6. Perbedaan Kedua Wanita

1597 Words
Malam ini, sepulang kerja Leona langsung ke rumah Barra, dengan diantar driver kantornya. Untuk bekerja memang Leona masih naik angkutan umum karena lokasi tempat kerjanya cukup strategis, lagi pula dia berpikir bahwa dengan menggunakan angkutan umum dia bisa sambil olah raga jalan kaki. Dia memiliki sebuah mobil tua, dibeli second beberapa tahun lalu, namun lebih banyak ditinggalkan di rumah. Ada satu unit motor matic miliknya yang kini dipakai sang ibu untuk sekedar berbelanja. Setelah pensiun sebagai cleaning service, ibu Leona memang memulai usaha catering rumahan. Meskipun tidak terlalu ramai, namun setiap minggu ada saja pesanan yang masuk. Sebagai asisten manager dia bahkan mendapat fasilitas antar jemput karyawan, yang memang sangat jarang dipakainya terkecuali dia harus lembur, namun untuk malam ini pengecualian. Jarak rumah Barra dari jalan umum cukup jauh, jadi dia meminta diantar saja. Dia menekan bel rumah keluarga Barra, di tangannya sudah menenteng kotak roti yang dia sempat beli di jalan sekalian untuk diberikan untuk driver yang mengantarnya tadi. Leona menatap garasi rumah itu, belum ada tanda-tanda mobil Barra, pesannya juga belum dibaca sejak sore tadi. Tak berapa lama seorang ibu paruh baya keluar dari rumahnya, tersenyum hangat menatap Leona. Dia membukakan gerbang untuk Leona. Leona menyalami Soffa, ibu Barra lalu memeluknya erat. “Leona,” sapa calon ibu mertuanya. “Mas Barra belum pulang, Bu?” tanya Leona. “Belum, mungkin masih di jalan. Ayo masuk,” tutur Soffa sambil mengamit lengan calon menantunya. Sekilas dia terlihat begitu sedih menatap Leona. Wanita ini sangat baik, apakah dia benar-benar tidak tahu bahwa kakaknya adalah mantan kekasih dari calon suaminya? Di dalam, ibu Barra membuatkan minuman dingin, sementara ayah Barra tidak di rumah, katanya sedang berkumpul dengan para bapak-bapak komplek untuk bermain tenis meja. Leona duduk di sofa putih bersih itu, memandang foto keluarga Barra yang sepertinya diambil ketika Barra berusia dua puluh tahunan. Ibu Barra ikut menoleh ke arah pandangan Leona. “Barra dulu kurus ya? Sekarang sih sudah lebih berisi,” tutur Soffa membuat Leona terkekeh. “Iya Bu, lebih ganteng sekarang,” ucapnya, saat tersenyum dia benar-benar mirip dengan Aura membuat hati Soffa ikut merasakan perih. “Oiya, kabar ... k-keluarga kamu bagaimana?” tanya Soffa. “Ibu baik, lagi sibuk ngatur catering untuk nanti resepsi, dia ingin menu masakan yang enak, jadi ibu cari catering yang terbaik,” jawab Leona. “Kalau hmmm kakak kamu?” tanya Soffa tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, “kamu sepertinya enggak pernah menceritakannya, ibu cukup hmm terkejut kamu ternyata punya kakak perempuan.” “Aku pernah cerita tapi hanya sekilas Bu. Aku sama kak Aura memang enggak terlalu dekat. Orang tua kami berdua bercerai ketika kami kecil. Aku ikut sama ibu, sementara kak Aura ikut ayah, enggak lama ayah menikah dengan Bunda, jadi kakak benar-benar enggak pernah diperbolehkan ketemu dengan kami, lagi pula ibu kan pindah ke luar kota waktu itu,” ucap Leona. “Dia sudah lama menikah? Dan tinggal di mana dia sekarang?” Leona menatap ibu Barra, ada rasa aneh menggelitik hatinya, mengapa calon ibu mertuanya ini sangat penasaran dengan keluarganya? Namun Leona merasa itu adalah pertanyaan yang wajar apalagi sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga. “Kak Aura menikah sekitar hmmm tujuh tahun lalu, enggak lama setelah menikah mereka pindah ke Surabaya sampai sekarang. Kak Aura paling hanya berkunjung setahun sekali saat hari raya.” Soffa hanya mengangguk kecil, dia memendam rasa penasarannya lebih lama, terdengar suara gerbang dibuka lalu diikuti suara ban beradu dengan aspal. Sepertinya Barra sudah pulang. Tak berapa lama pintu terbuka, mereka melihat Barra dengan pandangan bingung, tubuh pria itu basah dan Barra tampak agak pucat. “Eh Leona,” sapa Barra. “Mas, kehujanan? Tapi kan mas pakai mobil dan di luar enggak hujan?” ujar Leona sambil berdiri. “Tadi ada insiden kecil, mandi dulu ya, nanti langsung naik aja undangannya di atas,” ucap Barra meninggalkan Leona. Ibunya menangkap gelagat aneh dari Barra. Sorot matanya yang kosong, mirip seperti sorot mata yang ditunjukkan tujuh tahun lalu ketika Aura meninggalkannya untuk menikahi laki-laki lain. “Duduk dulu, Barra kalau mandi lama,” tutur Soffa. Leona kembali duduk meski tak mengerti mengapa Barra terlihat begitu berantakan, sedangkan yang sebenarnya terjadi tadi adalah Barra terus berteriak di pinggir pantai, dia berlutut di atas ombak yang semakin lama semakin tinggi dan menghantam tubuhnya, dia membiarkan gelombang itu membasahi bajunya. Setelah puas berteriak-teriak, dia pun pulang tanpa sempat mengganti baju lagi, itu pun dia merasa beruntung karena tiba di rumah dengan selamat, karena pikirannya benar-benar kosong sejak dia bertemu Aura lagi. Setelah hampir sepuluh menit Barra mandi, Leona memutuskan naik ke atas. Dia mengetuk pintu kamar Barra, tak ada sahutan, dia memutuskan membuka pintu kamar itu. Barra baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaos hitam dan celana pendek. “Mas, kamu baik-baik aja? Kamu pucat,” ucap Leona menghampiri Barra, meletakkan punggung tangan di kening Barra untuk mengecek suhu tubuh. “Aku baik-baik aja, enggak apa-apa,” jawab Barra pelan. Leona menatap mata Barra lalu pindah menatap bibir pria itu yang tampak merah. Dia berjinjit ingin mengecupnya, namun Barra memalingkah wajah hingga Leona hanya bisa mengecup pipinya. “Mas?” “Aku ... aku lagi capek banget,” ucap Barra, menggandeng tangan Leona agar tidak curiga dengan yang terjadi, lalu mengajaknya ke luar kamar. Di ruang tengah depan kamarnya, tepat di lantai dua. Barra membuka pintu ke arah Balkon agar angin malam yang segar itu masuk dan mungkin bisa sedikit membantu menenangkan hatinya yang sesak. Leona duduk di karpet, sementara di atas meja sudah ada tumpukan undangan yang mereka cetak bersama. Barra duduk di sampingnya. Leona mulai memilah undangan untuk tamunya, “Mas enggak biasanya seperti ini. Mas tahu kan kalau menjelang pernikahan pasti ada saja ujian yang datang dan aku harap—“ “Aku enggak apa-apa, Sayang, beneran,” ucap Barra memotong kalimat Leona. Dia bahkan memegang dagu Leona dan membuatnya menatap ke arahnya, lalu dia memajukan wajahnya mengecup bibir Leona, aneh ... mengapa rasanya hambar saat ini? Dia pun memejamkan mata, dia tak mau berlarut seperti ini, hidupnya harus berjalan. “Euhm,” desis Leona ketika Barra mulai menjulurkan lidahnya dan Leona menyambutnya dengan hisapan yang cukup panas. Jemari Barra mengusap punggung wanita itu, sementara Leona sudah mengalungkan tangan di lehernya. Lama mereka berpagutan, Leona tampak ingin berpindah duduk di atas pangkuan Barra hingga Barra melepas lumatan itu dan tersenyum. “Hayo mau ngapain?” tanya Barra. “Eh ... kelepasan,” kekeh Leona, keduanya tertawa kecil. Barra mengusap kepala Leona, wanita ini adalah wanita yang akan dinikahinya, wanita yang disayanginya dan dia tak mau menggagalkan pernikahan ini dan membuat semua orang kecewa. Sekali lagi ... hidup harus terus berjalan dan dia akan mengukir masa depannya bersama wanita di sisinya ini. “Honeymoon kita Mas yang siapkan, kan?” tanya Leona. “Iya visa kita ke Jepang sedang dibuat,” ucap Barra. “Ah itu sih bukan honeymoon, tapi Mas mau kerja,” sungut Leona membuat Barra mengacak rambutnya dengan lembut. “Kan sekalian, di sana ada tempat yang indah, dan aku sudah bisa bahasanya, jadi lebih mudah,” ucap Barra. “Ya sudah, aku ikut aja ke mana providerku melangkah,” tutur Leona. “Gitu dong, kamu jangan mikir macam-macam ya, aku enggak apa-apa. Oke?” “Iya Mas,” ucap Leona sambil menyandarkan kepala di bahu Barra, Barra melingkarkan tangannya di perut Leona, mengecup kepala calon istrinya yang masih asik memilah undangan, mereka membicarakan perihal nama-nama di undangan itu dan membaginya menjadi beberapa kelompok. Mereka mendengar langkah kaki menaiki tangga, lalu ibu Barra muncul membawakan Baki berisi makanan, “kalau sudah sibuk, pasti lupa makan,” ucapnya. “Ibu, sampai dibawakan ke atas,” ucap Barra sambil berdiri mengambil baki itu, sementara Leona masih duduk, hanya tersenyum pada ibu Barra dan mengucap terima kasih tanpa berniat membantu sedikit pun. Meski Soffa tak tampak keberatan, namun entah mengapa hal kecil itu mulai menjadi perhatian bagi Barra. “Ibu masak apa?” tanya Leona. “Soto ayam, kalian lanjutkan kerjaannya setelah makan ya, ibu turun dulu,” ucap Soffa sambil mengangguk kecil pada Barra yang masih memegang baki berisi dua mangkuk soto dengan dua piring nasi itu. Padahal baki ini cukup berat dan juga pasti ribet membawanya menaiki tangga. Barra kemudian berjongkok memindahkan baki itu ke atas meja. “Lain kali langsung bangun, Sayang, bantu ibu,” ucap Barra memindahkan undangan dan menggantinya dengan makan malam mereka. “Aku capek banget hari ini, Mas. Maaf ya,” ucap Leona sambil tersenyum lebar. “Ya sudah, lain kali bantu ya meskipun hanya sekedarnya,” balas Barra, “ayo makan dulu, soto enak dimakan saat hangat,” imbuhnya. Leona mengangguk lalu bersiap menikmati soto itu. Di dapur, Soffa tampak memegangi degup jantungnya yang berdebar memandangi panci berisi kuah soto, “bisa-bisanya aku bikin makanan kesukaan Aura, semoga mereka enggak sadar,” ucap Soffa. Teringat sekitar sepuluh tahun lalu, ketika pertama kali Aura datang ke rumah ini. “Kamu suka soto?” tanya ibu Barra. “Suka banget ibu,” ucap Aura meski masih canggung. “Bagaimana kalau makan malam ini kita bikin soto, bahan-bahannya ada semua, Barra bilang kamu suka masak dan masakan kamu enak,” ucap Soffa saat itu. “Ayo Bu, soto ayam, kan?” tanya Aura. “Iya soto ayam,” jawab Soffa, acara masak memasak pertama mereka pun berhasil mendekatkan mereka, saat itu Aura yang lebih banyak memegang pisau, mereka berbincang akrab dan Soffa mulai merasa jatuh hati padanya, bahkan setiap Aura ke rumah, dia yang membantunya di dapur dan tak membiarkan Soffa mengerjakan banyak pekerjaan termasuk mencuci piring sekalipun. Tanpa sadar Soffa menyeka sudut matanya. “Dasar Barra bodoh,” desisnya dihantui sedikit penyesalan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD