5. Surel Dari Masa Lalu

1666 Words
Leona, di usianya yang menginjak 25 tahun sudah menjadi asisten manager di perusahaan yang cukup bergengsi, bukan hal mudah baginya menjejaki karir di perusahaan ini. Namun, karena kecerdasan dan keuletannya dia mampu meraihnya. Dia lulus dengan predikat cumlaude, terbiasa mengejar beasiswa sejak sekolah membuat otaknya bekerja lebih keras dan dia sangat bangga dengan dirinya, dia tak pernah mau menyusahkan ibunya yang membanting tulang untuknya. Karena itu sejak SMP dia selalu mencari beasiswa agar sekolahnya bisa gratis, bahkan dia mendapatkan uang saku. Saat kuliah pun dia melamar menjadi asisten dosen, dan itu membuatnya mendapatkan uang saku sekaligus ilmu yang tak bisa didapatkan oleh semua orang. Bagi Leona, hubungan dengan sesama rekan kerja atau teman juga harus terjalin, itu sebabnya dia selalu meluangkan waktu istirahat dengan menghampiri teman-temannya. Biasanya mereka makan di meja kerja sambil melakukan aktifitas lainnya. Ada yang sambil pumping karena masih menyuusui bayinya. Ada yang sambil menonton drama korea, atau juga menonton film di layar PC-nya. Leona hari ini diet, dia tidak makan siang dan hanya akan makan sore nanti. Dia tak mau gaun pernikahannya nanti tidak muat. Setelah meminum susuu khusus dietnya, dia menggeser kursi menghampiri salah satu teman akrabnya di kantor ini, Yulia. Wanita yang sudah menikah lima tahun lalu itu tampak serius menatap layar komputernya yang menampilkan sebuah film. Ada adegan di mana seorang pria mengantar wanita muda menuju kampusnya, “film apa sih, Mbak?” tanya Leona. “Eh Leona, ini film yang lagi viral judulnya Kecanduan Cinta Terlarang,” ujarnya. “He? Tentang apa itu?” tanya Leona yang ikut menatap layar komputer temannya. Yulia menyuap makanannya dan kembali larut dalam tontonan. “Kakaknya sudah menikah, tinggal serumah sama adiknya, ternyata suaminya ada main sama adiknya, emang adiknya aja yang gatel,” ujar Yulia sambil bergidik ngeri. “Ih ada-ada aja sih, untungnya kakakku juga sudah menikah dan aku enggak pernah tertarik sama suaminya, gantengan juga Mas Barra,” kekeh Leona. “Tapi emang kisah kayak gini relate tau Na, banyak tuh rumah tangga berantakan karena ipar, ya enggak musti perselingkuhan, mulut ipar yang berbisa juga bisa menghancurkan rumah tangga keluarganya,” ucap Yulia. Leona hanya tersenyum simpul, “ya semoga kita dijauhin deh dari ipar yang kayak gitu, Mas Barra sih anak tunggal, dan kak Aura juga tinggalnya jauh di Surabaya,” ucap Leona. “Aamiin, oiya undangannya kapan disebar?” tanya Yulia meski matanya masih tampak serius memandang layar yang kini ikut dipandangi oleh Leona juga. “Nanti seminggu sebelum hari H, malam ini aku mau ke rumah mas Barra, kemarin kan gagal karena lembur,” tutur Leona. “Projectnya sudah selesai?” “Proposalnya sudah, tinggal presentasi aja.” “Setelah nikah, kamu tetap kerja kah?” tanya Yulia. “Iya dong, passion aku di kantor, aku sering lihat perempuan yang enggak kerja, suka diremehkan sama suaminya.” Pandangan Leona tampak mengawang, mengingat percakapan Tharik dengan Aura di malam sebelum pertunangan, Tharik terlihat menyelepekan Aura dengan terang-terangan, bahkan di depan Leona dan ibunya. Sejujurnya itu membuat ibu mereka sakit hati, tapi Aura sepertinya terus membela suaminya dan berkata Tharik hanya sedang lelah saja karena perjalanan. Leona kemudian melihat ponselnya yang bergetar, panggilan masuk dari Barra, dia pun pamit pada teman kerjanya dan memutuskan menuju meja kerjanya di kubikel yang berbeda dengan kubikel Yulia. “Ya Mas, sudah makan siang?” tanya Leona. “Sudah, kamu gimana?” tanya balik Barra dari seberang sana. “Kan diet.” “Jangan ketat-ketat dietnya nanti malah sakit,” tuturnya. “Enggak Mas, tenang aja, nanti kalau enggak kuat aku makan deh,” kekehnya. “Oiya kata ibu, rumah yang mau kita tempati itu sudah dikosongkan Mas, besok sudah mulai bisa direnovasi,” imbuh Leona. Mereka berdua memang memutuskan membeli rumah di kompleks yang sama dengan rumah ibunya, hanya beda satu blok saja. Leona tidak tega meninggalkan ibunya seorang diri. Rumah itu awalnya milik pasangan suami istri yang sudah tua dan mereka memutuskan menjualnya lalu tinggal di kota yang sama dengan anak mereka. Sehingga rumah itu masih tampak seperti rumah tua, dan harus banyak direnovasi. Tapi tidak masalah bagi Barra karena yang penting baginya, Leona nyaman dan tidak kepikiran pada ibunya yang ditinggal sendirian. “Ya sudah weekend kita lihat lagi ya dan cek yang mana yang mau direnovasi, kalau ada yang masih bisa dipertahankan ya kita pertahankan aja,” ucap Barra. “Iya Mas,” ujar Leona, mereka kemudian membicarakan tentang persiapan pernikahan mereka, tak ada satu pun hal yang menyinggung tentang Aura. Barra pun menghindari topik tentang itu, selama tiga puluh menit mereka berbicara dan Leona melihat teman kerjanya mulai datang satu persatu setelah jam istirahat berakhir, dia pun berpamitan pada Barra untuk melakukan pekerjaannya. Sementara itu di kantor Barra, pria itu menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah Leona, dia menggeleng perih. Pantas saja mereka cukup mirip, ternyata memang keluarga. Barra melihat email masuk di laptopnya, beberapa email berisi pekerjaannya. Dan dia tiba-tiba mendapat email yang dikirim darinya sepuluh tahun lalu. Dia baru ingat bahwa dulu dia pernah menyetting email agar bisa diterima setelah waktu berlalu. Barra membaca subject emailnya, “Dari Barra muda untuk Barra tua.” Tulisan itu membuat Barra tertawa. Sepuluh tahun lalu, itu artinya dia masih kuliah kan. Barra membuka emailnya, dadanya langsung terasa sesak. Kata demi kata yang ditulis penuh dengan semangat dan itu membuatnya sedih. ‘Hei Barra tua. Pasti sekarang kamu sudah menikah dengan Aura, kalian mungkin sudah punya lima anak karena setiap tahun bikin anak kan? Bagaimana istrimu, Aura. Masih cantik kan? Dia selalu cantik di mata kita. Pasti dia kalau ngambek masih suka majuin bibirnya dan kita akan mencium bibir itu yang rasanya manis banget. ‘Hei Barra tua. Kamu mungkin akan ngelewatin fase puber kedua sebentar lagi, tapi ingat ya, Aura adalah satu-satunya, setiap kamu jatuh cinta sama yang lain kamu harus sadar diri bahwa hanya Aura yang dari awal selalu ada di hati kamu. ‘Hei Barra tua, aku harap di usia kamu yang sekarang, kamu sudah memiliki jabatan bagus, gaji besar, tabungan yang banyak, kamu wujudin impian Aura untuk membuka usaha catering dan juga toko kue. Masakan dia enak banget kan, kamu juga tahu itu. ‘Barra, aku harap kehidupan kamu dan Aura terus bahagia meski cobaan dan badai mungkin menghantam kalian. Dia wanita yang sempurna, dia akan menjadi ibu yang baik dan istri yang baik, jadi jangan pernah sia-siakan dia. Dari Barra muda yang ganteng dan energik, untuk Barra tua yang mungkin sudah mulai sering encok dan berteman dengan minyak angin.’ Kata-kata itu dituliskan dengan penuh semangat, membuat Barra ingat bahwa dia menulisnya ketika tengah lelah menggarap skripsi, dia berencana menikahi Aura di usianya yang ke dua puluh tujuh tahun. Itu adalah usia yang tepat baginya untuk menjadi seorang suami dan juga ayah, dia tak menyadari bahwa Aura mungkin menginginkan lebih cepat. Ah salah! Dia sadar tapi dia tak mau menurunkan egonya dan mengubah targetnya. Barra berniat menghapus email yang dikirim olehnya sepuluh tahun lalu itu, namun dia mengurungkannya. Dia biarkan email itu yang nantinya pasti akan tertumpuk dengan email lainnya. dan naasnya dia mendapat email lagi, dia baru ingat dia mengirim dua email. Email yang satu berisi fotonya berdua Aura, berlibur di pantai. Aura memakai bikini dengan bawahan kain pantai, terlihat sangat seksi dan mereka ... pertama kali melakukan itu berdua. Mata Barra memanas, dia tak bisa menahan air yang muncul setitik dari matanya itu. Di foto itu Barra merangkul Aura dengan mesra dan penuh kasih sayang, es krim cone ada di tangan Aura, satu es krim yang mereka makan berdua. Barra menutup laptopnya dengan kasar lalu dia bersandar di kursi. Memejamkan mata sambil menutupi mata itu dengan lengannya, hingga terasa remasan di bahunya. “Barra, are you ok?” Suara berat seorang pria terdengar, Barra menurunkan lengannya. Tampak atasannya pria berkebangsaan Jepang yang memang sangat ramah padanya itu. “Yes, i’m ok,” ucap Barra. Pria paruh baya itu tersenyum tipis, “pulanglah,” ucapnya melihat mata Barra yang memerah. Barra merasa dia pun takkan bisa konsentrasi bekerja jika pikirannya sedang kacau seperti ini. Dia merasa beruntung karena atasannya itu sangat perhatian padanya, dia berpamitan dan membawa laptopnya. Dia mengemudikan mobilnya seperti tak tentu arah. Bahkan dia tidak menyadari bahwa dia kini justru berada di tepi pantai. Pantai tempat dirinya dan Aura pernah memadu kasih dan berjanji untuk setia selamanya. Berjanji untuk membangun keluarga yang bahagia. “Kenapa sampai sini?” tanya Barra. Dilepaskan dasinya, dia membuka dua kancing teratas kemejanya lalu dia keluar dari mobil. Masih mengenakan setelan kerja, dia berjalan di tepi pantai itu. Sangat sepi siang ini, ombak tampak saling berkejaran. Dia duduk di tepi pantai. Ingatannya mengawang jauh, dia seperti melihat sepasang kekasih berlarian di tepi pantai dengan baju yang sudah basah. Aura dan dirinya di masa lalu. “Barra, sudah ih basah,” ucap Aura mendorong tubuh Barra yang terus mencipratkan air ke dirinya, senja mulai tampak saat itu. Rambut Aura pun basah, dan kaos putihnya menerawang, membentuk siluet dalamannya yang berwarna hitam. “Lagian sudah beli bikini kenapa tetap pakai kaos?” celetuk Barra tersenyum jahil. “Malu lah,” ujar Aura sambil tersipu. “Malu sama siapa? Kan cuma kita berdua di sini,” ucap Barra. Aura mengedarkan pandangan ke sekitar. Hotel yang mereka sewa memang sangat sepi dan terletak tepat di dekat bibir pantai. Aura melepas kaosnya, Barra bersiul melihat tubuhnya. “Cantiknya,” ucap Barra menatap Aura dengan balutan bikini hitam yang dibeli mereka berdua. “Malu,” ucap Aura. Barra memeluknya erat, lalu menangkup kedua pipi Aura, mengecup bibirnya lembut. “Aku sayang kamu Aura,” ucap Barra, “aku juga sayang kamu Barra,” balas Aura yang kemudian melumat bibir Barra. Entah siapa yang memulai, mereka pun memadu kasih di hotel itu untuk kali pertama. Hal yang tak seharusnya mereka lakukan karena belum menikah. Suara debur ombak membuyarkan Barra dari lamunan, dia menatap ombak kejauhan. Bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia siap menjadi ipar dari wanita yang pernah dicintainya? Dari wanita yang bahkan sampai kini masih menempati satu tempat di hatinya? Tidak! Barra tidak siap dan mungkin takkan pernah siap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD