Bab 01
Zenia Agatha berdiri kaku di antara kerumunan orang berpakaian hitam. Hujan rintik-rintik turun perlahan, membasahi rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai tanpa perlawanan. Di hadapannya, peti mati cokelat tua yang berhiaskan ukiran mewah tampak dingin dan tak bernyawa. Di dalamnya terbaring sosok lelaki tua yang dulu memaksa takdirnya berubah—Carlo Ancelotti, suaminya, yang kini pergi untuk selamanya.
Tangannya menggenggam bunga lili putih yang sejak tadi gemetar di genggaman. Matanya kosong, tidak ada air mata yang jatuh. Entah karena hatinya sudah terlalu lelah untuk menangis, atau karena ia belum benar-benar mengerti bagaimana harus merasakan kehilangan terhadap seseorang yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Carlo meninggal dunia akibat serangan jantung mendadak di ruang kerjanya, semalam. Tak ada tanda-tanda, tak ada keluhan. Lelaki itu hanya tiba-tiba terjatuh di atas meja marmer, meninggalkan dunia ini tanpa satu pesan pun untuk Zenia.
Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu menunduk. Ia tahu, seluruh orang di sekitar pemakaman itu memandanginya dengan bisik-bisik sinis. Istri muda Carlo. Janda muda yang baru setahun menikah. Gadis miskin yang dulu dijadikan alat untuk melunasi hutang keluarganya. Semua label itu kembali menusuk telinganya hari ini, bahkan di tengah upacara pemakaman.
Ketika peti diturunkan ke liang lahat, Zenia hanya memejamkan mata. Dalam diam ia mengingat hari pernikahan mereka—bukan hari bahagia, melainkan hari ketika masa mudanya dirampas begitu saja. Saat itu, Carlo datang ke rumah keluarganya dengan wajah datar dan mata yang tajam.
“Kalau kalian tidak bisa melunasi hutang ini, biar anakmu yang menebusnya dengan cara lain,” katanya waktu itu.
Ayah Zenia hanya bisa menunduk pasrah, ibunya menangis di sudut ruang tamu, dan Zenia berdiri pucat seperti boneka. Dalam seminggu, ia menjadi istri sah Carlo Ancelotti, pria tujuh puluh tahun, pemilik perusahaan besar yang dulu menjadi tempat ayahnya bekerja sebelum bangkrut.
Namun, pernikahan itu tidak pernah benar-benar menjadi neraka, meski bukan pula surga. Carlo memperlakukannya dengan sopan, memberinya tempat tinggal mewah, pakaian mahal, dan uang tanpa batas. Tapi setiap malam, kamar mereka terpisah. Carlo lebih sering tidur di ruang kerjanya, atau di kamar pribadinya yang penuh dengan obat-obatan dan alat bantu pernapasan.
Zenia tidak mencintai Carlo, tapi di balik dinginnya hubungan itu, ada rasa iba. Lelaki itu selalu tampak kesepian, bahkan di tengah kemewahan yang ia miliki. Sering kali Zenia memergoki Carlo menatap foto seorang wanita di meja kerjanya—mungkin istri pertamanya, yang meninggal dua puluh tahun lalu.
Kini, wanita itu tidak lagi harus menanggung hutang keluarganya. Tidak lagi menjadi milik siapa pun. Tapi kebebasan ini justru terasa pahit.
***
Setelah pemakaman selesai, Zenia kembali ke rumah besar itu—rumah yang kini hanya dihuni oleh dirinya sendiri dan beberapa pelayan yang masih setia. Rumah itu sunyi, terlalu besar untuk seorang diri. Dinding marmer putih, tangga spiral keemasan, lukisan-lukisan tua, semua tampak dingin dan tidak bersuara.
Ia duduk di ruang tamu, memandangi foto pernikahannya yang tergantung di dinding. Di sana, dirinya berdiri di samping Carlo dengan senyum tipis, senyum yang ia paksa demi menyembunyikan ketakutan.
Kini, Zenia menatap foto itu lama. “Kau pergi terlalu cepat, Carlo,” gumamnya pelan.
Pintu terbuka perlahan. Seorang pelayan tua masuk membawa teh. “Nyonya, ada tamu di ruang depan. Katanya keluarga Tuan Carlo.”
Zenia menatap pelayan itu sekilas. “Keluarga?” tanyanya datar.
Pelayan itu mengangguk gugup. “Ya, Nyonya. Anak laki-lakinya… Tuan Matteo Ancelotti.”
Nama itu membuat Zenia diam. Ia memang pernah mendengar nama itu dari Carlo—putra tunggalnya yang tinggal di luar negeri, yang jarang pulang dan tidak pernah muncul sejak pernikahan mereka. Carlo pernah bercerita bahwa Matteo tidak setuju dengan pernikahan ayahnya dengan wanita muda yang bahkan lebih muda dari dirinya sendiri.
Dengan langkah pelan, Zenia menuju ruang depan. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tegap, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan jas hitam. Wajahnya keras, rahangnya tegas, dan tatapan matanya menusuk begitu dalam.
“Zenia Agatha,” katanya pelan namun dingin. “Jadi, kau istri ayahku.”
Zenia menatapnya tenang, meski hatinya gemetar. “Aku… ya. Aku istri sah beliau.”
Matteo mendekat satu langkah. “Atau mungkin kau lebih cocok disebut… jalangnya, yang mau dengan hartanya?”
Zenia membeku. Ia tahu arah pembicaraan ini. Ia tahu tuduhan itu pasti datang. Semua orang mengira ia menikahi Carlo demi uang, demi harta.
“Aku tidak peduli dengan hartanya,” jawabnya lirih. “Aku tidak pernah mengharapkannya.”
Matteo tersenyum miring. “Tentu saja kau bilang begitu. Tapi kau tahu, semua harta ayahku akan melalui proses legal, dan aku ingin memastikan tidak ada satu pun yang jatuh ke tangan orang yang tidak pantas.”
Kata-kata itu menampar Zenia, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin ada perdebatan hari itu. Ia terlalu lelah. “Lakukan saja apa yang perlu kau lakukan. Aku tidak akan melarangmu.”
Matteo menatapnya tajam sebelum pergi meninggalkan ruangan tanpa pamit. Bau parfum maskulinnya samar tertinggal, dan Zenia hanya bisa menatap pintu yang menutup pelan.