Malam itu udara terasa hangat, meskipun seluruh rumah terbungkus hening yang berat. Angin dari jendela besar ruang tamu menyusup lembut ke dalam, menggoyangkan tirai tipis yang berayun perlahan. Matteo duduk di kursi panjang ruang tengah, hanya mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya tergulung santai. Di tangannya, segelas wine merah berputar perlahan, menimbulkan riak kecil di dalam gelas kristal yang memantulkan cahaya lampu gantung.
Dari tangga marmer di sisi ruangan, langkah lembut terdengar turun perlahan. Matteo mengangkat kepalanya tanpa tergesa, matanya mengikuti suara itu. Begitu Zenia muncul, langkahnya terhenti sejenak.
Wanita itu mengenakan gaun tidur tipis berwarna gading pucat, panjangnya hanya sampai betis, kainnya tembus pandang di bawah cahaya lampu. Rambutnya dibiarkan terurai, jatuh berantakan di bahunya, membuat wajahnya terlihat lebih lembut dan lelah. Ia tampak tidak sadar sedang diperhatikan; hanya ingin mengambil segelas air dari dapur karena tidak bisa tidur.
Matteo memiringkan kepala, bibirnya menampilkan senyum miring yang terlalu tenang untuk disebut ramah. Ia bersiul pelan, membuat Zenia menoleh dengan kaget.
“Tidak bisa tidur?” tanya Matteo, nada suaranya pelan tapi mengandung sesuatu yang sinis.
Zenia diam beberapa detik sebelum menjawab datar, “Aku hanya haus.”
“Ah,” Matteo mengangkat gelasnya, berputar sedikit di tangannya, “tapi kelihatannya kamu lebih haus perhatian malam ini.”
Zenia berhenti di tempatnya, menatap Matteo dengan alis berkerut. “Maksudmu apa?”
Matteo berdiri perlahan, menegakkan tubuhnya yang tinggi, berjalan ke arah Zenia dengan langkah pelan tapi pasti. Setiap langkahnya terdengar berat di lantai marmer, membuat Zenia semakin kaku di tempatnya.
“Gaun tidur itu,” katanya dengan nada ringan tapi tajam. “Kau selalu berpakaian sopan di siang hari. Tapi malam ini, tiba-tiba saja kau turun tangga dengan kain tipis yang bahkan tidak bisa menutupi separuh tubuhmu.”
Zenia menatapnya tajam, ekspresinya berubah dari kaget menjadi marah. “Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu dan aku berhak memakai apapun.”
“Oh, tentu saja tidak,” Matteo menyeringai. “Tapi, katakan padaku, Zenia... apakah kau sengaja melakukannya? Karena kalau memang niatmu menggoda, kau berhasil.”
Tatapan Zenia membulat, wajahnya berubah merah oleh amarah. Ia hampir tidak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulut Matteo. “Kau benar-benar keterlaluan.”
Matteo meneguk wine-nya perlahan, seolah tidak peduli dengan kemarahan yang memancar di wajah Zenia. “Aku hanya berkata jujur. Aku hanya manusia biasa, Zenia. Aku melihat apa yang kulihat.”
Zenia mendekat satu langkah, nadanya tajam. “Kau tidak punya hak berbicara seperti itu padaku. Aku—”
“—mantan istri ayahku,” potong Matteo cepat, dengan senyum dingin yang tak menghilang dari bibirnya. “Ya, aku tahu. Tapi itu tidak membuatmu suci di mataku.”
Zenia menghela napas kasar, menahan gemetar di tangannya. “Kau sungguh tidak tahu malu.”
“Tidak lebih dari dirimu,” balas Matteo pelan, tapi tajam.
Keduanya saling menatap dalam diam. Udara di antara mereka terasa padat, tegang, dan panas. Zenia ingin berbalik dan pergi, tapi tubuhnya seolah terpaku di lantai. Matteo melangkah sedikit lebih dekat lagi hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa jengkal.
“Berhenti mempermainkanku,” kata Zenia perlahan, menatap langsung ke mata Matteo.
“Siapa yang mempermainkan?” Matteo menunduk sedikit, suaranya lebih rendah. “Kamu datang ke ruang tengah di tengah malam, berpakaian seperti itu, berjalan tepat di hadapanku, dan sekarang kau bilang aku yang mempermainkanmu?”
Zenia menahan napas, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu apa pun yang ia katakan akan digunakan Matteo untuk menekan balik. Tapi ia tidak mau menunjukkan ketakutannya.
“Aku tidak tahu kau masih terjaga,” katanya akhirnya. “Dan kalaupun aku tahu, aku tetap tidak akan berpakaian lain hanya untuk membuatmu nyaman.”
Matteo tertawa kecil, tapi tawanya terdengar tanpa humor. “Berani juga kamu bicara begitu.”
Zenia menegakkan bahunya. “Aku tidak takut padamu, Matteo.”
Matteo mendekat satu langkah lagi, menatap lurus ke mata Zenia. “Kamu seharusnya takut.”
Zenia bergeming, tapi napasnya memburu. Ia mencoba memalingkan wajah, namun Matteo mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya lebih dekat. Bau alkohol dan cologne yang kuat menguar dari tubuh Matteo, bercampur dengan aroma anggur merah yang pekat.
“Kenapa kamu membenciku begitu?” tanya Zenia tiba-tiba, suaranya pelan tapi menusuk.
Pertanyaan itu membuat Matteo berhenti. Sejenak, senyum sinisnya memudar. “Karena kamu mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”
“Aku tidak pernah mengambil apa pun,” jawab Zenia.
“Kau mengambil Papa dariku,” Matteo mengucapkannya dengan pelan, tapi dengan tekanan tajam di setiap kata. “Kau membuat dia lupa siapa keluarganya. Dan sekarang setelah dia mati, kau masih berani tinggal di rumah ini, berjalan di lantai yang dibangun dengan uangnya, berpakaian seperti itu, seolah semuanya masih milikmu.”
Zenia menarik napas dalam, menatapnya dengan mata bergetar. “Aku tidak pernah ingin hidup seperti ini. Aku tidak minta jadi istri Carlo. Aku tidak minta semua ini.”
“Tapi kau tetap menerimanya,” Matteo menatapnya dingin. “Dan sekarang... kau masih di sini.”
Keheningan jatuh lagi. Keduanya berdiri begitu dekat, hanya sejengkal jarak. Lampu gantung di atas kepala mereka bergetar ringan karena angin malam, bayangannya menari di lantai marmer.
Zenia akhirnya melangkah mundur, menatap Matteo dengan mata sendu tapi tegas. “Aku tidak akan membalas kata-katamu. Aku tahu kau membenciku. Tapi aku tidak akan meminta maaf atas hal yang bukan salahku.”
Ia lalu berbalik, berjalan menuju dapur. Matteo tidak bergerak, hanya memandang punggung wanita itu, langkahnya yang tenang meski jelas menggigil.
Saat Zenia menghilang di balik dinding dapur, Matteo mengangkat gelasnya lagi, menatap cairan merah di dalamnya. Jemarinya mengetuk kaca perlahan, lalu ia bergumam pelan tanpa suara, seolah kepada dirinya sendiri.
“Kalau aku benar-benar membencimu, kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu?”
Matanya menatap kosong ke arah tangga yang tadi dilalui Zenia. d**a Matteo terasa sesak oleh sesuatu yang ia sendiri tidak pahami—antara amarah, penyesalan, dan hasrat yang tidak seharusnya ada.
Ia meneguk sisa wine dalam satu tarikan napas panjang, menatap gelas kosong itu lama sekali. Hening. Hanya suara jam antik yang berdetak pelan di dinding menemani pikirannya yang kacau.
Di dapur, Zenia berdiri mematung menatap gelas air di tangannya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena marah—marah pada Matteo, pada hidupnya, pada dirinya sendiri.
Ia tahu lelaki itu membencinya, tapi di balik tatapan dingin Matteo, ia juga melihat sesuatu yang berbeda: tatapan yang menilai, menelusuri, dan seolah menahan sesuatu di balik kebencian itu. Dan justru hal itu membuatnya tidak tenang.
Malam itu, rumah besar keluarga Ancelotti terasa semakin sunyi. Tapi di antara tembok-tembok mewahnya, dua hati yang sama-sama terikat dalam luka dan amarah mulai berdenyut dalam ketegangan.