Bab 4. Tolong, Lepaskan aku!

1361 Words
Saat membuka mata di pagi hari, pandangan Levin langsung tertuju ke sisi ranjang. Kosong, Jessica tidak ada di sana. Ia mengedarkan mata ke sekeliling kamar hotel, mencari sosok wanita tersebut, namun tidak menemukan apa-apa. Hanya dia seorang diri yang tersisa di ruangan itu. Levin tersenyum sinis. "Ck, pura-pura menolak, tapi akhirnya menyerahkan diri juga. Dasar wanita murahan." Ia membatin, menghujat sang mantan tanpa ampun. Apa pun yang Jessica lakukan sekarang hanya membuatnya semakin jijik, seakan seluruh tindakan itu tak lain hanyalah permainan picik untuk memenuhi ambisi saja. Levin mengepalkan tangan, bayangan masa lalu yang menghantui kembali berputar di kepalanya. Pengkhianatan yang pernah Jessica lakukan tak pernah ia lupakan dan ia bertekad memberikan balasan setimpal. "Dulu, aku memang pernah sangat mencintaimu. Tapi sekarang, rasa cinta itu sudah berubah menjadi rasa benci. Aku pastikan, hidupmu akan berubah menjadi neraka. Setiap hari, kamu pasti akan merasakan penderitaan. Ini balasan atas apa yang sudah kamu lakukan padaku dulu," gumam Levin seraya mengeratkan rahangnya. Tanpa ragu, Levin meraih ponsel di atas nakas, menghubungi sang asisten. "Hubungi cabang Perusahaan AB Group. Tidak peduli bagaimanapun caranya, pastikan sekarang juga Jessica datang ke Perusahaan Anggara." Perintah itu keluar dengan nada tegas dan tajam. Selesai berbicara, ia memutus panggilan dengan brutal. Perasaan puas mengalir dalam dirinya—setidaknya langkah pertama balas dendamnya sudah dimulai. "Ini baru awal, Jessica! Tunggu saja kejutan-kejutan yang akan aku berikan untukmu, tanpa kamu pikirkan sebelumnya," gumam Levin, tatapannya begitu tajam seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. *** Di sisi lain, Jessica yang ternyata sudah pergi meninggalkan hotel sejak tadi malam, kini tengah sibuk bersiap-siap untuk pergi bekerja. Saat itu, ia melihat anaknya masih terlelap pulas di atas ranjang. Sesaat, hatinya dihantam rasa bersalah. "Apa aku, ibu yang buruk? Meninggalkan anakku untuk bekerja, bukannya berada di sampingnya sepanjang waktu?" Namun, Jessica cepat-cepat menepis pikiran itu. Hidup ini membutuhkan perjuangan dan ia ingin memberikan masa depan yang lebih baik untuk putra tercintanya. Beruntung ada Bella, sahabat terbaiknya yang selalu saja membantu, baik dalam suka maupun duka. Wanita itulah yang membantunya mencari day care terbaik serta seorang pengasuh untuk Junior. "Bella memang seperti malaikat penolongku," gumam Jessica dengan senyum tipis, sambil mengenakan blazer. Ting, tung! Sebelum benar-benar larut dalam pikirannya sendiri, suara bel pintu tiba-tiba membuyarkan segalanya. Jessica segera menuju pintu, sedikit terburu-buru. Ketika membukanya, tampak seorang wanita mengenakan seragam babysitter berdiri dengan senyum ramah di wajahnya. "Selamat pagi, Bu Jessica," sapa wanita itu sopan. "Oh, iya. Selamat pagi," jawab Jessica cepat. "Sus Reni, ya?" tanyanya memastikan, meskipun ia sebenarnya sudah mengenali wanita yang sebelumnya dia ajak bicara lewat telepon itu. "Betul, Bu, saya Reni. Apa saya sudah bisa mulai bekerja hari ini?" tanyanya lembut tapi penuh kepastian. "Tentu saja, Sus. Kita 'kan sudah membicarakan soal ini sebelumnya. Saya benar-benar membutuhkan bantuan Sus," sahut Jessica sambil menarik napas lega. "Sekarang, Junior masih tidur di kamar dan saya harus buru-buru ke kantor. Mohon bantuannya ya, Sus." Jessica berusaha terdengar santai, meski dalam hati masih ada kekhawatiran yang melingkupi. Ia tahu, ia tak punya pilihan lain—pekerjaan ini juga demi masa depan Junior. "Oh ya, Sus, nanti tolong kabari saya kalau ada apa-apa, ya," ucap Jessica sembari memastikan tatapannya lurus pada Sus Reni, menunggu tanggapan wanita berusia 35 tahun itu. Di dalam hatinya, ada sedikit kegelisahan. Bagaimana jika Junior tidak merasa nyaman? Namun, Jessica berusaha menenangkan dirinya sendiri. Junior itu anak yang cepat akrab, ia yakin. Lagi pula, Reni sepertinya orang yang sabar dan sudah pasti berpengalaman. Putranya itu juga sudah terbiasa dengan pengasuh saat mereka tinggal di luar negeri. Jadi, seharusnya ini tidak akan menjadi masalah. "Baik, Bu. Saya akan selalu mengabari Bu Jessica," jawab Reni dengan senyum hangatnya. Jessica mengangguk lega. "Terima kasih banyak, ya, Sus. Oh iya, saya sudah siapkan sarapan. Kalau Sus belum sarapan, nanti sarapan saja bersama Junior. Jangan sungkan, ya." Ada sedikit nada canggung di suaranya, namun ia benar-benar berharap pengasuh anaknya bisa merasa nyaman berada di rumah tersebut. "Terima kasih banyak, Bu," ucap Reni sopan, membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat. Jessica mengangguk, dengan langkah cepat, ia mengantar Reni menuju ke kamar. Di sepanjang jalan, ia mengulang kembali beberapa hal kecil yang harus diperhatikan saat menjaga Junior. Jessica tahu ini