Sejak hari itu, Levin merasa dunianya runtuh dalam sekejap. Rasa murka dan kecewa bercampur menjadi satu ketika matanya menangkap pemandangan yang tak pernah ingin ia saksikan. Jessica, wanita yang ia cintai sepenuh hati, bermesraan dengan pria lain tepat di hari pernikahan mereka. Dadanya terasa sesak, seolah semua udara di sekitarnya lenyap. Levin tak sanggup menghadapi kenyataan itu, sehingga tanpa banyak berpikir ia meninggalkan tempat itu dengan hati yang berantakan.
Semalaman Levin bergulat dengan perasaannya, mencoba mengatasi badai emosi yang terus menghantam pikirannya. Esok paginya, ia memberanikan diri menghubungi Jessica, berharap ada penjelasan, alasan yang bisa setidaknya memberikan sedikit kelegaan. Namun tak disangka, wanita itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Bahkan Bella, orang terdekat Jessica, tidak tahu di mana sahabatnya berada. Levin berpikir, apakah itu pertanda bahwa Jessica memilih melarikan diri dari masalah yang dia ciptakan? Apa ia tidak cukup berharga bahkan untuk mendapatkan penjelasan darinya?
Lima tahun berlalu, tetapi rasa kehilangan itu tak pernah benar-benar pudar. Setiap hari, Levin mengerahkan segala daya untuk mencari keberadaan Jessica melalui berbagai orang suruhannya. Namun, semua usaha itu hanya menghasilkan kekecewaan demi kekecewaan. Jessica seperti bayangan yang dengan sengaja bersembunyi di balik kegelapan, menolak untuk ditemukan.
Levin sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah pencarian itu benar-benar pantas? Atau ia hanya berusaha mengejar sesuatu yang telah hilang selamanya? Dan hari ini, tiba-tiba semuanya berubah. Wanita yang selama lima tahun terakhir terus ia cari, kini berdiri di hadapannya seperti mimpi yang berubah menjadi nyata. Namun, wanita itu tidak datang sebagai Jessica yang dikenalnya dulu, melainkan sebagai perwakilan dari perusahaan cabang yang akan bekerja sama dengan perusahaannya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Levin ingin bertanya, ingin tahu alasan di balik pengkhianatan dan kepergian Jessica, tetapi ia juga tahu bahwa pertemuan ini bukan lagi tentang cinta mereka yang telah usang. Satu hal yang pasti, melihat wajah Jessica hari ini mengguncang perasaan Levin yang terasa terombang-ambing.
Sementara itu, Jessica menelan ludah dengan berat, merasakan getir yang datang dari sorot mata penuh emosi sang mantan-Levin yang pernah mengisi hidupnya. Dengan napas yang tercekat, ia berusaha keras menyembunyikan segala luka, bersikap seolah riwayat pilu di antara mereka tak pernah terjadi.
"Selamat pagi, Pak Levin." Suara Jessica bergetar, ia juga memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari Perusahaan AB Group.
Tangan yang terulur ditolak dingin tanpa balasan, Levin duduk dengan angkuhnya, meninggalkan Jessica yang menarik tangannya kembali dengan wajah tersayat hati.
Rapat pun segera saja dimulai, walaupun saat ini perasaannya tak menentu, namun Jessica berusaha untuk bersikap profesional dalam bekerja. Ia berusaha keras mengenyampingkan perasaannya, apalagi hubungannya dan Levin telah berakhir lima tahun yang lalu.
*
Tak butuh waktu lama, rapat telah berakhir. Levin menghilang dari ruangan itu bak bayangan, meninggalkan hampa yang memekakkan telinga.
"Maaf, Bu Jessica. Anda diminta Pak Levin untuk ke ruangannya." Suara Billy terdengar tiba-tiba, menambah kebingungan Jessica.
"Untuk apa?" tanya Jessica, diselimuti kecemasan dan rasa penasaran yang mendalam.
"Lebih baik Bu Jessica langsung temui Pak Levin saja. Bukannya Ibu juga mau tahu bagaimana kelanjutan kerjasama ini?" ujar Billy.
Jessica menganggukkan kepalanya. Ia setuju dan mengikuti Billy menuju ke ruangan CEO.
Saat sudah berada di dalam ruangan tersebut, Jessica berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Bayangan ekspresi dingin Levin sebelumnya membuat dirinya merasa gugup. Saat duduk di hadapan pria itu, ia bisa merasakan aura otoritas yang kuat. Levin memang memiliki cara berbicara yang membuat orang merasa seperti terpojok.
"Maaf, ada apa Pak Levin meminta saya untuk menemui Bapak di sini?" Jessica memulai pembicaraan.
"Apa yang kamu harapkan setelah rapat hari ini?" tanya Levin dengan nada datar, matanya tidak tertuju pada Jessica, melainkan pada layar di depannya.
Jessica menarik napas perlahan. "Tentu saja saya berharap perusahaan Pak Levin mau bekerja sama dengan cabang Perusahaan AB," jawabnya dengan segenap keberanian yang tersisa.
Namun di dalam hati, Jessica ragu apakah jawabannya terdengar cukup meyakinkan? Ia bisa merasakan kepalanya semakin berat oleh pikiran-pikiran negatif. Bagaimana jika Levin menolak?
Levin akhirnya menatap Jessica dengan ekspresi dingin, lalu berkata pelan namun mematikan, "Bagaimana jika aku tidak menyetujuinya?"
Jessica merasa jantungnya berhenti berdetak seketika. Ia tidak tahu harus berkata apa, pertanyaan itu langsung menghantam seluruh harapannya.
"Tapi, apa alasannya? Bukankah Anda sudah setuju dan kita hanya tinggal membahas kelanjutannya saja?" tanya Jessica akhirnya, suaranya terdengar tenang meskipun ada sedikit nada bertanya yang tersirat.
Levin tersentak mendengar pertanyaan itu, tatapannya berubah tajam seperti sebuah belati yang menusuk langsung ke arah Jessica. "Kamu benar-benar tidak tahu apa alasannya, Bu Jessica?" Suaranya terdengar berat dan sarat emosi.
Jessica tak mengerti kenapa Levin bersikap seperti itu, tetapi ia sudah menduga—ini pasti ada hubungannya dengan masa lalu. Ia menarik napas, mencoba menenangkan diri.
"Maaf, Pak. Jika ini berkaitan dengan masa lalu, saya rasa Bapak tidak berhak mencampurkan masalah pribadi dengan pekerjaan," ucap Jessica tegas. Ia merasa bahwa ia harus melindungi dirinya sendiri. Masa lalu tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghakimi profesionalismenya.
Namun, jawaban tersebut justru membuat Levin semakin murka. Pria itu berdiri dengan gerakan cepat, langkahnya mendekat hingga kini hanya sejengkal jarak di antara mereka. Jessica bisa merasakan hawa panas dari emosi Levin yang membara, bahkan sebelum mantan kekasihnya itu berbicara lagi.
"Sudah lama kita tidak bertemu," gumam Levin dengan senyum sengit yang menambah kesan menakutkan di wajahnya. "Dan sekarang, kamu punya keberanian untuk mengatakan itu? Setelah semua yang kamu lakukan dan menghancurkan hidupku?"
Kata-katanya menggema di telinga. Jessica sadar atas kesalahannya, namun mencoba menenangkan diri sebelum bicara, "Saya minta maaf soal itu. Tapi bukannya kamu juga sudah bahagia bersama Liona? Jadi, sekarang saya datang hanya untuk menjadi partner kerja. Tolong jangan mempersulit hidup saya. Pekerjaan ini sangat penting untuk saya," ujarnya, berharap Levin bisa mengerti.
Akan tetapi bukannya mereda, ekspresi wajah Levin malah berubah semakin murka. Tanpa ragu, ia meraih dagu Jessica, mencengkeramnya dengan erat, hingga rasa sakit menjalar. Namun, Jessica menolak untuk terlihat lemah. Meski sakit, ia tetap balas menatap Levin dengan sorotan mata yang tidak kalah tajam.
"Dasar wanita licik!" umpat Levin dalam hati, amarah terpancar jelas di sorot matanya. Terlihat jelas, ia sedang membenci setiap detik kehadiran Jessica di depannya. "Aku pastikan, aku akan balas dendam atas semua yang sudah kamu lakukan waktu itu," batinnya lagi.
Tatapan itu membuat rasa waspada dalam diri Jessica semakin kuat. Apakah Levin sungguh akan merusak kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan ini? Atau apakah pria itu punya rencana lain?
Levin menatap tajam sebelum akhirnya berkata dengan nada yang lebih menyerang, "Jika kamu memang menganggap pekerjaan ini sangat penting, kita bisa saja bekerja sama. Tapi ada syaratnya."
"Syarat apa pun, saya pasti akan melakukannya," jawab Jessica, suaranya terdengar tegas meski hatinya bergetar tak karuan.
Tentu saja Jessica akan melakukan apapun, karena pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk menghidupi dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki anak tanpa suami dan anaknya yang semakin hari bertumbuh semakin besar, tentunya membutuhkan banyak biaya.
Tanpa aba-aba, Levin mendekat, terlalu dekat hingga Jessica bisa merasakan napasnya. Matanya menatap penuh intensitas dan hendak mencium wanita itu. Namun sebelum semuanya terjadi, reflek tangan Jessica bergerak dengan cepat. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong Levin menjauh, hingga tubuh pria tersebut terhuyung dan hampir saja terjatuh.
"Apa maksud kamu? Saya rasa ini sama sekali tidak pantas!" ujar Jessica dengan suara meninggi.
Levin tersenyum sengit. "Ck, kamu mengatakan ini tidak pantas? w************n sepertimu yang bisa tidur dengan siapapun setelah tidur denganku, kamu bilang ini tidak pantas?"
Ucapan Levin sontak membuat Jessica merasa terkejut dan sakit hati, walaupun apa yang pria itu katakan hanyalah kesalahpahaman yang ia ciptakan sendiri.
Bersambung …