Malam pertama

1024 Words
Sentuhan itu masih membekas hingga saat ini. Apa maksudnya Herry melakukan itu? Apa dia ingin menggodaku? Atau apa? Ah, memikirkannya saja membuatku bingung. Atau jangan-jangan, Herry merendahkanku? Bahwa aku adalah wanita murahan yang gampang disentuh begitu saja? Apa dia tidak memakai perasaan saat menciumku? Bodohnya aku malah menikmati ciuman panasnya itu. "Jadi istri saya sudah boleh pulang, Dok?" Tanya Rey pada Herry yang selesai memeriksaku. Wajahnya biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa di antara kami. Lalu tadi apa? Kenapa dia menyentuhku sejauh itu? "Tentu saja, boleh. Tapi setelah habis obat ini, istri Anda harus kontrol sekali lagi. Semoga saja setelah itu dia bisa sembuh. Dan Anda harus bisa memastikan istri Anda jangan sampai kelelahan." "Ya, tentu saja, Dok. Terima kasih, kalau begitu saya pamit." Aku dipapah oleh Rey menuju mobil. Rey begitu baik, aku jadi merasa bersalah telah mengkhianatinya. "Kamu mau makan lagi?" tanya Rey sambil sibuk menyetir. "Tidak, aku masih kenyang." "Ah, ya sudah kita pulang saja." Kami sampai di rumah Rey. Ah ya, setelah menikah, Rey langsung memboyongku ke rumah pribadinya. Meski orang tuaku meminta untuk tetap tinggal dulu di rumah mereka selama beberapa hari, tapi Rey tetap membawaku pindah. Alasannya karena dia mau membebani orang tua setelah menikah. Rey bertanggung jawab atas semua kebutuhanku termasuk memberiku rumah. "Ayo!" Ajakan Rey membuyarkan lamunanku. Kami masuk ke dalam. Rumah ini hanya satu lantai. Tapi cukup luas untuk kami yang baru berumah tangga. "Kamu ngantuk?" tanya Rey. Ia membawaku ke kamar utama kami. Rupanya Rey sudah menpersiapkan semuanya. Kamar ini sudah dihias sangat romantis dengan banyak bunga mawar di ruangan. "Aku mau mandi. Badanku rasanya sangat lengket," jawabku. "Bisa jalan sendiri? Atau mau kubantu?" tanya Rey lagi. "Aku bisa sendiri," jawabku. Yang benar saja, masa dia mau membantuku mandi? Meski kami sudah sah menikah, tapi aku masih canggung. Apalagi kami menikah karena dijodohkan. Setidaknya kami belum mengenal lebih jauh satu sama lain. Rey tersenyum, "mandilah kalau begitu, jika butuh apa-apa, kamu bisa memanggilku," jawabnya lagi. Aku hanya mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Badanku rasanya lebih segar setelah mandi air hangat. Saat keluar dari kamar mandi, Rey tidak ada. Mungkin dia keluar. Ah terserah, sekarang aku mau tidur. Sekitar 30 menit mataku terpejam. Dan terbangun saat aku mendengar suara gemericik air. Mungkin Rey datang dan mandi.  Ini malam pertama kami. Apa yang akan terjadi? Apa aku akan melakukannya dengan Rey? Padahal kami belum saling mencintai? Tapi jika aku menolaknya, aku tak tega. Bukankah aku istrinya? Sudah kewajiban istri melayani suaminya kan? Kurasakan kasur yang aku tempai bergerak. Apa Rey sudah selesai mandi? Mataku masih tertutup. Mungkin aku sedikit takut. Ya, tentu saja. Sebab aku masih gadis. Bagaimana jika Rey meminta haknya padaku malam ini? Aku terpekik kaget saat sebuah kecupan mendarat di keningku. "Kamu kaget? Maaf," ucap Rey sambil menatap kedua mataku. Entah sejak kapan badan besarnya kini sudah berada di atasku. "Ma-maaf, aku kaget," jawabku pelan. Antara gugup dan takut. Ibu jari Rey menyusuri wajahku, lalu mengusap lembut permukaan bibirku dengan menggoda. "Aku tahu kamu belum tidur," ucapnya dengan suara serak. "Y-ya," jawabku pelan. Rey membuatku tak karuan. Dia masih mengusap bibirku. "Apa kau mencintaiku?" tanya Rey sambil menatapku intens. "Aku tidak tahu," jawabku. "Kita memang dijodohkan. Apa kamu pernah membaca cerita perjodohan?" "Hm," "Mereka tidak bermalam pertama dengan alasan belum ada cinta." "Ya." "Dan aku pengecualian atas semua itu." "Apa maksudmu?" "Ya, meski kita menikah karena perjodohan. Tapi aku berniat menjadikanmu yang terakhir dalam hidupku, Icha. Dan aku tidak sekuat pria dalam novel-novelmu yang menahan diri agar tidak menyentuh pengantinnya." "Kamu..." "Ya, aku akan meminta hakku sekarang," "Tapi, aku hemmpp..." Rey langsung melumat bibirku pelan. Mengecap dan menjilatnya bagai es krim vanilla yang memanjakan lidahnya. Aku masih diam. Apa yang harus kulakukan?! Rey mengunci kedua tanganku dengan tangannya. Bahkan dia mulai menggigit bibirku pelan dan sangat lembut. Jauh berbeda saat Herry menyentuhku dengan terburu-buru. Gigitan Rey membuatku membuka mulut. Rey menelusupkan lidahnya dan membelit lidahku. Bahkan menghisapnya berkali-kali. Kurasakan Rey perlahan membula tali bajuku. Dengan sigap, tanganku yang tak ditahan segera mencegahnya. Tapi tangan Rey kembali mengunciku. Dan ia berhasil membuka bajuku. Bibir panas Rey perlahan turun menuju leher jenjangku. Ia membuat banyak bercak di sana. Aku mengerang pelan. Rey benar-benar membuatku terbakar gairah. Aku berusaha mencegah tangaannya yang mulai mengeksplor bagian bawah tubuhku. Tapi apa daya, eranganku malah membuat Rey menggila. Tangan Rey bahkan sudah masuk ke belakang dan melepas bajuku dengan sekali tarikan. Sial! Kebiasaanku saat tidur tidak memakai bra membuatku jadi telanjang di depannya. Tatapan Rey menggelap. Dia langsung menikmati pemandangan di depannya. Telapak tangan lebarnya meremas pelan dan sesekali bibirnya yang asyik bermain di lidahku itu turun mengecap mainan para bayi itu. "Bersiaplah, sayang!" ucap Rey lalu membuka bajunya sambil masih menindihku. Aku terengah akibat ulahnya. Antara menolak dan mendamba. Hatiku menolak sebab aku tidak mencintainya. Tapi sentuhan panasnya berhasil membuatku terbakar dan malah mendambakannya lagi. Tubuhku sukses mengkhianati suara hati yang berteriak minta berhenti.  Rey mulai melesak paksa ke dalamku. Aku menjerit kecil. Rasanya sangat sakit. Rey menutup mulutku dengan bibirnya. Menciumku dengan lembut. "Tahan sedikit, sebentar lagi!" Ucap.Rey di sela ciumannya. Lalu semuanya berubah. Setelah rasa sakit itu, Rey membawaku pada pusaran gelombang gairah yang tidak kumengerti. Rasanya kami tidak bisa berhenti. Dan sialnya, setiap Rey menciumku, bayangan Herry terus menari di benakku. Hingga Rey memelukku dengan sangat erat, ia mengerang pelan. Ya, kami mencapai puncak bersama-sama. Aku tidak tahu, apa aku kejam, sebab saat puncak rasa nikmat itu datang, wajah Rey nampak seperti wajah Herry di mataku.  Apa aku terlalu mencintai dokter muda itu? Entahlah, aku tidak tahu. Bahkan setiap Rey menyentuhku, yang ada di benakku adalah Herry. Dia seolah menjadi hantu yang memenuhi pikiranku saat ini. "Terima kasih," bisik Rey, lalu ia ambruk di atas tubuhku. Kami berkeringat hebat. Ruangan juga terasa sangat panas. Aku hanya diam saat Rey mengucap terima kasih. Haruskah aku juga minta maaf karena memikirkan pria lain saat kami bercinta tadi? Rey tidur dengan pulas sambil memelukku erat. Aku hanya diam dan menatap lengan kekarnya yang melingkar di pinggangku. Maaf Rey, seandainya aku bisa melenyapkan perasaan ini pada Herry dan mengalihkannya padamu. Tapi aku sungguh tak berdaya. Herry masih menguasai otak dan pikiranku. Entah sampai kapan aku berhenti memikirkan Herry. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD