Zenia berdiri di ambang tangga marmer yang berkilau memantulkan cahaya sore. Tatapannya kosong, tapi ada sedikit rasa getir yang berputar di balik ketenangan wajahnya. Suara langkah-langkah berat menggema dari arah pintu masuk. Matteo Ancelotti baru saja turun dari mobil hitamnya, jas abu-abu melekat sempurna di tubuhnya, dan di belakangnya, beberapa pelayan sedang membawa koper, kotak besar, serta bingkai foto ayahnya.
Zenia tidak berkata apa pun ketika Matteo melangkah masuk tanpa izin, tanpa sopan santun, tanpa rasa sungkan sedikit pun. Lelaki itu berjalan seolah seluruh rumah itu adalah miliknya — padahal, secara hukum, rumah besar itu sudah diwariskan pada Zenia. Namun Matteo tidak peduli. Ia menatap sekeliling dengan tatapan penilai, dingin dan penuh perhitungan.
“Letakkan koper di kamar lantai dua,” katanya kepada para pelayan. “Kamar utara. Itu kamar lamaku. Bersihkan semua perabot lama. Aku tidak mau bau debu atau bunga-bunga lembek itu tersisa di sana.”
Zenia tidak bereaksi. Ia hanya mengamati dari tangga, diam seperti patung. Ia tahu lelaki itu akan melakukan sesuatu seperti ini. Matteo tidak akan tinggal diam ketika mendengar seluruh aset ayahnya jatuh ke tangan wanita muda yang dulu ia anggap penggoda.
Matteo menoleh ke arah Zenia begitu pelayan-pelayan itu mulai naik ke lantai atas membawa barang-barang. Tatapan matanya tajam, tapi tidak sepenuhnya dingin — ada sesuatu yang lain di balik sorot itu. Entah rasa penasaran, entah rasa benci yang belum bisa ia definisikan.
“Jadi, kau tidak keberatan kalau aku tinggal di sini?” katanya akhirnya. Suaranya berat, terlatih, penuh kontrol.
Zenia menurunkan pandangannya. “Ini rumah keluarga Ancelotti,” jawabnya tenang. “Aku tidak punya hak melarang siapa pun dari keluarga ini.”
Matteo menyeringai kecil. “Bagus. Kau cukup tahu diri.”
Ia berjalan melewati Zenia, sengaja terlalu dekat. Aroma parfumnya menyeruak — aroma tajam yang kontras dengan wangi lembut bunga melati dari tubuh Zenia. Lelaki itu berhenti beberapa langkah di depannya, lalu menatap ke atas tangga, ke arah kamar yang dulu menjadi milik Carlo.
“Dan kamar itu,” katanya sambil menatap lurus, “aku ingin tetap dikunci. Aku tidak suka ada orang masuk ke sana tanpa alasan.”
Zenia mengangguk pelan, meski hatinya berdebar. Kamar itu memang sudah tidak dibuka sejak Carlo meninggal, tapi mendengar Matteo mengatakannya begitu tegas membuatnya sedikit tertekan. Lelaki itu seperti membawa kembali aura dominan yang dulu dimiliki ayahnya — namun kali ini jauh lebih muda, jauh lebih tajam, dan jauh lebih sulit ditebak.
Ketika Matteo menaiki tangga, matanya sempat melirik pada Zenia dari ujung pandangan. Wanita itu mengenakan gaun hitam sederhana, namun potongannya mengikuti bentuk tubuh rampingnya dengan sempurna. Rambutnya diikat rendah, beberapa helai jatuh di sisi wajah, dan kilau kulitnya tampak lembut di bawah cahaya sore.
Matteo berdeham pelan, seolah berusaha mengusir sesuatu dari pikirannya. Tapi matanya tak bisa menahan diri untuk kembali melirik ketika ia melewati bahunya. Ada sesuatu yang membuatnya jengkel — kenapa wanita itu terlihat begitu tenang, padahal ia datang untuk menghancurkan kedamaiannya?
***
Pelayan meninggalkan koper terakhir di kamar Matteo. Lelaki itu membuka kancing jasnya, menggantungkan jas di gantungan, lalu berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Dari jendela itu, ia bisa melihat Zenia yang kini sedang berbicara dengan pelayan di bawah. Perempuan itu tampak tenang, terlalu tenang bahkan.
Matteo mengepalkan tangan. “Dia tidak akan tinggal di sini dengan nyaman,” gumamnya pelan. “Bukan di rumah ayahku.”
"Karena jalang tetaplah jalang. Dan jalang tidak pantas untuk mendapatkan sedikitpun harta." Matteo menyeringai dengan senyuman sinisnya. Dia tidak akan pernah bisa membiarkan harta ayahnya jatuh setitik pun pada jalang itu. Walau Zenia tampak begitu baik dan polos.
Tapi percayalah. Kepolosan itu hanya topeng. Dan Matteo tidak pernah percaya pada kepolosan si jalang itu.