Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui tirai tipis kamar besar yang dulu menjadi saksi pernikahan Zenia dan Carlo, karena hanya seminggu dirinya dan Carlo menempati kamar ini dulu, lalu Carlo menyediakan dirinya kamar lain. Udara di dalam kamar terasa sepi, dingin, dan menyakitkan. Di dinding, tergantung foto besar Carlo dengan jas abu-abu kebanggaannya, tersenyum dengan sorot mata yang teduh. Lelaki tua itu memang punya wajah tegas, tapi di baliknya tersimpan ketulusan yang sulit dicari di dunia seperti sekarang.
Zenia berdiri di depan foto itu, masih dengan sisa lelah di matanya. Pesta semalam membuat rumah ini seperti neraka. Pecahan gelas di mana-mana, aroma alkohol yang belum hilang, dan kenangan tentang tawa kasar para tamu Matteo masih menari di kepalanya. Ia menatap foto Carlo lama sekali, seolah berharap lelaki itu bisa kembali dan menegur anaknya sendiri.
“Maafkan aku, Carlo…” bisiknya pelan, nyaris seperti doa. “Aku tak sanggup menjaga rumah ini dari anakmu. Aku tak sanggup menahan kehancuran yang dia bawa.”
Tangannya menyentuh bingkai foto itu, menelusuri wajah lelaki yang dulu menyelamatkannya dari kehidupan yang pahit. Dulu, ketika Carlo menawarinya pernikahan, Zenia tahu bahwa itu bukan cinta. Ia hanya ingin keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjeratnya dan juga melunasi hutang keluarganya. Ia pikir, hidup dengan pria tua tapi kaya akan memberinya keamanan. Namun kini, setelah Carlo tiada, semua yang tersisa hanya kesepian dan beban.
Matteo — anak lelaki Carlo dari istri pertama — datang membawa badai. Ia muda, tampan, arogan, dan berbahaya. Sejak hari pertama ia kembali dari luar negeri untuk mengurus warisan ayahnya, Zenia tahu bahwa kedamaian hidupnya akan berakhir.
Zenia menarik napas panjang, menatap sekitar kamar. Semuanya masih sama, tapi terasa berbeda. Kasur besar, meja rias, karpet lembut — semuanya kini terasa dingin. Ia duduk di tepi ranjang, menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Carlo…” gumamnya pelan. “Aku tidak mencintaimu, tapi aku berhutang banyak padamu. Kau membuatku punya hidup yang layak. Tapi aku gagal menjaga apa yang kau tinggalkan.”
Tangisnya pecah perlahan. Air mata jatuh membasahi gaun tidurnya. Ia menangis bukan hanya karena rumah itu hancur, tapi karena dirinya pun kini ikut hancur oleh perlakuan Matteo. Anak yang seharusnya ia jaga dengan kasih sebagai keluarga, kini menjelma menjadi iblis yang menguasai hidupnya.
Di luar kamar, langkah berat terdengar. Matteo baru bangun, masih dengan sisa hangover semalam. Ia turun dari tangga dengan rambut acak-acakan, meneguk air putih, lalu menatap sekitar ruang tamu yang berantakan. Musik, botol, tumpahan minuman, dan jejak pesta liar memenuhi ruangan itu.
Namun bukannya merasa bersalah, Matteo malah tersenyum tipis. “Sudah lama rumah ini terlalu tenang,” gumamnya. “Sedikit kebisingan tidak akan membunuh siapa pun.”
Ia melangkah ke arah kamar Zenia. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan menemukan Zenia masih duduk di depan foto Carlo.
“Jadi kau menangis lagi?” suaranya sinis tapi pelan, seperti godaan yang dibungkus kepalsuan. “Aku harap itu bukan karena pesta semalam. Aku hanya bersenang-senang, Zenia.”
Zenia berdiri perlahan, matanya masih merah tapi penuh keberanian. “Bersenang-senang? Kau menyebut menghancurkan nama baik ayahmu ‘bersenang-senang’? Kau menjadikan rumah ini seperti kandang binatang, Matteo.”
Matteo tertawa pendek. “Ayahku sudah mati. Dia tidak akan peduli apa yang terjadi pada rumah ini.”
“Jangan bicara begitu!” seru Zenia, suaranya bergetar. “Kau tidak tahu seberapa besar dia mencintaimu, Matteo! Bahkan di akhir hidupnya, yang dia pikirkan hanyalah kau. Tapi kau… kau tidak pantas menyebut dirimu anaknya!”
Matteo menghentikan tawanya. Matanya kini dingin, menusuk. Ia mendekat perlahan, langkahnya pelan namun berat. “Kau bicara seolah kau tahu apa yang kupikul,” katanya rendah. “Kau pikir mudah hidup sebagai anak dari lelaki tua yang lebih sibuk dengan istrinya yang muda daripada anak kandungnya sendiri?”
Zenia menatapnya tak percaya. “Carlo tidak seperti itu. Dia hanya ingin kau bahagia.”
Matteo tertawa getir. “Bahagia? Aku hanya melihat ayahku menua sendirian, sementara kau datang — muda, cantik, dan penuh tipu daya — lalu mencuri segalanya dari hidupnya. Termasuk perhatian yang seharusnya jadi milikku.”
Zenia terdiam. Ia tidak menyangkal. Dalam diam, ia tahu sebagian kata-kata Matteo benar. Tapi bukan itu niatnya. Ia menikahi Carlo karena ingin hidup, bukan karena ingin mencuri cinta siapa pun.
Matteo menatapnya tajam, lalu menunduk sedikit, suaranya lebih rendah. “Sekarang lihat dirimu. Kau menangis di depan foto ayahku, berpura-pura berduka. Tapi sebenarnya, kau takut, bukan? Takut karena sekarang tidak ada lagi yang bisa melindungimu dariku.”
Zenia menatap balik, matanya mulai memerah. “Aku tidak takut padamu, Matteo. Aku hanya jijik.”
Matteo mendekat lebih dekat, suaranya nyaris berbisik. “Bohong.”
Zenia menelan ludah, lalu melangkah mundur satu langkah. “Keluar dari kamar ini.”
Tapi Matteo tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, menatapnya lama, lalu tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arah foto Carlo di dinding. Ia mendesah pelan. “Aneh ya, Zenia. Aku kira aku akan membencimu selamanya. Tapi setiap kali aku melihatmu, aku justru merasa ingin tahu… kenapa ayahku bisa jatuh cinta pada wanita sepertimu.”
Zenia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Matteo melangkah ke pintu, membuka setengah, lalu berhenti. “Kau tahu, Zenia? Kau bisa pura-pura suci sesukamu. Tapi cepat atau lambat, aku akan tahu siapa kau sebenarnya.”
Ia menutup pintu dan pergi, meninggalkan Zenia yang masih berdiri terpaku, dengan d**a berdebar kencang dan air mata yang tak lagi bisa ia bendung.
Setelah Matteo pergi, Zenia jatuh terduduk di lantai. Tangannya gemetar saat menyentuh foto Carlo lagi.
“Carlo,” bisiknya pelan, “aku tak tahu sampai kapan aku sanggup menahan semua ini.”
Di luar kamar, Matteo berhenti di depan tangga, menatap ke arah taman tempat Carlo dulu biasa duduk membaca koran. Ada sesuatu di dalam dirinya yang aneh — rasa marah yang bercampur perasaan tak nyaman. Tapi dia menepisnya cepat.
Dia tidak mau berpikir bahwa di balik semua kebenciannya terhadap Zenia, ada sesuatu yang lain sedang tumbuh. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar dendam.
Dan Zenia, di dalam kamar, bersumpah dalam hatinya: jika Matteo terus mencoba menghancurkan hidupnya, maka ia akan menemukan cara untuk membalas — bukan dengan kebencian, tapi dengan kekuatan yang sama sekali tidak Matteo duga.
Rumah itu, sekali lagi, menjadi medan perang antara dua jiwa yang sama keras kepala: satu menolak tunduk, satu menolak kalah. Dan badai baru baru saja dimulai.
***
Matteo memasuki apartemen pribadinya dan menghempaskan tubuhnya kasar di atas ranjang. Oh s**t! Dia masih tidak habis pikir kenapa dulu ayahnya si tua bangka bau tanah itu menikahi Zenia.
Ya…
Walau salah satu alasannya tentang uang. Yang mana hutang si Zenia miskin itu banyak pada ayahnya. Dan Zenia tidak sanggup membayar.
Tapi … keduanya pisah kamar. Apakah Zenia masih perawan?
Matteo menyeringai dengan pemikirannya itu. Kalau Zenia masih perawan. Maka …
“Kalau dia masih perawan. Betapa menyenangkan sekali, kalau aku menjadi lelaki pertama untuk Zenia. Aku menjadi lelaki yang akan membuatnya mendesah di bawahku dan memanggil namaku. Hahahaha…” Gelak Matteo begitu senang sekali. Kalau pemikirannya itu benar.
Matteo sudah tidak sabar menikmati tubuh molek nan indah milik Zenia. Dan membuat Zenia akan tergila oleh sentuhannya. Ahh… membayangkan Zenia. Malah membuat penisnya kembali berdiri tegak.
Sialan! Memang pengaruh Zenia begitu luar biasa sekali untuk dirinya.
Matteo mengambil handphonenya. “Halo, sayang. Kau bisa ke apartemen ku? Aku begitu ingin menikmati tubuhmu sayang.” Ucap Matteo mematikan handphonenya.
Matteo memanggil wanita yang biasa melayani hasrat liarnya ini. Untuk sementara dirinya akan melampiaskan hasratnya pada wanita lain.
“Sayang… ibu tiri tercintaku. Sementara aku akan melampiaskan hasratku pada orang lain.” Matteo menyeringai menjilat bibirnya sensual.