benar kesulitan membawa sendok ke mulut dengan selamat. “Butuh bantuan, Miss Winters?” Midnight melirik Brady dari sudut matanya. “Tidak. Terima kasih, Tuan!” katanya ketus. Setelah beberapa kali percobaan akhirnya Midnight berhasil membawa sendok berisi makanan ke dalam mulutnya. Sebuah usaha kecil yang penuh dengan perjuangan itu menimbulkan perasaan kagum yang ditunjukkan Brady pada gadis itu. Jika Midnight adalah gadis lain yang yang terbiasa hidup dengan pelayan berhamburan di sekitarnya, mungkin dia tidak akan berjuang sekeras itu hanya untuk mendapatkan kursi roda yang telah dijanjikannya. “Kenapa kau melihatku seperti itu?” Brady tersentak dengan pertanyaaan yang begitu terus terang yang ditunjukkan oleh Midnight. “Ha?” “Ha?” ulang Midnight tidak percaya. “Astaga, ini masih terlalu pagi untuk melamun, Brady.” “Aku tidak melamun.” Elak Brady. Ia tidak mau terlihat mengagumi sikap Midnight yang pantang menyerah. “A- aku hanya…” Brady berpikir sejenak. “membayangkan perjalanan ke Autralia.” “Kau melihatku dan melamun. Bukan membayangkan Australia.” Tuduh Midnight. Baiklah, Midnight sepenuhnya benar. Bayangan benua Australia mendadak hilang sejak ia menginjakkan kaki di kamar Midnight. Jika biasanya dia selalu membayangkan pesta bersama teman-temannya usai balapan, kini entah bagaimana keinginan itu musnah. Yang ada dibenaknya adalah mengunjungi benus itu bersama Midnight dan sepatu rodanya. “Kau harus memberiku sepatu roda setelah ini!” Midnight menyerahkan piring kosong kepada Brady. “Jangan ingkari janjimu, Tuan.” Brady mengulas senyuman. “Tidak. Aku akan memberimu kursi roda. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini.” “Brady!” Midnight menjerit keras. “Kau sudah berjanji!” “Ya,” Brady mengedikkan bahu acuh. “Aku memang berjanji memberimu kursi roda, Mid. Tapi aku tidak berjanji membiarkanmu pergi dariku.” Midnight kembali berkaca-kaca. “Kenapa kau jahat sekali! Biarkan aku pergi dari sini!” lagi-lagi gadis itu berteriak. Brady menangkupkan kedua tangannya di wajah Midnight sebelum gadis itu menjadi semakin histeris. Dengan gerakan cukup cepat, ia mencium bibir Midnight sesaat lalu berkata, “Aku akan membawamu ikut denganku ke Philip Island-Australia.”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD