Zenia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap pantulan dirinya dengan napas panjang. Gaun hitam elegan yang ia kenakan menjuntai sampai ke lantai, dengan potongan leher berbentuk V yang sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rapi, anting mutiara menggantung manis di telinganya. Ia tampak seperti wanita bangsawan yang matang—anggun, tenang, dan berwibawa. Tapi jauh di dalam hatinya, ada kelelahan yang tidak bisa disembunyikan.
Undangan yang datang hari ini bukanlah hal yang menyenangkan. Setiap bulan, selalu ada pesta pertemuan bisnis dari rekan-rekan mendiang Carlo. Biasanya dulu Carlo sendiri yang menghadiri acara seperti ini, dengan genggaman tangan yang menenangkan dan suara rendah yang menenangkan Zenia dari segala rasa canggung. Namun sekarang, semua mata akan tertuju pada dirinya, janda Carlo yang masih memegang 15% saham perusahaan dan menjadi simbol kehormatan keluarga itu.
Zenia menatap kalung berlian kecil yang dulu diberikan Carlo padanya, lalu memakainya perlahan. “Setidaknya… demi namamu, aku akan datang malam ini,” gumamnya lirih.
Dia mengambil tas kecilnya dan berjalan turun ke ruang tamu. Namun begitu langkahnya menapaki anak tangga terakhir, Matteo sudah berdiri di sana, bersandar di dinding dengan segelas minuman di tangan. Tatapannya dingin, tapi sesuatu di dalam mata lelaki itu berubah—ada keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan ketika pandangannya jatuh pada Zenia.
Wanita itu tampak luar biasa malam ini. Bukan karena riasan tebal atau pakaian mewah, tapi karena ada ketegasan dalam sorot matanya. Matteo bahkan nyaris kehilangan kata untuk sesaat. Tapi egonya terlalu besar untuk membiarkan decak kagum itu keluar dalam bentuk pujian.
“Wow,” gumam Matteo akhirnya sambil mengangkat alis. “Kau benar-benar tahu caranya menarik perhatian pria tua, ya?”
Zenia berhenti di depan pintu, menoleh pelan padanya. “Aku menghadiri acara resmi, Matteo. Bukan pesta murahan seperti yang sering kau adakan di rumah ini.”
Matteo menyeringai, tapi ada nada getir yang disembunyikannya. “Acara resmi? Hm… lebih tepatnya ajang memancing. Kau berdandan secantik itu untuk siapa kali ini? Siapa target barumu, hm? Mungkin salah satu teman Carlo yang belum sempat mencicipimu waktu dia masih hidup?”
Wajah Zenia langsung menegang. Tangannya yang memegang tas gemetar halus. “Kau keterlaluan, Matteo.”
“Oh, aku hanya jujur,” Matteo mendekat, suaranya menjadi rendah dan tajam. “Semua orang tahu kau menikah dengan Carlo demi uang. Sekarang dia sudah mati, tentu kau mencari yang baru. Kan begitu cara hidupmu?”
Tamparan keras mendarat di pipi Matteo sebelum Zenia sempat berpikir panjang. Ruangan itu langsung hening. Matteo terdiam, matanya membulat karena kaget—bukan karena sakit fisik, tapi karena dia tidak menyangka wanita itu berani melakukannya.
“Aku menikah dengan Carlo karena dia memberiku kesempatan untuk hidup layak dan memperlakukan ku dengan baik,” kata Zenia, suaranya bergetar tapi penuh ketegasan. “Dan kalau pun aku berdandan malam ini, itu karena aku masih menghormati nama suamiku. Bukan untuk mencari laki-laki lain seperti yang kau bayangkan!”
Matteo menatapnya tajam, napasnya memburu. Amarah dan sesuatu yang lebih gelap bergejolak di dalam dirinya. Entah kenapa, ada rasa cemburu yang membakar d**a lelaki itu. Cemburu yang tidak semestinya ada, tapi terlalu kuat untuk diabaikan.
“Lucu,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan sinis. “Kau bicara seolah masih suci padahal semua orang tahu Carlo tua itu membelimu dengan uang. Sekarang kau berlagak berharga? Kau cuma janda yang haus perhatian, Zenia.”
