Matteo hanya tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan semua pemandangan menjijikkan di ruangan itu. Musik keras menggema, lampu-lampu berwarna merah dan ungu bergantian menyorot setiap sudut ruangan. Wangi alkohol, asap rokok, dan parfum tajam bercampur jadi satu, menusuk hidung siapa pun yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sana. Zenia menatap ke sekeliling dengan pandangan jijik dan resah. Ia tidak pernah membayangkan akan dibawa ke tempat seperti ini oleh Matteo.
Matteo meneguk minumannya santai, sementara Zenia duduk kaku di sampingnya, menggenggam ujung gaunnya erat-erat. Tangannya terasa dingin, tapi wajahnya tetap tegak, berusaha tidak memperlihatkan ketakutan. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya sedikit, berbicara di telinga Zenia agar terdengar di tengah dentuman musik.
“Tenang saja, Zenia. Ini bukan tempat setan seperti yang kau pikir. Ini hanya tempat orang-orang yang ingin bersenang-senang.”
Zenia menatapnya tajam. “Bersenang-senang dengan cara seperti ini? Mereka semua mabuk, mereka tidak sadar diri. Lihat mereka, Matteo. Apa kau menyebut ini menyenangkan?”
Matteo tersenyum tipis, menatap Zenia dengan mata yang sedikit menyipit. “Kau terlalu polos. Dunia tidak seperti yang kau bayangkan, Zenia. Kadang, seseorang harus tahu kegelapan untuk mengerti arti cahaya.”
Zenia menghela napas, mengalihkan pandangan. Ia tidak ingin berdebat di tempat seperti ini. Lelaki di seberang meja, salah satu teman Matteo, menatap Zenia dari atas ke bawah dengan tatapan tak sopan, membuat Zenia langsung menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke depan. Matteo menangkap pandangan itu, dan entah mengapa, dadanya terasa panas. Ia menggeser kursinya sedikit lebih dekat ke Zenia, seolah tanpa sadar melindunginya dari pandangan laki-laki itu.
Salah satu wanita seksi yang duduk di pangkuan pria di ujung sofa tertawa keras, menenggak minuman dari gelas tinggi, lalu berseru, “Matteo! Kau datang juga akhirnya! Dan ini siapa? Pacar barumu?”
Semua mata tertuju pada Zenia. Wajah Zenia memanas seketika, merasa seperti dipermalukan. Matteo hanya menaikkan alis dan menjawab santai, “Dia bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang sedang belajar bersosialisasi.”
Kata-kata itu menusuk. Zenia menatap Matteo dengan kekecewaan dan kemarahan yang ditahan. “Bersosialisasi? Dengan cara seperti ini? Dengan orang-orang seperti ini?” gumamnya pelan tapi cukup terdengar. Matteo menatapnya sebentar, tapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengisyaratkan pelayan untuk menambah minuman di meja.
Zenia menatap gelas-gelas di depan mereka — deretan wine, whiskey, dan minuman berwarna aneh yang tak ia kenal. Ia menahan diri untuk tidak beranjak, meski setiap serabut di tubuhnya ingin keluar dari tempat itu. Namun Matteo menyentuh lengannya pelan, membuat Zenia berhenti.
“Duduk saja. Aku tidak akan menyakitimu,” katanya lirih, kali ini dengan nada lebih lembut. “Anggap saja ini... pengalaman baru.”
Zenia menghela napas lagi, tapi tetap di tempat. Ia menatap sekeliling, melihat para wanita tertawa palsu, para pria bercakap dengan suara keras dan sombong. Semua terasa kosong. Dunia Matteo terasa seperti dunia yang tidak punya batas moral. Ia tidak tahu bagaimana bisa lelaki ini begitu nyaman di tengah kekacauan.
Beberapa menit berlalu, Matteo menatap jam tangannya lalu berdiri. “Ayo, keluar sebentar. Aku bosan.”
Zenia menatapnya ragu. “Ke mana?”
Matteo tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Zenia dan menariknya keluar dari ruangan VIP itu. Begitu keluar dari dentuman musik dan lampu berkedip, dunia terasa sedikit lebih tenang. Mereka menuju balkon di lantai atas klub — udara malam yang lembab menyambut, bersama cahaya lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan.
Matteo bersandar pada pagar, menatap langit yang samar tertutup kabut. Zenia berdiri di sampingnya, masih dengan wajah masam. “Untuk apa kau membawaku ke sini?” tanyanya datar.
Matteo menatapnya, kali ini dengan pandangan lebih serius. “Karena aku ingin kau tahu, Zenia... dunia ini tidak seindah yang kau bayangkan. Tidak semua orang akan memperlakukanmu lembut. Tidak semua tempat aman. Aku ingin kau belajar, tidak hanya bersembunyi di balik kepolosanmu.”
Zenia terdiam. Ia tidak menyangka mendengar nada seperti itu dari Matteo. Selama ini, lelaki itu hanya dikenal dengan keangkuhan dan ejekannya. Tapi malam ini, di bawah cahaya kota, ada sesuatu di matanya — sesuatu yang dalam dan nyaris rapuh.
“Apa kau benar-benar pikir aku perlu belajar dari tempat kotor seperti ini?” tanya Zenia.
Matteo tersenyum samar. “Kau harus tahu sisi gelap dunia, agar bisa bertahan di dalamnya.”
Hening sesaat. Angin malam berembus pelan, membuat helaian rambut Zenia menutupi wajahnya. Matteo menatapnya lama, lalu perlahan mendekat, menyibakkan rambut itu dari wajahnya. Zenia mematung, tidak bergerak, tapi jantungnya berdetak cepat.
“Aku tidak pernah melihatmu seserius ini sebelumnya,” kata Zenia akhirnya.
Matteo tidak menjawab. Ia hanya menatap Zenia — pandangan yang sulit dibaca, campuran antara kagum, penasaran, dan sesuatu yang lebih dalam.
“Zenia,” ujarnya pelan, “kau tidak cocok di tempat seperti tadi. Tapi anehnya... aku suka melihatmu di sana. Kau berbeda dari mereka. Kau bersinar di tengah kegelapan.”
Zenia menatapnya balik, kebingungan antara marah, malu, dan bingung. “Berhentilah bicara seperti itu. Kau membuat segalanya rumit.”
Matteo tersenyum lagi, tapi senyum itu kali ini tidak angkuh. “Mungkin memang sudah rumit sejak awal.”
Mereka terdiam lama. Musik dari dalam klub masih samar terdengar, tapi di balkon itu hanya ada dua orang — dua jiwa yang saling bertentangan, tapi entah kenapa, terikat oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Zenia akhirnya berkata lirih, “Aku ingin pulang, Matteo.”
Matteo menatapnya, lalu mengangguk tanpa kata. Ia berjalan lebih dulu, lalu menunggu Zenia di depan klub. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak berbicara apa pun. Tapi Matteo beberapa kali melirik Zenia lewat kaca spion, melihat wanita itu menatap ke luar jendela dengan wajah penuh pikiran.
Dan di dalam hati Matteo, ada sesuatu yang berubah. Ia tidak tahu apa, tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Zenia tidak lagi sekadar sosok yang bisa ia mainkan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar godaan atau gengsi. Sesuatu yang membuatnya... ingin menjaga.
Menjaga atau merusak Zenia nantinya. Karena dua hal itu beda tipis. Dan bisa menghancurkan segala hal yang berada dalam diri keduanya.