CHAPTER-7. LET ME BE A PART OF YOUR LIFE.
MIDNIGHT tertegun saat Brady menciumnya dan mengucapkan kalau mereka akan pergi ke Phillip Island. Ia mengulangi nama tempat itu sekali lagi di benaknya. Phillip Island. Apakah dia sedang bermimpi? Sebuah tempat di mana terdadap sirkuit MotoGP dan diadakannya ajang balap motor kejuaraan dunia. Selama ini ia selalu membayangkan mengikuti jejak sang kakak untuk mengunjungi tempat-tempat di seluruh dunia ketika kakaknya mengikuti setiap sesi bapalan. Namun, karena Drake tidak mau dunia mengetahui keluarganya, sang kakak tidak pernah mengijinkan dirinya dan Dalton untuk turut menyaksikan balapan pria itu. Alhasil, impiannya itu hanya sebatas mimpi yang mustahil terwujud.
Sementara ciuman itu? Kenapa pula Brady harus menciumnya lagi? Tidakkah pria itu tahu betapa besar dampak ciuman yang singkat yang pria itu berikan padanya? Baiklah, mungkin bagi Brady Si b******k mencium sembarang gadis yang dia temui di mana pun adalah sesuatu yang lumrah, tetapi bagi Midnight kebiasaan itu sama sekali tidak tertanam di benaknya. Kakaknya Drake selalu melarang Midnight berhubungan dengan pria b******k. Alhasil Midnight terlalu pemilih jika berkaitan dengan laki-laki. Dia pun nyaris tidak pernah berkencan atau bahkan mencium dan mengijinkan seorang laki-laki menyentuhnya barang sedikit pun.
Mungkin itulah alasan mengapa jantungnya meronta di rongga d**a Midnight. Sebelum ini Midnight nyaris tidak pernah memiliki perasaan apa pun terhadap lawan jenisnya. Brady lah orang pertama yang mampu membuat perasaannya jungkir balik seperti sekarang.
“Mid…” Brady menggoyang-goyangkan kepala Midnight. “Apa kau baik-baik saja?”
Ya, dia sedang baik-baik saja. Hanya saja saat ini dia terlalu bahagia sehingga kesulitan untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas ucapan Brady. Serta ciuman itu… “Apa yang barusan kau katakan?” tanyanya untuk mengalihkan detail mengenai sepasang bibir yang baru saja membasahi bibirnya.
“Phillip Island.” ulang Brady sembari memutar bola matanya. “Kau pernah mendengarnya, bukan?”
“Ya.” Midnight nyengir, menampilkan rentetan gigi-gigi putihnya. “Kau berniat membawaku ke sana?”
Pria itu mengangguk, kedua tangannya yang hangat masih membingkai wajah Midnight. “Setelah kupikir-pikir, aku tidak tega membiarkanmu sendirian di sini. Apa kau mau ikut denganku?”
Tidak bisa dipungkiri kalau Midnight memang ingin pergi ke Phillip Island bersama Brady. Namun, dengan kondisinya yang sekarang, rasanya tidak etis jika dia ikut bersama pria itu mengarungi benua hanya demi kepuasan pribadinya. Midnight memandangi Brady yang menunggu jawabannya. Tanpa perlu berpikir pun dia tahu kalau sebaiknya dia menolak usul Brady. “Maaf, aku tidak bisa.”
Kedua tangan pria itu turun dari wajah Midnight. Sorot kekecewaan tampak begitu jelas di matanya. Tenggorokan Brady naik-turun, seolah dia ingin marah tetapi mati-matian menahan amarahnya. “Kau yakin? Aku tidak mau kau kabur saat aku pergi nanti.”
“Kabur?” ulang Midnight tidak percaya. “Apa maksudmu?”
“Aku tidak pulang dalam waktu dekat, Mid.” Brady mengalihkan tatapan dari wajah Midnight. “Setelah dari Australia, aku akan langsung pergi ke Malaysia dan Valencia. Itu artinya aku tidak bisa menemuimu selama kurang lebih satu bulan lamanya.”
Midnight tertegun, kenapa Brady tampak khawatir jika mereka tidak bertemu selama itu? Meskipun ada rasa tidak nyaman dalam dirinya yang juga disebabkan oleh pernyataan Brady. Satu bulan? Baiklah, tidak masalah. Hanya satu bulan.
“Ikutlah denganku, kumohon.” Pinta Brady sembari menggenggam kedua tangannya.
Midnight sekali lagi menggeleng. “Aku tidak bisa. Lagipula, aku tidak mungkin bisa kabur darimu. Ada banyak penjaga di sini, dengan kakiku yang sakit dan leherku yang seperti ini, bagaimana caranya agar aku bisa kabur?”
Brady merengut mendengarnya, “Penjahat selalu punya cara untuk menghindar dari kejaran polisi, Mid. Aku bukan anak-anak yang mudah kaubohongin.”
“Dan aku juga bukan penjahat, Brady.”
“Kenapa kau menolak ikut denganku?” Brady melepas genggaman tangan mereka. Pria itu bangkit dan berjalan menuju jendela besar di salah satu sudut kamar Midnight. Meski belum pernah melihat pemandangan di luar rumah Brady saat siang hari, Midnight menduga rumah Brady tak kalah indah dengan istana milik Travis Scoot.
“Karena aku tidak mau membebanimu, Brady.” Sahut Midnight lirih. Semula ide pergi dengan Brady terasa sangat menyenangkan. Namun setelah ia pikir-pikir, ia hanya akan mengganggu konsentrasi pria itu. “Kau harus memenangkan grad prix kali ini. Jika aku ikut denganmu, mungkin kau akan lebih sibuk mengurusku.”
Brady berbalik, ia menatap Midnight dengan senyum simpulnya. “Aku sudah menang. Apa kau tidak tahu itu?”
“Bukankah masih ada tiga-“
“Tapi nilaiku mustahil untuk disusul. Sejauh ini dunia mengatakan kalau aku akan menjadi pemenang lagi dan lagi. Kalaupun pada akhirnya aku tidak ikut serta dalam tiga sesi terkahir, aku tetap akan menjadi pemenang, Mid.”
Ah, Midnight mengerti sekarang. “Sombong dan angkuh seperti biasa.” gumamnya lebih kepada diri sendiri.
“Jadi, apa kau mau ikut denganku?”
“Apa yang akan kulakukan di sana?”
Ujung bibir Brady terangkat sedemikian rupa hingga membentuk senyum simpul, “Kita akan bersenang-senang.”
“Bersenang-sengan dalam artian?” Midnight memandang pria itu penuh minat.
“Aku akan menunjukkan padamu setelah kita sampai. Perjalanan ini akan membuatmu terkesan.” Brady kembali menghampiri Midnight. “Berjanjilah kau tidak akan menemui Elliot apa pun yang terjadi.”
“Tapi-“
“Midnight,” potong Brady dengan suara dingin.
Karena tidak punya pilihan, akhirnya Midnight hanya bisa berkata, “Baiklah. Terserah padamu saja.”
“Good girl.” Brady menepuk pucuk kepala Midnight berkali-kali layaknya seorang kakak yang baru saja mendengar adik perempuannya mendapatkan nilai terbaik di kelas. “Aku tidak akan mengecewakanmu.”
**
Usai makan siang, Brady mendorong kursi roda Midnight menuju jet pribadi yang sudah menunggu mereka. Brady memutuskan untuk menggunakan pesawat pribadi karena khawatir Midnight tidak nyaman jika harus bergabung dengan rekan-rekannya. Ini perjalanan pertama mereka, Brady harus memastikan Midnight aman dan nyaman sampai tujuan. Atau kalau dia tidak bisa menjamin semua itu, mungkin Midnight tidak akan mau lagi pergi dengannya.
Setibanya di ujung garbarata, Brady menghentikan langkah. Ia menunduk dan berbisik tepat di telinga Midnight. “Aku akan menggendongmu.”
“Ha?” Midnight tampak terkejut dengan ucapannya, rona merah menjalari pipi gadis itu. “Gendong? Tidak, tidak perlu Brady.”
Brady merasakan getaran halus di jantungnya. Ia menggeleng pelan. Tidak. Tidak mungkin dia memiliki perasaan khusus terhadap Midnight. Sekali lagi Brady mengingatkan dirinya sendiri, kalau Midnight adalah adik kandung Drake. Ketika memandangi rona merah di pipi Midnight, entah bagaimana tatapannya beralih pada sepasang bibir merah muda milik gadis itu. Jika memang dia menganggap Midnight seperti adiknya, lalu bagaimana dengan ciuman yang selalu berhasil ia curi dari gadis itu?
Ah, sebuah ciuman. Sisi baik dari diri Brady terus bertanya apa tujuan dia mencium Midnight. Harus diakui, gadis itu memiliki sepasang bibir yang sangat manis dan entah bagaimana terasa pas di mulutnya. Bibir Midnight tidak terlalu tipis dan tidak terlalu penuh, mungkin itulah yang membuat Midnight terasa berbeda dari kebanyakan wanita yang selama ini bersamanya. Sementara sisi jahat dari dirinya justru menginnginkan percintaan panas dengan gadis itu. Brady membayangkan…
“Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan menatapku seperti itu?”