Zenia menatap lurus ke matanya. “Kau salah satu orang yang paling tidak tahu arti hormat, Matteo. Dan aku kasihan padamu.”
“Kasihan?” Matteo tertawa pendek. “Kau pikir aku butuh belas kasihan dari wanita seperti kau? p*****r seperti dirimu memangnya apa yang perlu dimintai kasihan?”
Zenia melangkah mendekat, suaranya menurun, tapi tatapannya tetap tajam. “Yak! Matteo. Kau semakin hari, kau semakin mirip dengan iblis yang kehilangan arah dan tidak tahu caranya menghormati. Kau hidup hanya untuk menyakiti orang lain. Kau menyakiti aku karena kau tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa Carlo lebih mencintaiku daripada siapa pun di keluarganya—termasuk dirimu.”
Matteo langsung terdiam. Urat di rahangnya menegang, tangannya mengepal keras. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang Zenia kira.
“Pergilah,” katanya dengan suara datar, matanya memerah karena menahan emosi. “Sebelum aku benar-benar kehilangan kendali.”
Zenia menatapnya sekali lagi, lalu mengambil langkah menuju pintu tanpa berkata apa-apa. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan Matteo sendirian di tengah ruang tamu yang sunyi.
Begitu mobil Zenia meninggalkan halaman rumah, Matteo memecahkan gelas di tangannya. Pecahan kaca berhamburan di lantai, darah menetes dari jarinya. Tapi dia tidak peduli. Tatapan matanya kosong, namun ada sesuatu yang berputar hebat di pikirannya.
“Dia menamparku dengan ucapan busuknya itu…” bisiknya pelan. “Dia benar-benar berani berkata seperti itu padaku.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Matteo tidak tahu harus marah atau terobsesi pada wanita jalang bermulut tajam itu.
---
Sementara itu, di pesta malam itu, Zenia berusaha menampilkan dirinya sebaik mungkin. Para tamu menyambutnya dengan ramah, beberapa di antara mereka masih menghormatinya sebagai istri sah mendiang Carlo yang berjasa besar dalam dunia bisnis mereka. Namun Zenia bisa merasakan bisikan-bisikan kecil di antara mereka, seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia melangkah.
“Dia masih datang, ya?” bisik seorang wanita pada temannya. “Padahal Carlo sudah lama meninggal. Katanya dia masih pegang saham, jadi mungkin dia takut kehilangan kekuasaan.”
Zenia menegakkan kepala, berpura-pura tidak mendengar. Ia menyesap sampanye dengan tenang, mencoba menahan perasaan getir. Semua ini ia lakukan hanya untuk menjaga nama baik Carlo, bukan demi dirinya sendiri.
Seorang pria tua, salah satu kolega lama Carlo, menghampirinya. “Zenia, kau tampak cantik malam ini. Carlo pasti bangga kalau bisa melihatmu.”
Zenia tersenyum sopan. “Terima kasih, Tuan Anderson. Aku hanya berusaha menghormati kenangan beliau.”
“Dan kau melakukannya dengan sangat baik,” jawab pria itu ramah.
Namun di tengah perbincangan, Zenia merasakan tatapan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Tatapan tajam, panas, dan familiar. Ia menoleh pelan ke arah pintu—dan benar saja, Matteo berdiri di sana, mengenakan jas hitam dengan ekspresi yang tak bisa terbaca.
Zenia tertegun. Apa yang dia lakukan di sini?
Matteo melangkah masuk dengan percaya diri, seolah tempat itu miliknya. Beberapa tamu bahkan menatapnya dengan rasa ingin tahu, karena meski muda, Matteo adalah pewaris sah dari keluarga Carlo.
Lelaki itu menatap Zenia dari kejauhan, dan Zenia bisa merasakan intensitas tatapan itu menembus kulitnya. Ada sesuatu di balik mata itu—kemarahan, ya, tapi juga sesuatu yang lebih berbahaya: ketertarikan.
Zenia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. Tapi ketika Matteo mulai berjalan mendekat, Zenia tahu malam itu tidak akan berakhir damai. Lelaki itu datang bukan untuk menemaninya, tapi untuk menguji batas kesabarannya sekali lagi.
Zenia berharap kalau lelaki itu tidak berbuat hal yang macam-macam dan mempermalukan dirinya.