Bab 14

817 Words
Udara pagi di halaman belakang rumah Ancelotti terasa lembap. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dedaunan segar. Zenia menunduk, menyiram tanaman yang tumbuh rapi di sepanjang jalur taman. Daun-daun hijau itu berkilau karena embun, dan tetesan air yang jatuh dari ujung selang mengenai kakinya membuatnya sedikit menggigil. Suara langkah berat di atas batu koral menarik perhatiannya. Ia mendongak, dan di sanalah Matteo muncul — kemeja olahraganya setengah terbuka, tubuhnya masih basah oleh keringat setelah berlari mengelilingi kompleks. Napasnya masih berat, tapi langkahnya tegap, penuh percaya diri seperti biasa. Zenia berusaha berpura-pura tidak melihat, namun matanya secara refleks menatap sekilas ke arah tubuh Matteo. Perut dengan garis otot yang tegas, kulit kecokelatan yang memantulkan sinar matahari pagi, dan cara lelaki itu menghapus keringat dari dahinya dengan punggung tangan. Hanya sepersekian detik pandangan itu terjadi, tapi cukup membuat jantung Zenia berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia segera mengalihkan tatapannya, berpura-pura sibuk menyiram pot di depannya. Tapi telinganya menangkap suara pelan — suara siulan ringan Matteo. Matteo berhenti di dekat pagar kecil taman. Bibirnya membentuk senyum nakal, nada suaranya santai, tapi tajam. “Kalau kau ingin lihat lebih lama, Zenia, aku tidak keberatan,” ujarnya. Zenia menegang. Tangannya yang memegang selang air berhenti bergerak, air mengucur deras ke tanah hingga menciptakan genangan kecil. Ia menoleh cepat, menatap Matteo dengan wajah yang campuran antara marah dan malu. “Kau benar-benar tidak tahu malu, Matteo,” katanya dengan nada dingin. Matteo tertawa kecil. “Hanya bercanda. Tapi, wajahmu itu… merah sekali. Aku jadi berpikir, mungkin kau memang memperhatikanku lebih dari sekadar tidak sengaja.” Zenia menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang ingin meluncur. Ia menunduk, menatap tanah yang basah, dan menutup selang air. “Aku tidak punya waktu meladeni omong kosongmu pagi-pagi begini. Pergilah mandi.” Matteo melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya tinggal beberapa langkah. Suaranya turun, lebih dalam dan serius. “Lucu. Kau bilang aku tidak tahu malu, tapi kau juga tidak menyangkal.” Zenia menatap lelaki itu tajam. “Aku tidak perlu menyangkal sesuatu yang tidak terjadi.” “Kau yakin?” balas Matteo cepat. “Karena aku sangat pandai membaca ekspresi orang, dan barusan kau terlihat… terganggu.” Zenia menghela napas kasar. Ia meletakkan selang di tanah, lalu berbalik menuju pintu belakang rumah. Tapi Matteo melangkah lebih cepat, berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. Matanya menatap lurus ke mata Zenia, dan kali ini tidak ada tawa. Tatapan itu tajam, menusuk, seperti sedang mencoba membaca isi pikirannya. “Apa yang sebenarnya kau pikirkan tentangku, Zenia?” tanya Matteo pelan. Zenia menatap balik, keras kepala. “Kau hanya anak muda yang terlalu sombong dengan tubuhmu sendiri.” Matteo menyeringai. “Terlalu jujur untuk disebut hinaan.” Zenia menghela napas lagi, melangkah melewati Matteo dengan dingin. Tapi Matteo tidak menahan. Ia hanya berdiri di tempat, mengikuti Zenia dengan tatapan penuh arti. Ada sesuatu dalam ekspresi wanita itu — campuran antara kebencian dan kerentanan yang sulit dijelaskan. Begitu masuk ke dalam rumah, Zenia langsung menutup pintu kaca di belakangnya dan bersandar di sana. Ia menekan d**a dengan tangan, berusaha mengatur napas. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa hanya dengan beberapa kata dari Matteo, dirinya bisa merasa semarah ini, seberdebar ini? Ia menatap ke cermin kecil di dekat meja makan. Wajahnya memerah, matanya masih berkilat karena emosi. Ia benci perasaan ini — benci karena Matteo membuatnya merasa kehilangan kendali. Zenia melangkah cepat menuju dapur, mengambil segelas air dan meneguknya. “Dia hanya pria yang sombong,” gumamnya pada diri sendiri. “Dia cuma suka bermain-main dengan kata-kata.” Namun suaranya bergetar saat mengucapkannya. Ia tahu, dalam hatinya sendiri, Matteo bukan hanya sekadar sombong. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berhenti memperhatikan — ketegasan, ketenangan, dan cara lelaki itu selalu terlihat seperti tahu lebih banyak dari siapa pun di ruangan itu. Dari luar, Matteo masih berdiri di halaman, memperhatikan dari balik kaca. Ia menyeka keringat dari lehernya dan tersenyum kecil melihat bayangan Zenia di dapur. Ia tahu, ucapan barusan membuat Zenia marah, tapi juga mengguncang keseimbangannya. Matteo lalu berbalik, menatap langit yang mulai terang sepenuhnya. Dalam pikirannya, ia tidak lagi sekadar melihat Zenia sebagai wanita muda yang menikah dengan ayahnya karena utang. Ada sesuatu pada cara Zenia bereaksi, cara dia menatap, bahkan cara dia menolak — semuanya membuat Matteo semakin penasaran. Baginya, Zenia adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan, langkah demi langkah, hingga seluruh rahasianya terbuka. Zenia, di sisi lain, mencoba mengalihkan pikirannya dengan kembali ke halaman setelah beberapa menit. Tapi kali ini, Matteo sudah tidak di sana. Hanya aroma udara pagi yang tersisa, bersama kenangan singkat tentang tatapan lelaki itu yang entah kenapa sulit dihapus dari pikirannya. Ia menggenggam selang air lebih erat. “Aku tidak akan membiarkan dia menguasai pikiranku,” katanya pelan. Tapi entah kenapa, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dan dari jendela kamar di lantai atas, Matteo memperhatikannya dari jauh. Senyumnya samar, matanya menyipit penuh perhitungan. Ia tahu, permainan di antara mereka baru saja dimulai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD