Matteo turun dengan langkah tenang tapi penuh wibawa. Suara gesekan sepatu kulitnya di anak tangga marmer terdengar menggema ke seluruh ruangan besar itu. Lampu gantung kristal di ruang makan utama memantulkan cahaya keemasan yang lembut, menyoroti meja panjang yang dipenuhi piring-piring porselen dan lilin kecil yang menyala temaram.
Zenia sudah duduk di sana. Gaun sutra abu-abu yang membalut tubuhnya tampak lembut mengikuti gerak napasnya. Ia makan dengan perlahan, gerakannya tenang dan anggun, tapi matanya tidak pernah lepas dari Matteo yang kini muncul di ujung ruangan.
Tatapan mereka bertemu sesaat—dingin, tapi ada percikan tak kasatmata di sana. Zenia tetap diam, sendoknya menyentuh piring dengan suara pelan, sementara Matteo melangkah mendekat tanpa melepaskan pandangan. Ia berhenti tepat di seberang meja, menarik kursi dengan gerakan keras yang membuat salah satu pelayan terkejut kecil.
“Jadi kau masih sempat makan tanpa menunggu tuan rumahnya?” ucap Matteo dengan nada tajam, duduk perlahan namun penuh tekanan.
Zenia tidak langsung menjawab. Ia menatap piringnya, lalu meletakkan sendok perlahan. “Kau bukan tuan rumahku, Matteo,” jawabnya tenang. “Aku tidak menunggu siapa pun untuk makan di rumah ini.”
Matteo mendengus, senyum sinis muncul di wajahnya. “Kau benar-benar merasa rumah ini milikmu, ya? Hebat juga kemampuanmu bertahan.”
Ia menyenderkan punggung di kursi, menatap Zenia dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kalau begitu, kalau kau masih ingin tinggal di sini tanpa rasa malu, buktikan sedikit pengabdianmu.”
Zenia menegakkan kepala. “Maksudmu?”
Matteo mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun namun lebih dingin. “Ambilkan aku makanan. Kau pernah hidup miskin, bukan? Harusnya tidak sulit melayani seseorang yang menampungmu di rumah ini.”
Beberapa pelayan yang berada di sekitar meja saling berpandangan, tak berani menatap keduanya langsung. Suasana menjadi tegang, udara seperti menebal. Zenia menatap Matteo tanpa berkata-kata cukup lama.
Kemudian ia berdiri perlahan, gerakannya tenang tapi terukur. Ia mengambil piring baru dari sisi meja, lalu menuangkan nasi dengan tangan halusnya yang bergetar samar. Setelah itu, ia mengambil lauk, satu per satu, menatanya rapi tanpa terburu-buru.
Matteo memperhatikannya tanpa berkedip. Ada rasa puas yang samar di wajahnya, tapi juga keanehan—karena tidak ada rasa takut atau marah di wajah Zenia. Wanita itu melakukannya dengan sikap seolah sedang menjalankan tugas sederhana, bukan karena terpaksa.
Ketika Zenia menaruh piring di depan Matteo, ia berkata pelan namun tegas, “Aku melayanimu bukan karena kau menyuruh. Tapi karena aku tidak ingin memperpanjang kebencian yang tak ada gunanya.”
Matteo menatapnya lama. “Jadi kau pikir aku membencimu?”
“Aku tidak perlu berpikir,” jawab Zenia tanpa gentar. “Dari caramu menatapku, aku sudah tahu segalanya.”
Ia kembali duduk. Tangannya menggenggam sendok, tapi kali ini ia tidak makan. Suasana menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Matteo mengambil garpu, mencicipi sedikit makanan itu, lalu meletakkannya kembali.
“Rasanya hambar,” katanya pelan. “Sama seperti caramu hidup di rumah ini.”
Zenia hanya memejamkan mata sejenak. “Kau bisa menambahkan garam sendiri,” ucapnya lirih.
Matteo tertawa kecil. “Kau tenang sekali, ya. Biasanya wanita seperti kau sudah menangis atau pergi.”
“Menangis tidak mengubah apa pun,” jawab Zenia datar. “Dan pergi bukan pilihan kalau aku sudah berjanji pada mendiang suamiku untuk menjaga rumah ini.”
Nada suara Zenia membuat Matteo menegakkan tubuhnya. Tatapan matanya berubah sedikit—tidak lagi sekadar sinis, melainkan mengamati. Ia mulai menyadari bahwa wanita di hadapannya ini tidak sama seperti yang ia bayangkan.