Malam ini Barra mengantar Leona pulang ke rumahnya, seperti biasa ketika wanita itu main ke rumahnya, pasti dia akan mengantar pulang. Leona masih manja seperti biasa, bersandar di bahu calon suaminya. Tanganya mengusap lembut lengan Barra.
“Enggak nyangka ya Mas, beberapa minggu lagi kita menikah,” ucap Leona.
“Iya,” jawab Barra singkat.
“Sebelum kita menikah, boleh tanya satu hal?” tanya Leona.
“Apa?” Barra sesekali melirik Leona dari kaca yang memantulkan bayangan mereka di atasnya, malam sudah larut sehingga kendaraan mulai sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas di sekitar mereka.
“Apa ada satu hal yang mas semubunyikan dari aku? Yang menurut mas, aku enggak perlu tahu?” tanya Leona. Lama Barra terdiam, tak mungkin dia menceritakan tentang Aura. Dia pernah menceritakan tentang wanita yang pernah dekat dengannya di Jepang dan itu membuat Leona marah. Apalagi jika dia berkata bahwa dia menjalin hubungan selama lima tahun dengan Aura, kakaknya.
“Enggak ada, semua sudah diceritakan.” Barra memutuskan berbohong, biarlah, perjalanan mereka sudah terlalu jauh sehingga tak mungkin dia membuat hubungan mereka kian berjarak. Lagi pula Aura juga kan tidak mau keluarganya tahu tentang mereka yang pernah menjalin hubungan di masa lalu.
“Aku ada,” ucap Leona.
“Apa?” tanya Barra.
“Aku takut Mas marah,” ucapnya dengan suara bergetar. Barra mengernyitkan kening.
“Enggak.”
“Janji?” ujar Leona menatap mata Barra, Barra mengecup keningnya dengan lembut.
“Iya,” jawabnya pendek.
“Aku ... aku sudah enggak perawan,” ucap Leona. Barra terdiam, bukan hal yang mengejutkan sebenarnya di masa sekarang ini, meskipun selama menjalin hubungan dengannya, Barra tak pernah melakukan hal yang lebih, seperti menggaulinya.
“Mas marah, kan?” tanya Leona, Barra bisa melihat setitik air di mata Leona.
“Enggak sama sekali. Jadi tutup rapat rahasia itu, aku enggak mau tahu dan menurut aku itu bukan masalah besar,” jawab Barra. Dia mengusap mulutnya sendiri dengan tangannya. Apakah ini balasannya karena dia dulu pernah menjebol pertahanan Aura. Ah sudahlah, dia pun harus menutup rapat tentang ini kan?
“Aku beruntung banget punya calon suami seperti mas, sementara di luar sana banyak pria yang juga nakal tapi menuntut calon istrinya sempurna, masih segelan,” ucapnya.
“Sudah, jangan dipikirkan.” Barra kini lebih fokus menatap jalanan, setidaknya itu yang terlihat, meskipun pikirannya seperti tak berada di tempatnya. Dia bahkan tak singgah ke rumah Leona dan hanya mengantar sampai depan gerbangnya saja.
Dia memutari blok itu dan melihat lagi rumah yang sudah dia beli, dia berhenti di depan rumah itu, meski masih berada di dalam mobil. Dia memandang rumah dengan design yang cukup ketinggalan jaman.
Ketika dia menjalani hubungan dengan Leona, tak terlalu banyak keinginan yang dia katakan, dia seperti hanya mengikuti arus. Sangat berbeda saat dia menjalani hubungan dengan Aura dulu, mereka sering mengatakan impian mereka, apa yang ingin mereka lakukan dalam waktu satu sampai dua tahun ke depan. Dan Aura sering mencatatnya di buku yang dia sebut jurnal harian.
Aura tak pernah lebih bahagia dibandingkan saat Barra membelikannya buku catatan dengan pulpen berwarna warni atau alat tulis lain yang juga berwarna, stiker lucu atau sticky notes kecil untuk dia menamani banyak hal di dalam buku yang menurut Barra seperti buku anak-anak, yang entah mengapa justru Barra pun sering ikut menulisnya. Entah sudah berapa banyak buku yang mereka habiskan dulu? Dan entah di mana buku-buku itu berada? Mungkin Aura sudah membuangnya.
Barra hanya ingat bahwa Aura menginginkan rumah dengan dinding berwarna putih, dan pintu atau jendela berwarna hitam. Mungkin dia akan mewujudkannya di rumah ini nantinya. Barra kembali melanjutkan mobilnya. Aura ... selalu tentang Aura, dia mulai kesal dengan pikirannya sendiri. Dia mengepalkan tangannya di atas kemudi. Mengapa sangat sulit melupakan cinta pertamanya?!
***
Sementara itu di Surabaya, Aura menyiapkan sarapan pagi sekaligus bekal untuk sekolah Zoya putrinya, dia menatanya di meja makan. Lalu Tharik duduk di meja makan itu, seperti biasa dia akan meminta kopi dengan kehangatan cukup. Dia menatap Zoya yang hanya menunduk seperti tak berani mengangkat wajahnya. Dia mungkin tak menyadari Zoya murung sejak hari itu, sejak hari di mana dia menarik rambut Aura tepat di depan anaknya.
Setelah meneguk setengah gelas kopinya, Tharik pun berdiri hendak pergi.
“Mas, mau ke mana?” tanya Aura.
“Kerja lah, emangnya kamu enak-enakkan di rumah,” sungutnya.
“Mas,” ucap Aura merendahkan suaranya, menghampiri Tharik sambil melangkah pelan, tubuhnya seperti membungkuk, apron lusuh masih bertengger menutupi dasternya membuat Tharik mendengus, aromanya pasti masam.
“Mas lupa? Kan hari ini kita berdua dipanggil ke sekolah Zoya,” ucap Aura melirik ke arah Zoya yang masih duduk di meja makan, memotong-motong rotinya tanpa berniat menyantapnya.
“Enggak. Tapi kamu saja lah.”
“Mas, enggak bisa ... harus kita berdua yang datang, gurunya Zoya bilang ada yang mau dibicarakan ke kita berdua,” ucap Aura.
“Aura, dengar. Aku capek kerja, ada meeting juga, kantor kesulitan kalau aku enggak ada.”
“Mas kan bisa izin datang agak siang, setelah kita ke sekolah Zoya kita langsung pulang. Mas bisa langsung ke kantor,” ucap Aura.
Tharik menggeleng, “percuma kita bayar mahal sekolah itu kalau ada masalah, kita juga yang harus datang. Sudah! Pindahkan saja sekolah Zoya!”
“Mas, enggak bisa seperti itu, dong,” ucap Aura masih dengan nada suara rendah dan lembut, kali ini dia memegang lengan suaminya seolah menahannya pergi, namun Tharik menepisnya sambil berdecak.
“Pergi saja sendiri!” ujar Tharik. Aura hanya menghela napas panjang dan mengangguk, dia mengulurkan tangannya untuk bersaliman dengan sang suami, namun Tharik mengabaikannya dan meninggalkannya begitu saja.
Aura kemudian menghampiri Zoya, “sebentar ya Nak, mama mau ganti baju dulu, habis itu kita ke sekolah sama-sama,” ucap Aura mengusap lembut kepala putrinya. Zoya mendongak, matanya tampak berkaca-kaca.
“Maafin Zoya ya, Ma,” ucapnya dengan bibir yang mungil. Aura menatapnya dengan pandangan sedih, ‘mama yang minta maaf karena salah memilih suami.’ Dia berucap dalam hatinya, begitu perih memandang putrinya yang seperti ini.
Mungkin ini adalah baju terbaik yang Aura punya, rok span selutut dengan kemeja hitam. Dia memakai kalung mutiara yang dibelikan Tharik ketika mereka menikah. Juga tas tangan yang kecil, hanya bisa menampung dompet dan ponselnya.
Dia merias diri sedemikian rupa agar tidak terlihat begitu kusut. Dia akan menemui dewan guru dan kepala sekolah. Mereka bilang ada yang perlu dibicarakan tentang Zoya dan Aura pikir pasti bukanlah hal yang kecil.
Sampai di sekolah Zoya, seorang guru pendamping mengajak Zoya ke ruang belajar yang berbeda dengan ruang belajar biasanya.
Ruangan ini lebih kecil dan diperuntukkan bagi anak-anak yang privat atau butuh perhatian khusus, dari sana Aura sudah bisa menebak bahwa Zoya pasti sudah melakukan suatu kesalahan.
Dengan langkah yang kian pelan dan kepala tertunduk, Aura menuju ruang kepala sekolah. Sang ibu kepala sekolah dan satu guru yang merupakan wali kelas Zoya sudah menunggu dengan bibir tersenyum, bukan senyum lebar seperti biasa. Ini tampak senyum yang dipaksakan.
“Selamat pagi mama Zoya,” sapa wali kelas Zoya ramah.
“Pagi Bu,” balas Aura.
“Silakan duduk, dan ini diminum,” ucap kepala sekolah yang rambutnya tampak memutih.
“Terima kasih, Bu,” ucap Aura. Kedua orang itu saling tatap, lalu wali kelas Zoya membuka laptopnya setelah Aura meneguk sedikit teh manis hangat yang memang disediakan khusus untuknya itu.
“Pasti mama Zoya bingung kenapa kami bisa memanggil mama?” ucap sang ibu kepala sekolah.
“Iya Bu, sejujurnya saya khawatir,” ucap Aura.
Wali kelas Zoya menunjukkan sebuah video yang belum dia play, “Mam, sudah seminggu belakangan ini sikap Zoya sebenarnya cukup ... hmm membuat kami pun bertanya-tanya. Sejak awal masuk sekolah TK beberapa bulan lalu, memang kami lihat Zoya memilih-milih dalam berteman. Dia hanya mau berteman dengan anak yang memiliki mainan bagus, atau pakaian yang bagus, atau dia terkadang bertanya pekerjaan orang tuanya, awalnya kami pikir bahwa mungkin Zoya terlalu banyak menonton drama atau tayangan di konten video,” tutur sang wali kelas.
Aura memegang dadanya yang berdebar. Zoya?
Lalu wali kelas itu menambahkan, “Zoya juga selalu ingin berteman dengan yang memujinya, jika ada anak yang tidak suka padanya, dia akan menjauhinya dan terkesan memusuhinya. Tapi lagi-lagi kami berusaha maklum dan memberi pengertian lebih padanya, hingga seminggu belakangan dia mulai kasar. Dan ini ... ,” tunjuk sang wali kelas memutar video rekaman yang didapat dari kamera pengawas di ruangan itu.
Zoya terlihat beradu mulut dengan teman perempuannya, lalu sedetik kemudian tangannya menarik rambut temannya dan mendorongnya hingga terjatuh. Anak itu menangis, saat itu para guru tengah menyiapkan materi pelajaran, hingga kemudian semuanya menghampiri dan melerai. Zoya terlihat acuh dan tak mau meminta maaf.
Mata Aura memanas, dia tak pernah melihat Zoya bertindak kasar di rumah atau ... semua ini pasti ada hubungannya dengan apa yang dilihatnya.
“Hari ini, kami juga akan memanggil ibu dari temannya Zoya, yaitu mama Chaca untuk memberi penjelasan, karena ternyata rambut Chaca cukup banyak yang tercabut saat ditarik Zoya, kami berharap mama Zoya juga bisa menjelaskannya,” ucap sang kepala sekolah.
Aura mengangguk, dia siap jika harus menjelaskan pada wali murid itu, dia tahu Zoya telah berbuat kesalahan.
Tak berapa lama pintu diketuk seorang wanita yang tampak lebih tua dari Aura masuk, usianya mungkin berbeda sekitar delapan tahun dari Aura, penampilannya begitu elegan dengan setelan blazer yang tampak mahal. Rambutnya ditata rapih dan dari sepatu sampai tasnya terlihat memakai barang branded. Dia pasti bukan orang sembarangan. Aura memejamkan mata beberapa detik. Dia berpikir dalam hatinya bahwa tamatlah sudah riwayat dia hari ini!
***