Terlambat

1066 Words
"Mau kemana?" tanya Rey saat melihatku bersiap untuk pergi. "Aku kerumah mama dulu. Semalam ada telpon katanya papa masuk rumah sakit," jawabku lalu merapikan dasi Rey. Tangan Rey meraih pinggangku lalu ia mengecup keningku dengan mesra. "Hati-hati di jalan! Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Pekerjaan sedang banyak akhir-akhir ini." "Aku mengerti. Lagi pula kau bekerja untukku." Rey mengecup bibirku sekilas, "terima kasih atas pengertianmu, sayang." "Hm, pergilah! Aku akan naik ojo saja," jawabku sambil tersenyum. Andai aku bisa menumbuhkan cinta untuknya. Rey begitu baik padaku.  Selepas kepergiannya, aku segera memesan ojol. Sebenarnya aku agak ragu pergi ke ruamah sakit, aku khawatir bertemu dengan Harry. Tapi demi Papa, aku harus berusaha untuk mengenyahkan rasa khawatir ini. Bisa saja kan Harry tidak ke rumah sakit hari ini.  Mungkin macet tidak terlalu parah hingga ojol yang ku pesan tiba lebih cepat. Membuatku bisa sampai di rumah sakit dengan segera. Kulihat Mama sedang duduk di pinggir ranjang menemani Papa yang nampak tetidur. "Sendirian, Cha?" tanya Mama saat melihatku masuk ke ruangan.  Aku duduk di kursi pinggir ranjang. "Iya, Ma. Mas Rey sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda katanya. Maaf ya, Ma?" jawabku. "Iya, tidak apa-apa. Tapi Rey tahu kamu ke sini?" tanya mama lagi, tangannya membetulkan selimut papa yang agak tersingkap. "Dia tahu kok, aku ijin dulu tadi. O ya, Ma. Papa sakit apa?" "Asam lambungnya naik lagi, Cha. Papamu bandel, susah diatur pola makannya." "Iya sih, tapi mau gimana lagi. Yang penting Papa bisa cepat pulih sekarang. Yang menangani Papa siapa, Ma?" Baru saja Mama hendak menjawab, seseorang masuk ke ruangan. Mataku membulat sempurna. Harry? Dia lagi?! Ya Tuhan, semoga saja dia tidak berbuat gila yang membuat Mama curiga.  Meskipun aku sangat mencintai Harry, tapi aku tidak bisa mengkhianati Rey lagi. Rey pria yang baik. Tak pantas kukhianati. "Bagaimana keadaannya?" tanya Harry. Ekor matanya melirikku. Sungguh, lirikannya mampu menggetarkan seluruh urat sarafku dan membangkitkan perasaan yang bertahun-tahun kupendam untuknya. "Sekarang sudah agak membaik, Dok. Malah bisa tidur dengan pulas," jawab Mama. "Syukurlah. Ah, ada Icha juga? Apa kabar, Cha?" tanya Harry sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku diam. Tuhan, jangan lagi! Jangan sampai aku terbuai lagi dengan cinta ini. "Cha, kamu kenapa?" tanya Mama yang melihatku hanya diam menatap uluran tangan Harry. Seakan sadar, aku menerima uluran tangan Harry, "saya baik, Dok," jawabku pelan. Tangan Harry agak dingin. Dia meremas pelan telapak tanganku mengirimkan gelenyar aneh dalam diriku. Buru-buru aku melepaskan tangannya. Kulihat bibir Harry tersenyum kecil. "Nyonya, ini resep obatnya. Bisa Anda ambil di tempat obat," ucap Harry lalu meninggalkan kami. Aku menarik nafas lega. Akhirnya Harry pergi. "Cha, ambilkan obatnya, ya? Mama khawatir Papa bangun dan mencari Mama. Papamu suka manja kalau lagi sakit begini." "Oh ya, baik, Ma." Aku keluar dari ruangan menuju pengambilan obat. Menyerahkan resep pada petugas lalu duduk menunggu panggilan. "Cha!" Seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, nampak Harry tersenyum padaku di ujung koridor rumah sakit. Tuhan, kuatkan hatiku. Jujur saja, aku juga merindukannya. Tapi status kami tak membolehkan rasa ini untuk bersua. Aku hanya menatapnya dari jauh. Ya dia sangat jauh dari jangkauanku. Mungkin selamanya aku hanya bisa menatapnya dari sini. Mengingat pertama kali aku jatuh hati padanya, mau tidak mau membuat bibirku melengkungkan senyuman. Harry melambaikan tangannya padaku. Seakan tak sadar, aku mengangkat tanganku membalas lambaian tangannya.  Di luar dugaan, seseorang menghalangi wajah Harry. Perlahan wajah Harry tertutup wajah lain. Dan wajah itu..., Rey. Ya, dia Rey. Datang dan menghampiriku.  "Hai, sedang mengambil obat?" tanya Rey, lalu mengecup keningku. Kebiasannya jika ia pulang kerja. Ekor mataku melirik tempat Harry berada. Dia masih ada ternyata. Sorot matanya menyiratkan tidak suka. Bolehkah kunamakan dengan tatapan cemburu? "Ah, ya. Katanya kamu sibuk?" tanyaku. Sesekali mataku melirik tempat Harry masih menatapku. "Aku usahakan untuk datang kemari. Papa mertuaku sakit, dan itu lebih penting dari pekerjaanku," jawab Rey, lalu ikut duduk bersamaku. "Terima kasih," jawabku. "Kamu lihat apa sih?" tanya Rey lalu ikut menoleh ke arah tatapanku. Aku cemas jangan sampai Rey tahu! "Ah, tidak. Hanya rasanya aku melihat seseorang yang kukenal," jawabku asal. Beruntung Harry sudah tak ada di sana. Akhirnya setelah menunggu beberapa menit, aku bisa mengambil obat Papa. "Kondisi Papa bagaimana?" tanya Rey yang berjalan beriringan denganku. "Papa sudah sedikit membaik. Semoga saja bisa cepat pulang." "Ah, ya syukurlah, aku senang mendengarnya." Kami masuk ke ruangan. Papa sudah bangun san nampak sedang makan. "Ini obatnya, Ma. Papa kenapa?" tanyaku lalu menghampirir Papa yang sedang disuapi Mama. "Penyakit lama, biasalah! Nanti juga membaik," jawab Papa dengan nada santai. "Papa harus jaga kesehatan dong, jangan bikin aku khawatir!" ucapku lagi. "Kamu ini, sejak jadi pengantin jadi jarang main ke rumah. Papa sakit baru bisa ketemu, ya kan?" Rey menggaruk kepalanya yang tak gatal, "maaf, Pa. Belakangan ini aku agak sibuk." "Iya, Papa tahu.  Cuma bercanda kok," jawab Papa sambil tersenyum.  "Cha, beliin Mama makan gih!" ucap Mama. "Mama belum makan?" tanyaku. "Iya, dari kemarin Mama belum makan. Selera makan Mama hilang. Tapi melihat Papa membaik, laparnya baru terasa," jawab Mama yang disambut gelak tawa Papa. "Mamamu tuh, pake ikutan mogok makan segala!" "Oke, deh. Icha keluar dulu ya? Mas aku keluar dulu ya?" "Aku temenin?" "Eh, Rey! Di sini aja, Papa pengen ngobrol sama kamu," cegah Papa. "Kamu gak apa-apa sendirian, Cha?" tanya Rey. "Gak apa-apa, dia biasa pergi sendiri kok, jangan dimanja," jawab Papa. "Dih, Papa kok gitu?". "Pergi sana! Mamamu lapar tuh, Papa masih kangen ngobrol sama mantu," jawab Papa lagi. "Ya udah, Icha pergi dulu ya?" Aku keluar dari ruangan. Menyusuri koridor rumah sakit. Untuk mempercepat, aku memilih jalan belakang. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku ke sebuah ruangan yang agak gelap. "Aa-hmph!" Teriakanku terputus. Bibirku dibungkam oleh sesuatu yang hangat dan basah. Mataku membulat saat sadar siapa yang sedang menikmati bibirku. "Do-dokter!" ucapku terkejut. Harry langsung meletakkan telunjuknya di bibirku.  "Ssst, diamlah! Aku benci melihatmu dengan pria tadi!" bisiknya pelan.  "Dia..., suamiku," jawabku sambil memalingkan wajah ke arah lain. "Aku tahu. Dan aku benci itu. Cha, bisakah kita menyalurkan perasaan yang menyiksa ini?" "Maksudnya apa?" Bodoh! Aku tahu maksud pria di depanku. Tapi aku tak bisa. Kulihat rahang Harry mengeras, ibu jarinya menyusuri permukaan bibirku yang ia nikmati beberapa detik yang lalu. "Semua ini, perasaan ini, sungguh menyiksaku, Cha. Dan sialnya semua diperparah saat aku tahu bahwa kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku." "Dokter, aku mohon! Jangan membuat semua makin buruk," ucapku pelan.  "Kamu tahu apa yang lebih buruk?" "Apa?" "Kita hidup dengan orang lain sedang hati kita mendamba satu sama lain. Apa itu tidak lebih kejam, Cha? Kamu tidak mencintainya kan? Begitu juga denganku. Aku juga tidak pernah mencintainya, Cha. Aku hanya menginginkanmu!" "Tapi..., semua itu sudah terlambat," jawabku perih. Ya, begitu besar perasaanku untuk Harry, lalu semua itu harus kukubur sendiri. Mungkin aku bodoh. Memilih diam saat aku mulai merasakan cinta untuk Harry. Hingga takdir membuat rasa ini jadi terlarang. Harry tidak menjawab, ia hanya membawaku dalam pelukan eratnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD