"Yakin? Tidak butuh bantuan?" Tawar Rendi sambil mengikuti Syakila menuju ke mobil wanita itu. Dia tahu Syakila menjunjung imagenya tinggi-tinggi. Tidak mudah bagi wanita itu menurunkan setengah persen imagenya hanya karena luka kecil seperti itu. "Tidak perlu, presdir. Terimakasih atas tawarannya."
Ucapnya lagi dengan sopan, sambil meringis menahan nyeri pada pergelangan kakinya.
Syakila segera masuk ke dalam mobilnya, wanita itu bergegas menyalakan mesin mobilnya menuju ke perusahaan miliknya. Di susul Rendi Saputra, berada tepat di belakang mobilnya. Syakila tidak menyangka jika Rendi akan memarkirkan mobilnya tak jauh dari mobil miliknya sendiri, dia tidak ingin dilihat oleh pria itu ketika berjalan dengan tertatih-tatih menuju ke ruangan kerjanya. "Silahkan anda duluan." Ujarnya pada pria itu segera saat dia turun dari dalam mobilnya.
"Em, saya tidak tahu di mana ruangan Aryana, bolehkah saya meminta anda untuk mengantarkan ke sana?" Sahutnya sambil tersenyum.
"Maaf saya sibuk sekali, anda bisa meminta tolong pada staf bagian informasi untuk mengantar ke sana." Jelas Syakila sambil melangkah mendahuluinya. Dia berusaha berjalan tegak sambil menggigit bibirnya karena menahan nyeri luar biasa pada pergelangan kakinya. Rendi melihat lebam membiru di pergelangan kaki Syakila, tanpa bertanya pria itu segera berlari menghampirinya.
"Turunkan image-mu satu persen saja!" Ujar pria itu sambil mengangkat tubuhnya, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu darinya dia langsung membawanya masuk ke dalam perusahaan. Kejadian pagi itu menyebabkan rumor yang luar biasa hebohnya. Jika kemarin rumor Aryana sekarang adalah rumor sang ceo, pemilik perusahaan tersebut.
"Anda benar-benar sengaja ingin menjatuhkan nama baik saya di depan publik." Keluh Syakila saat Rendi menurunkan tubuhnya di atas sofa ruangan kerjanya. Pria itu segera mencari minyak urut di dalam kotak obat, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia hanya tersenyum mendengar keluhannya.
Tanpa ragu sama sekali dia segera mengurut kaki Syakila, dilihatnya wajah wanita itu sekali lagi. Lagi-lagi Rendi hanya tersenyum karena Syakila menghindari tatapan matanya.
"Kenapa? Apa wajahku membuatmu ingat dengan seseorang yang kamu benci?" Tanya Rendi dengan gaya bicara non formal.
"Tidak ada." Sahut Syakila segera, dia merasa pria itu sudah mengetahui segalanya tentang dirinya di masa lalu dan dengan sengaja membuatnya bertanya-tanya agar membuat pengakuan secara pribadi.
"Oke, kalau begitu aku permisi dulu untuk ke ruangan Aryana." Ucapnya sambil bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari dalam ruangan Syakila. Pria itu tanpa sengaja bertemu dengan Aryana ketika hendak masuk ke dalam lift, Aryana sedang membawa berkas di tangannya. Sepertinya gadis itu berniat untuk pergi ke ruangan Syakila.
"Oh, kebetulan sekali, ini ponsel anda tuan presdir. Maaf saya buru-buru permisi." Ucap gadis itu bertubi-tubi tanpa jeda, sambil meraih tangan kanan Rendi lalu meletakkan ponsel pria itu di dalam genggaman tangannya. Kemudian buru-buru berlalu dari hadapannya. Tapi sayangnya Rendi mencekal lengan kanannya, hingga membuat langkah kakinya terhenti.
Genggaman tangan Rendi dijawab dengan tatapan mendelik, serta protes kedua pipinya yang menggembung dengan tatapan mata tidak senang. Rendi tersenyum melihat wajah Aryana yang terlihat begitu imut di matanya saat ini.
"Kamu sengaja mempertemukanku dengan Syakila Adriana." Ucap Rendi tanpa basa-basi padanya.
"Baguslah, jadi kalian bisa bersama-sama selamanya." Tandas Aryana sambil menarik genggaman tangan Rendi dari lengan kanannya. Tapi sayangnya pria itu malah menarik tubuhnya hingga wajah Aryana lebih dekat dengan wajahnya.
"Sial! Aku takut sekali, ini di kantor wanita yang pernah terlibat dengan pria ini. Tapi pria ini sepertinya tidak peduli dengan situasi dan kondisi di sekitarnya!" Gumam Aryana dengan sengaja karena merasakan hembusan nafasnya sangat dekat dengan wajahnya.
"Berapa kali aku harus menegaskan padamu, bahwa aku sudah selesai dengannya?" Bisik Rendi di telinganya.
"Omong kosong, aku tidak peduli." Desis Aryana pada dirinya sendiri. "Ponsel anda sudah aku kembalikan. Jadi, biarkan saya pergi." Lanjut gadis itu sambil menoleh ke arah lain menghindari kecupan bibirnya. Mendapatkan udara kosong, Rendi gemas sekali. Dia meremas kepalan jemari tangannya sendiri. Sudah lebih dari lima kali gadis di depannya itu tidak mau menyerah. Tetap pada pendiriannya untuk tidak jatuh cinta padanya.
"Oke! Aku akan pergi! Tapi jangan pernah mengabaikan panggilan telepon dariku! Sayang! Cup!" Ujarnya sambil berlalu masuk ke dalam lift, setelah mencium pipinya. Aryana sekali lagi mendesis kesal. "Kau! Kau!" Teriaknya sambil berbalik menuding ke arah Rendi yang telah berada di dalam lift, seraya memegangi pipi kanannya.
Berkali-kali Aryana menghentak-hentakan kakinya di atas lantai, karena kesal sekali. Dia merasa tidak memiliki hubungan apapun dengan Rendi, tapi berulangkali juga pria itu menyentuh wajahnya dengan seenaknya saja. Sudah beberapa kali pria itu mendaratkan bibirnya pada wajahnya, dan juga memeluknya.
"Huh! Aku harus tenang bukan?" Ujarnya sebelum masuk ke dalam ruangan Syakila untuk menyerahkan berkasnya. "Tok, tok, tok,"
"Masuklah." Terdengar sahutan Syakila dari dalam ruangannya.
"Ini berkas yang ibu minta." Ujar Aryana seraya meletakkan berkas di atas mejanya.
"Terimakasih Yana, duduklah dahulu." Pintanya pada Aryana.
Aryana segera duduk di kursi yang tersedia di depannya sambil menunggu Syakila mengatakan sesuatu padanya. "Apakah kamu ingat masa-masa saat usia tiga tahun?" Tanyanya pada Aryana, penuh harap dan cemas. Syakila sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi, karena dia sudah menunggu saat-saat untuk menyatakan bahwa dia adalah kakak kandungnya.
"Tidak ingat Bu, apakah ada hal penting?" Tanya Aryana penuh rasa khawatir, karena dia melihat kedua bola mata Syakila sudah bergenang air mata, dan hampir melelehkannya.
"Kamu adikku Yana, adik kandungku." Ujar Syakila seraya menutupi bibirnya menahan isakkan tangisnya.
Aryana segera berdiri dari kursinya, gadis itu berjongkok di depan Syakila. "Mungkin ibu salah orang, saya punya orang tua yang lengkap. Dan mereka masih sehat-sehat saja sekarang." Ujarnya sambil meremas jemari tangan Syakila, berharap ceo-nya agar menghentikan isakkan tangisnya. Syakila menggelengkan kepalanya berkali-kali, dia menghambur memeluk tubuh Aryana dan menumpahkan air matanya di bahu kiri gadis itu.
"Tidak Yana, kamu adalah adikku. Kita terpisah bertahun-tahun lamanya karena proses adopsi." Jelasnya sambil mengambil foto dari dalam lacinya, lalu menyerahkan foto tersebut pada Aryana.
Aryana terpaku menatap sosok dirinya yang masih berusia tiga tahun sedang memeluk seorang gadis kecil. Dia tahu itu adalah dirinya, karena dia hanya memiliki foto saat masih berusia tiga tahun bersama ayah dan ibu yang telah mengadopsinya.
"Ka, kak?" Panggilnya dengan bibir bergetar. Syakila menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, air matanya terus berlinang membasahi kedua pipinya.
Keduanya berpelukan lama sekali di dalam ruangan kerja tersebut. "Panggil aku kakak mulai sekarang ya?" Ucap Syakila penuh rasa bahagia.
"Iya kakak!" Aryana ikut melelehkan air matanya penuh rasa haru. Dia bahkan tidak bisa mengingat kalau Syakila adalah kakak kandungnya.
"Kita tinggal bersama ya?" Pinta Syakila karena ingin memiliki waktu lebih banyak untuk bersama-sama.
"Maaf kak, Yana bukannya menolak. Tapi Yana tidak ingin bergantung pada kakak." Jawabnya segera, dalam hatinya dia tidak ingin melihat Rendi terus-menerus mencarinya ketika sedang bersama Syakila. Karena dia tahu Rendi tidak akan menyerah begitu saja, melihat dari tindakan pria itu akhir-akhir ini yang semakin tidak bisa dia terima dengan logika. Aryana tidak ingin melukai hati kakaknya. Karena dia pikir Syakila diam-diam menyimpan perasaan untuknya.
"Apakah karena Rendi, kamu menolak tinggal bersamaku Yana?" Tanya Syakila segera, sekali lihat dia tahu apa yang ada di dalam benak adiknya itu.
"Kakak.. sebenarnya aku tidak mencintainya. Tapi pria gila itu semakin menggila, dan aku sudah mati-matian menghindari dirinya. Sungguh aku tidak jatuh cinta padanya, jadi kakak tidak perlu khawatir." Jelasnya segera pada Syakila.
"Aku juga tidak Yana. Tapi sepertinya Rendi sangat tertarik padamu, jadi biarkan kenangan kami menjadi masa lalu. Kamu tidak perlu memikirkan masa laluku." Ujar Syakila padanya.
Meskipun demikian Aryana tahu, tidak semudah itu menutup masa lalu. Dia sudah bertekad untuk tetap bertahan, hingga keduanya jelas. Hubungan antara Rendi dan Syakila harus jelas di depan matanya. Karena kedua orang yang bersangkutan tersebut terus memilih untuk menutup diri masing-masing, dia merasa kalau dirinya hanya menjadi alat yang berada di antara mereka berdua.