Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Zenia berdiri di sana dengan nampan berisi teh dan dua cangkir porselen.
“Aku membawakan minuman,” katanya datar. “Kau pasti lelah setelah perjalanan.”
Matteo menatapnya sekilas, lalu mencondongkan tubuh ke kusen pintu. “Aku tidak ingat pernah memintamu jadi pelayan.”
“Anggap saja ini bentuk sopan santun,” jawab Zenia tanpa emosi. “Kau sekarang tinggal di rumah yang sama denganku. Tidak ada salahnya menjaga keharmonisan.”
Senyum miring muncul di bibir Matteo. “Harmonis?” Ia tertawa pendek. “Lucu. Aku tidak mencari keharmonisan. Aku hanya ingin memastikan semua harta keluarga ini tidak berpindah tangan ke orang yang salah.”
Zenia tidak menanggapi. Ia meletakkan nampan itu di meja kecil dekat pintu dan berbalik untuk pergi. Tapi Matteo memanggilnya lagi. “Tunggu.”
Zenia berhenti.
Matteo melangkah pelan, mendekatinya, sampai jarak mereka hanya tinggal sejengkal. Tatapannya turun, memperhatikan wajah Zenia, lalu lehernya yang jenjang, hingga gaun hitam yang membentuk siluet tubuhnya.
“Jadi ini wanita yang membuat ayahku mengubah wasiatnya, agar beberapa hartanya berada diberikan atas namamu,” katanya dengan nada pelan tapi mengandung ejekan. “Aku mengerti sekarang kenapa.”
Zenia menegakkan kepala, menatap balik tanpa takut. “Aku tidak pernah meminta ayahmu mengubah apa pun. Dan kalau kau berpikir bisa mengintimidasiku, kau salah.”
Matteo menatapnya lama, bibirnya melengkung setengah. “Kau berani juga.”
Ia mundur selangkah. “Kita lihat berapa lama keberanian itu bertahan kalau kita tinggal di bawah satu atap.”
Zenia tidak menjawab. Ia menunduk sedikit, lalu pergi dengan langkah teratur. Tapi setelah pintu tertutup, Matteo tetap berdiri di tempatnya, memandangi punggung Zenia yang menghilang di balik koridor panjang. Ada sesuatu dalam langkah wanita itu — anggun tapi tegas, lembut tapi tidak bisa diremehkan.
Matteo meneguk teh dari cangkir yang ditinggalkan Zenia. Rasanya pahit. Mungkin karena ia sudah lebih dulu menanam kebencian di hatinya sebelum benar-benar mengenal siapa Zenia Agatha sebenarnya.
Namun malam itu, ketika ia turun untuk makan malam, pemandangan yang ia lihat membuat pikirannya berputar lagi. Zenia duduk di ruang makan besar, mengenakan gaun putih lembut dengan bahu terbuka. Rambutnya terurai, wajahnya tenang di bawah lampu gantung kristal. Pelayan menyajikan makanan, tapi hanya mereka berdua yang duduk di meja panjang itu.
“Duduklah,” kata Zenia datar, tanpa menatap. “Aku tidak ingin ada suasana kaku. Kita sama-sama tinggal di sini. Setidaknya hormati waktu makan.”
Matteo menatapnya, lalu menarik kursi dan duduk di ujung seberang. Ia memperhatikan gerak-gerik wanita itu. Cara Zenia memegang sendok, cara ia menatap makanan sebelum mencicipinya — semuanya anggun tapi bukan dibuat-buat.
“Mengherankan,” gumam Matteo akhirnya.
“Apa?” tanya Zenia.
“Kau. Aku pikir kau akan terlihat seperti wanita-w*************a yang biasa mendekati lelaki kaya. Tapi kau justru tampak seperti... seorang istri yang terlalu patuh.”
Zenia mengangkat wajahnya perlahan. “Aku sudah terlalu lama hidup dalam perintah orang lain, Matteo. Sekarang aku hanya ingin tenang. Kau boleh menganggapku apa saja. Aku tidak peduli.”
Matteo menatapnya lebih lama dari yang ia sadari. Suara gesekan pisau di piring terdengar nyaris tenggelam di antara ketegangan udara di antara mereka. Dalam hati, Matteo berusaha menepis pikiran yang mulai melenceng — tapi bayangan Zenia dalam gaun putih itu seperti menancap di pikirannya.
Ia menunduk, pura-pura fokus pada makanannya, tapi setiap kali meneguk air, matanya kembali mencuri pandang. Sesekali tatapan mereka bertemu. Zenia tidak menghindar. Ia hanya menatap balik dengan tenang, dan entah kenapa, itu justru membuat Matteo semakin tidak nyaman.
Ketika makan malam selesai, Zenia bangkit lebih dulu. “Aku akan ke taman belakang,” katanya singkat. “Udara di sini terlalu pengap.”
Matteo membiarkan dia pergi, tapi beberapa menit kemudian, tanpa sadar, langkahnya juga menuju ke arah yang sama. Di taman belakang, lampu taman menerangi dedaunan basah. Zenia berdiri di bawah gazebo, menatap langit yang berawan. Gaun putihnya bergerak pelan diterpa angin.
Matteo berhenti beberapa meter di belakangnya, menatap lama tanpa suara. Cahaya kuning lembut dari lampu taman membuat kulit Zenia tampak berkilau. Ada sesuatu yang menarik — bukan sekadar rupa, tapi ketenangan yang memancing rasa ingin tahu.
Ia ingin membenci wanita itu. Tapi setiap detik yang berlalu di rumah ini justru menanam benih rasa lain yang bahkan ia sendiri enggan mengakuinya.
Dalam hati, Matteo tahu: tinggal satu atap dengan Zenia Agatha bukan sekadar rencana untuk mengawasi. Ini akan menjadi ujian — antara dendam, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari keduanya.
Hasrat yang mulai tumbuh pada dalam dirinya pada wanita itu. Oh sialan! Kenapa ibu tirinya itu seksi sekali? Atau bisa dibilang mantan ibu tiri? Karena ayahnya sudah mati dan masuk ke dalam neraka!
Ck! Seharusnya lelaki tua itu semasa hidup fokus pada berdoa di gereja bukan menikah lagi.