Pertanyaan Midnight memutus lamunan Brady. Merasa tidak perlu menunggu persetujuan dari gadis itu, Brady dengan hati-hati mengangkat tubuh Midnight lalu menggendong gadis itu menaiki satu per satu anak tangga. Midnight yang terkejut dengan perlakuannya bergegas memeluk tubuh Brady. Tidak ada protes yang terlontar dari mulut gadis itu, Brady hanya bisa merasakan tubuh Midnight menegang ketika bersentuhan dengan tubuhnya.
Sesampainya di dalam pesawat, Brady menurunkan Midnight di salah satu sofa panjang agar gadis itu bisa meluruskan kakinya. Seorang pramugari dan seorang pelayan datang menghampiri mereka lalu bertanya apa yang mereka butuhkan. Brady meminta agar disiapkan sebotol wine sementara Midnight menginginkan segelas jus jeruk.
“Hanya itu?” tanya Brady saat mendengar jawaban dari Midnight.
“Ya.” Midnight melihat keluar jendela, tampak asyik dengan dunianya sendiri.
Brady segera meminta pramugari dan pelayan untuk pergi. Begitu punggung keduanya menghilang ditelan pintu, ia bergegas menghampiri Midnight. “Apa yang kau lihat?”
Gadis itu menunjuk ke bawah di mana tampak beberapa orang sibuk dengan pekerjaan mereka. “Aku ingin berjalan lagi, Brady. Apakah kakiku akan lumpuh selamanya?”
Brady meringis mendengar ucapan Midnight. Seandainya saja gadis itu tahu… “Tidak. Dokter memastikan kau bisa berjalan lagi nanti. Setelah sampai di Australia, aku akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.”
“Aku hanya takut.”
“Aku tahu. Aku pernah merasa setakut itu. Jangan berpikir terlalu keras, Mid. Kau bisa sakit.”
Midnight mendengus. “Kuharap kau tidak lupa kalau saat ini aku memang sedang sakit.” Ia melirik sekilas pada Brady. “Dan kau justru membawaku kemari.”
Mendengar tuduhan yang kebetulan tidak bisa dibantah itu, Brady hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Jangan salahkan aku. Aku hanya tidak tega meninggalkanmu sendiri di rumahku. Kenapa kau tidak pernah muncul saat Drake balapan. Tidak satu pun pihak keluarga Drake datang dan mendukungnya saat sedang bertanding.
Gadis itu mengambil napas panjang. “Kedua orangtuaku tidak mengijinkan Drake terjun ke dunia balap motor. Mereka berpikir tindakan itu terlalu berbahaya dan melarang siapa pun mendukung keinginan Drake. Itulah alasan kami tidak pernah muncul dalam setiap sesi balapan Drake. Hingga akhirnya, dia benar-benar pergi.” Sebulir air mata jatuh di pipi Midnight.
Sama seperti Midnight, Brady juga merasakan sakit yang luar biasa jika mengingat kepergian Drake yang cukup tragis. Selama berbulan-bulan, ia tidak bisa menghapus ingatan akan kejadian yang menimpa Drake dan melibatkan dirinya. Namun sesuatu berubah ketika Midnight datang. Ia seolah melihat dan merasakan kehadiran Drake di tengah-tengah kehidupannya. Pria itu seolah lahir kembali dalam wujud seorang gadis cantik yang selalu berhasil membuatnya… tenang.
Ingin sekali rasanya saat itu Brady meninggalkan Midnight seorang diri di sana. Ia tidak bisa melihat luka di mata gadis itu. Brady juga tidak suka melihat bulir-bulir air mata berjatuhan dari kelopak Midnight. Brady ingin melakukan sesuatu untuk menghibur gadis itu. Sayangnya dia tidak memiliki kekuatan sebesar itu. Jangankan menghibur Brady, menghibur dirinya saja dia tidak akan sanggup.
Di luar dugaannya, Midnight justru menggenggam tangan Brady dengan cukup erat. Gadis itu menyandarkan kepala ke bahu Brady. “Aku merindukannya.” Gumam Midnight lirih.
“Maafkan aku.” Hanya dua kata itu yang sanggup Brady ucapkan. Kecelakaan itu melenyapkan nyawa laki-laki yang selama ini dipuja oleh Midnight.
Keheningan membungkus ruangan itu cukup lama. Midnight sama sekali tidak melepas genggaman tangannya pada Brady. Sebaliknya, gadis itu justru bersenandung lirih sembari memejamkan mata. Rasa nyaman menjalari benak dan hati Brady. Bagaimana bisa Midnight tidak marah dan menyalahkan dirinya akan kematian Drake?
“Aku sering berharap Drake membawaku ikut dengannya tiap kali dia pergi balapan. Sayang, semua itu hanyalah mimpi bodoh yang tidak pernah terwujud bahkan hingga dia tutup usia.”
“Maafkan aku.” Lagi-lagi hanya dua kata itu yang mampu Brady ucapkan.
“Aku ingin melihat dia beraksi di tengah sirkuit dengan motor kebanggannya. Aku ingin melihat dia berdiri di podium. Aku ingin mendengar teriakan dan tawa kemenangan yang keluar ketika dia melakukan selebrasi. Aku ingin merasakan atmosphere di tengah-tengah balapan yang tengah berlangsung. Aku menginginkan semua itu, Brady. Sungguh.”
“Mid,” Brady menarik Midnight ke dalam pelukannya. “Aku benar-benar minta maaf. Maaf sudah membuat kekacauan ini. Maaf karena aku telah merenggut nyawa Drake. Aku-“
Sebelum Brady menyelesaikan kata-katanya, Midnight lebih dulu memotong, “Kata maafmu tidak akan mengembalikan kakakku. Aku hanya mengutarakan keinginanku, Brady.” Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya pada Brady. “Bisakah kita lupakan sejenak insiden yang menimpa kakakku? Aku hanya ingin mengenang Drake. Itu saja. Sungguh.”
Brady menundukkan kepala agar bisa memandang wajah Midnight dengan jelas. Gadis itu tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya Midnight tulus dengan semua ucapannya. “Kau yakin menginginkan semua itu?”
Midnight memutar bola mata dengan jengah. “Apa aku terlihat sedang berbohong?”
Kini giliran Brady yang menggeleng. “Kau tampak serius.” Pria itu meringis.
“Nah!” Midnight mencubit kecil lengan dalam Brady. “Kau pikir aku sedang bercanda?”
“Tidak juga.” Ia menyengir seperti seekor kuda. “Jadi kau menginginkannya?”
“Ya.” Midnight mengangguk serius. “Tapi sekarang Drake sudah tiada. Aku tidak punya alasan berada di setiap sesi balapan tanpa kehadiran kakakku.”
Kenyataan itu memunculkan rasa bersalah yang semakin besar di hati Brady. Midnight telah kehilangan satu-satunya orang yang bisa membantunya mewujudkan keinginannya. Dan dialah alasan gadis itu tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau.
Tiba-tiba, terbesit di benak Brady untuk menujudkan keinginan Midnight dengan caranya. “Bagaimana jika kau ikut denganku setiap aku pergi balapan. Aku bisa menunjukkan padamu dunia balap motor yang selama ini kau impikan.”
Binar bahagia tampak di manik mata Midnight. Untuk sesaat Brady meyakini akan melihat kobaran semangat itu lagi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. “Aku tidak bisa.” Gadis itu menggeleng lemah. “Aku lumpuh, Brady.”
“Katakan kalau kau bisa dan aku akan membawamu menjelajah duniaku.”
“Menjelajah?”
“Ya.” Brady berkata dengan semangat menggebu. “Kau bisa melihat Negara dan kota indah jika pergi bersamaku.”
“Bagaimana jika aku tidak bisa berja-“
“Aku punya mantra yang bisa menyembuhkanmu.” Brady mengulas senyum terbaiknya.
“Sebuah mantra? Apakah kau sedang berkhayal.”
“Tidak.”
“Katakan padaku mantra apa itu. Aku ingin bisa berjalan lagi.”
Brady menangkupkan kedua tangan di wajah Midnight dan menatap lekat gadis itu. “Aku bisa.”
“Apa?” Midnight tampak kebingungan. “Aku tidak mengerti, Brady.”
“Aku bisa.” Ucap Brady lagi.
Seolah memahami maksudnya, Midnight akhirnya berkata, “Aku bisa.”
“Seperti itu.”
“Itu mantranya?” tanya Midnight tidak percaya.
“Ya. Tunggu saja, sebentar lagi kau akan sembuh. Setelah itu aku akan membawamu ke duniaku. Kita akan menjelajah bersama.”
Tawa riang meluncur begitu saja dari bibir Midnight. “Kita seperti sedang berada di dunia fantasi.”
“Anggap saja seperti itu.” Brady mengecup bibir ranum Midnight singkat. “Let me be a part of your life.”