sudah diajarkan sebelumnya, tetapi ia tak bisa berhenti memastikan semuanya. Mungkin ini karena naluri seorang ibu yang merasa berat menitipkan anaknya pada orang baru, meskipun orang itu terlihat sangat profesional. Setelah selesai, Jessica pamit dan melirik jam di layar ponselnya. Taksi online yang ia pesan, ternyata juga sudah menunggu di depan. Dengan berat hati Jessica meninggalkan rumah, ia melangkah pergi, berharap Junior akan baik-baik saja bersama pengasuh barunya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya masih terus berkutat pada bagaimana hari ini akan berjalan. "Junior, Mama pergi kerja dulu ya, Sayang. Semoga kamu suka dan nurut sama Sus Reni." Jessica berbisik pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada untuk didengar siapa pun. * Tiba-tiba, di tengah perjalanan, ponsel Jessica berdering dengan nada yang mendesak. Itu panggilan dari manajernya di kantor. "Pak Toni? Ada apa dia telepon aku pagi-pagi seperti ini? Aku belum telat dan bahkan, masih ada waktu 30 menit sebelum meeting," gumamnya dalam hati, sambil rasa gelisah mulai menyelimutinya. Dia lantas menjawab telepon tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. "Halo, Pak Toni. Selamat pagi," sapa Jessica, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun, apa yang didengar selanjutnya membuat Jessica terpaku. "Apa? Saya harus ke Perusahaan Anggara sekarang juga? Tapi untuk apa, Pak?" tanya Jessica, suaranya naik setengah oktaf, mencerminkan keterkejutannya yang tak terbendung. Meskipun merasa enggan untuk bertemu dengan Levin, mengingat apa yang terjadi di antara mereka tadi malam dan hal itu membuatnya jijik, namun Jessica tak punya pilihan lain selain mengikuti perintah tersebut. Ketakutannya kehilangan pekerjaan melebihi segalanya. "Pak, tolong putar balik sekarang. Kita pergi ke Perusahaan Anggara di Jalan Manggala. Bapak tenang saja, saya akan bayar lebih karena ini sangat mendesak," ucap Jessica dengan nada tergesa-gesa. Sopir taksi menyetujuinya dan segera memutar kendaraan, melaju lebih cepat, seolah mengerti urgensi situasi tersebut. Jessica hanya bisa duduk, menahan debar di dadanya, mengharapkan yang terbaik dalam kesibukan pagi yang tidak terduga ini. *** Setibanya di gedung Perusahaan Anggara Group yang megah, Jessica langsung menapak ke ruangan CEO. Ternyata Levin belum tiba, namun melalui Billy, pria itu telah menyampaikan pesan agar Jessica menunggunya di sana. Waktu bergulir, setengah jam berlalu dan Levin masih juga tidak tampak bayangannya. Rasa gelisah mulai menyelimuti Jessica, ia berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sambil terus teringat akan kenangannya ketika dulu bekerja di perusahaan yang sama sebagai sekretaris sekaligus kekasih Levin. Dalam hati Jessica bergemuruh, "Untuk apa Levin meminta aku datang ke sini? Apa dia sengaja mau mempermainkan aku?" Dalam gundahnya, Jessica menatap sebuah figura yang terlungkup di atas meja. Dengan hati yang bergejolak, ia hendak membenarkannya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat. Levin muncul, seraut wajahnya menegang. Tak sempat figura itu tersentuh, Levin memecah kesunyian dengan suara keras, "Jangan pernah menyentuh barang-barangku!" Jessica tersentak dan menatap ke arah Levin. "Maaf Pak, saya hanya bermaksud untuk merapikannya," ucapnya dengan suara tenang. Tanpa alasan yang jelas, Levin menyahut dengan nada tinggi, "Kamu bukan siapa-siapa di sini dan kamu tidak memiliki hak atas apa pun!" Kata-katanya yang tajam menusuk hati Jessica. Jessica mengepalkan tangannya dengan geram. "Ya, saya memang bukan siapa-siapa di sini. Jadi sekarang, tolong jelaskan untuk apa Anda meminta saya datang ke sini? Saya bahkan harus melewatkan rapat penting di kantor karena permintaan Anda!" Suaranya meninggi karena kesal. Levin menatap Jessica dengan pandangan yang menakutkan, mendekatkan diri hingga jarak antara mereka hanya sehelai rambut. "Kamu yakin, tidak tahu apa tujuanku memintamu datang ke sini? Atau, kamu hanya pura-pura tidak tahu?" bisiknya dengan nada mengancam. Jessica mengambil langkah mundur, tubuhnya gemetar. "Saya benar-benar tidak tahu. Tolong, katakan saja apa maksud dari semua ini," pintanya dengan suara lirih. Levin kembali mendekat dan dengan gerakan yang cepat, ia membisikkan sesuatu ke telinga Jessica yang membuat wanita itu terkejut dan tubuhnya membeku. "Aku mohon, Levin. Tolong, lepaskan aku!" pinta Jessica. "Aku sudah minta maaf, kenapa kamu terus saja melakukan ini? Menurut aku, kamu benar-benar sudah sangat keterlaluan!" Tetapi Levin, dengan ekspresi dingin, meraih tengkuk Jessica dan melumat bibirnya secara paksa. Jessica merasakan rasa sakit yang menusuk ketika Levin menggigit bibirnya dengan brutalitas yang tidak terduga, menimbulkan perasaan sakit yang luar biasa dan ketakutan yang mencekam dalam dirinya. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD