Jessica menatap Levin dengan rasa bersalah yang terpendam. Perasaan ingin marah dan kecewa membuncah di dadanya, namun ia sadar—ini adalah keputusan yang sudah ia ambil sendiri. Jessica tahu, ia tidak punya hak untuk protes. Salahnya dulu karena memilih pergi dari kehidupan pria itu tanpa penjelasan apa pun. Kini ia muncul kembali dan tentu saja itu bukan tanpa alasan yang kuat.
"Pak Levin, saya benar-benar minta maaf atas kesalahan di masa lalu," ucap Jessica, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya kacau. "Tapi itu semua sudah berlalu. Saya harap kita bisa melupakan hal tersebut dan memulai lembaran baru. Mulai hari ini, saya hanya ingin menjadi partner kerja yang baik. Bukannya perusahaan Bapak juga membutuhkan Perusahaan AB Group?"
Kata-katanya terasa ringan di lidah, tetapi berat di hati. Jessica tahu betapa rapuhnya harapan ini. Bagaimana bisa ia meminta Levin melupakan masa lalu, padahal luka yang ia tinggalkan mungkin masih segar dalam ingatannya?
Levin menatap dingin, seolah menembus lapisan tipis keberanian yang sedang Jessica coba tunjukkan. "Bekerja sama dengan perusahaan lain itu bukan masalah besar bagiku," katanya dengan nada penuh arogansi. "Perusahaan seperti AB Group? Jika pun tidak bekerja sama, aku tetap bisa mendapatkan yang aku butuhkan dengan mudah."
Rasanya, kata-kata itu menghantam Jessica seperti pukulan di perut. Tiba-tiba ia merasa kerdil di hadapan Levin. Apa ia terlalu naif, berpikir bahwa mantan kekasihnya bisa begitu saja mengesampingkan masa lalu? Tetapi ia tak boleh menyerah. Jessica harus menunjukkan bahwa ia pantas untuk kesempatan ini.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku gagal mendapatkan kerja sama ini, semua usahaku akan sia-sia. Aku sudah memutuskan untuk kembali ke Indonesia demi Junior. Aku ingin anakku dekat dengan ayah kandungnya, setidaknya sebelum waktuku habis. Tapi, semuanya jadi rumit sekarang. Aku tahu, Levin bersikap seperti ini karena kesalahanku di masa lalu. Ya Tuhan, apakah ada kesempatan untukku? Atau ini memang hukuman untukku?" gumam Jessica dalam hati, pikirannya kacau, terlalu banyak yang harus dipikirkan sekaligus.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Jessica dan membuat semua mata langsung tertuju ke arah pintu. Ketika pintu terbuka, seorang wanita cantik melangkah masuk.
"Kak Jessica?" Wanita itu terkejut, tidak percaya bahwa Jessica benar-benar muncul di sana setelah lima tahun menghilang tanpa jejak.
"Liona, sudah lama kita nggak ketemu. Kamu apa kabar?" sapa Jessica dengan ramah.
"Kamu?! Setelah lima tahun menghilang, kamu muncul lagi di sini, langsung menemui Kak Levin! Apa maumu?" Suara Liona bergetar oleh campuran kemarahan dan gugup.
Tanpa pikir panjang, ia menyerang Jessica dengan kata-kata tajam, langkah kakinya bahkan maju seolah ingin mendorong wanita itu keluar dari ruangan tersebut. Namun sebelum Liona sempat melangkah lebih jauh, ia merasakan tangan Levin menggenggam lengannya erat.
Levin menarik Liona mendekat, hingga wanita itu bahkan tidak sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dalam sekejap, tangannya meraih tengkuk Liona, menyambar dan melumat bibir wanita tersebut dengan lembut. Liona terpaku, terkejut oleh tindakan Levin. Namun, tubuhnya seolah bergerak sendiri, seolah ini adalah satu-satunya hal yang ia inginkan selama ini. Tanpa ragu, Liona membalas ciuman Levin dengan penuh gairah, bahkan lebih agresif.
Jessica terpaku, jantungnya seperti diremas-remas ketika ia melihat pemandangan yang tak terduga itu. Sebuah kepedihan yang sulit diartikulasikan menghujam dadanya, namun sebuah kesadaran pahit menyelinap masuk—rasa sakit ini seharusnya tak layak ia rasakan.
"Kenapa ini harus begitu menyakitkan?" batin Jessica, sementara air mata mulai meniti di pelupuk matanya.
Dia tak sanggup lagi. Dengan langkah goyah, Jessica mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk berbicara. "Maaf, Pak Levin. Tolong hubungi saya jika Anda berubah pikiran," ucapnya dengan suara yang nyaris tercekat.
Levin, dengan tiba-tiba melepaskan ciumannya dengan Liona dan menatap Jessica dengan tatapan yang menusuk. "Nanti malam, temui saya. Saya akan kirimkan alamatnya," katanya tegas.
Jessica hanya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, lalu beranjak keluar dari ruangan dengan langkah gontai dan hati yang terbelah. Dia meninggalkan ruangan dengan seribu tanya menggelayut di benaknya.
Sementara Liona, dengan nada tinggi segera berkata, "Untuk apa Kak Jessica datang ke sini? Apa dia minta maaf dan ajak kamu balikan? Aku nggak setuju, ya!"
Levin, dengan suara berat penuh otoritas, menenangkan Liona, "Kamu bisa diam, nggak? Lagi pula, apapun yang Jessica lakukan di sini itu bukan urusan kamu."
Ruangan itu dipenuhi dengan tekanan dan ketegangan yang memekakkan telinga, meninggalkan hati Jessica yang patah di lorong kehampaan.
"Apa? Bukan urusan aku? Oh, aku tahu, jadi apa yang baru saja kamu lakukan itu sengaja untuk memanasi Jessica?" Liona melemparkan kata-kata itu dengan nada mencibir. "Kenapa, Kak? Apa karena kamu masih cinta sama dia, sampai kamu mau membuat dia cemburu?"
"Diam!" Levin menggebrak meja, suaranya meninggi.
"Kenapa aku harus diam?" tangis Liona memecah kesunyian, air matanya mengalir deras. "Ingat, Kak, aku ini tunanganmu! Aku yang menghibur kamu saat Jessica meninggalkan kamu di hari pernikahan kalian dan kabur entah kemana setelah berkhianat. Aku yang selalu ada untuk kamu. Kamu juga sudah memutuskan untuk tunangan sama aku, jadi apa salahnya kalau aku nggak suka dia kembali mengganggu kehidupan kamu?"
Levin terdiam, terpaku. Memang benar apa yang dikatakan Liona, dia telah mengisi kekosongan hatinya yang hancur oleh kepergian Jessica. Namun, dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu perasaannya untuk Liona tidak lebih dari rasa sayang seorang kakak kepada adiknya, sebuah kenyataan yang pahit untuk dihadapi.
"Lebih baik kamu pergi sekarang, aku masih banyak kerjaan. Jessica datang ke sini hanya karena soal pekerjaan. Dia perwakilan dari salah satu cabang perusahaan luar negeri yang akan bekerja sama dengan perusahaanku," terang Levin, berusaha menenangkan emosi Liona.
"Sekarang kamu mengusirku?" tanya Liona dengan nada penuh kekecewaan, matanya berkaca-kaca saat dia menatap Levin yang tampak acuh. "Aku datang kesini bawa makan siang untuk kamu, aku berharap kita bisa makan bersama," lanjutnya, suaranya gemetar.
Levin yang duduk dengan tenang di kursi CEO-nya, hanya menjawab dingin, "Terima kasih, Liona. Aku akan makan kalau aku lapar."
Ucapan itu seolah menusuk hati Liona. Dengan hati hancur, Liona meninggalkan ruangan, bisikan kekecewaannya tersimpan dalam d**a yang sesak.
"Sampai kapan kamu akan terus memperlakukan aku seperti ini, Kak? Dan Jessica … kenapa dia harus kembali sekarang, padahal sedikit lagi aku akan memenangkan hati Kak Levin? Ini akan semakin sulit," keluhnya dalam hati, rasa frustasinya meluap-luap.
***
Malam itu, dengan keraguan yang membebani langkahnya, Jessica tetap memutuskan untuk menemui Levin di sebuah hotel mewah. Meski belum tahu apa yang diinginkan pria itu, satu tujuan Jessica adalah jelas: mendapatkan kerjasama demi biaya hidup putranya yang tak sedikit.
Tok, tok, tok!
Dengan hati yang berdebar, Jessica mengetuk pintu kamar hotel. Suara Levin yang terdengar dari dalam membuatnya semakin gugup, "Masuk!"
Jessica membuka pintu dan langkahnya terhenti ketika dia menyaksikan Levin hanya mengenakan handuk kimono. Napasnya tercekat, kejutan itu seolah membawa badai dalam kehidupannya yang sudah cukup kacau.
"Maaf, Pak Levin? Kenapa Bapak mengajak saya untuk bertemu di sini dan ini apa maksudnya?" tanya Jessica kebingungan.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Levin menarik pinggul Jessica dengan tiba-tiba, hingga wanita itu bisa merasakan desah napasnya yang berat di dekat wajah.
Jessica menahan napas saat mendengar bisikan Levin yang begitu rendah tetapi dingin menusuk, "Kalau kamu ingin mendapatkan kerja sama itu, malam ini kamu harus melayaniku. Kamu pasti sudah tahu apa tujuanku memanggilmu ke sini." Suaranya menguar penuh keyakinan, seolah-olah Jessica tidak punya pilihan lain.
Tubuhnya gemetar, tidak percaya ini sedang terjadi. Jessica merasa jantungnya berdetak begitu keras, namun ia hanya diam membeku. Entah mengapa, ia tidak bisa menolak. Bagian dirinya yang lebih lemah menyeretnya pada kepasrahan.
Levin mencium leher dan bibir Jessica dengan paksa, gerakannya kasar dan tanpa perasaan. Lalu mencampakkan tubuh wanita itu ke atas ranjang seperti boneka tanpa jiwa. Kemudian, ia merobek pakaian Jessica dan menjamahi tubuhnya dengan sesuka hati. Jessica hanya diam saja tanpa perlawanan, ia pasrah menghadapi hasrat liar sang mantan demi tujuannya.
Namun, air mata Jessica mengalir perlahan, hangatnya membakar kulit pipinya. "Aku tahu ini salah besar, aku tahu aku sudah menurunkan harga diriku. Tapi … ini juga bukan pertama kalinya. Cuma Levin yang pernah menyentuh tubuhku. Apa dia berpikir kalau aku benar-benar w************n?" batinnya sambil menahan isak.
Jessica menatap ke langit-langit, hampa, hanya ada air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia cegah.
Bersambung …