Menikah

1222 Words
Pernikahan adalah hal sakral yang paling ditunggu-tunggu. Impian dan puncak cita-cita semua pasangan kekasih. Dan aku juga mempunyai mimpi yang sama. Mimpi tentang indahnya berjalan bersama pria yang kucintai. Tentang cincin indah yang disematkan pada jari manisku. Tentang janji sehidup semati apapun yang terjadi. Tentang kesanggupan seorang pria yang akan menjagaku hingga habis sisa umurnya. Tapi kadang hidup tak seindah yang dibayangkan. Mimpi tak selalu menjadi kenyataan. Aku menikah, tapi bukan tentang pernikahan yang sesuai dengan mimpiku. Menikah hanya untuk mengurangi beban orang tuaku. Aku berpikir, dengan menikah, maka berkuranglah beban biaya hidup orang tuaku. Ah iya, sampai lupa. Namaku Rumaisha. Orang biasa memanggilku Ica. Nama yang singkat, seperti halnya kisah perjalananku dengan pria yang menjadi suamiku. Ya, aku dijodohkan. Mungkin bagi sebagian orang, dijodohkan adalah hal yang tabu dan kebanyakan melakukan penolakan. Semacam beralibi bahwa ini bukan jamannya Siti Nurbaya. Tapi tidak denganku. Aku dijodohkan. Dan aku menerimanya. Kenapa? Entahlah, mungkin semacam rasa menyerah pada keadaan. Bukan karena tidak ada pria yang mau padaku. Hanya saja, aku terlanjur menyukai satu pria dan patah hati karenanya. Sakit? Tentu, sangat malah. Tapi aku tidak bisa terpuruk pada ratapan sakitnya patah hati secara terus menerus bukan? Meski rasanya sangat sakit, tapi aku tidak bodoh. Patah hati bukan akhir dari segalanya. Hidup terus berjalan meski aku terus meratap sedih. Maka kuputuskan untuk melanjutkan hidup. Menikah. Ya, aku akan menikah. Dengan pria yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Dan itu bukanlah hal yang buruk kurasa. Aku hanya harus belajar menerimanya. Dan aku yakin, seiring berjalannya waktu, rasa itu akan tumbuh. Lebih jauh lagi, aku berharap rasa sayang yang tumbuh mampu menghapus rasaku yang tak tersampaikan. Ya, aku menyukai satu pria yang mustahil membalas rasaku. Aku menyukainya sejak berseragam putih-biru. Waktu yang cukup lama bukan? Cukup untuk membuat perasaan ini tak mampu berpaling pada yang lain. Tapi, aku sadar dan cukup tahu diri. Dia terlalu jauh. Karena itu, aku mundur sebelum berperang. Tak ada yang tahu tentang hatiku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang perasaan ini. Hingga akhirnya aku merasakan sakit saat melihat dia menikah dengan wanita pilihannya. Mungkin aku bodoh, memilih diam dan menyimpannya sendiri. Bahkan air mata pun kusembunyikan dari semua orang. "Cha, ayo keluar! Penghulunya sudah datang." Suara Mamah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dan bergegas keluar. Benar ternyata, semua sudah hadir. Dan semua pandangan tertuju padaku. Tak terkecuali dengan pria yang duduk di samping Ayahku. Ya, pria yang beberapa menit lagi akan menjadi suamiku. Reyhan. Usianya 7 tahun lebih tua dariku. Dia mengucap ijab kabul di depan semua orang. Terdengar ucap syukur dari hadirin saat kami sah menjadi suami istri. Aku mencium punggung tangannya.  Bibirku mengulas senyuman saat Rey mengecup keningku dan berbisik di telingaku. "Terimakasih, sudah bersedia menjadi istriku." Ada yang pernah bilang bahwa hal paling mendebarkan dalam hidup adalah saat akad pernikahan. Tapi aku sedikit meragukan hal itu. Sebab, aku tak merasakannya. Rasanya biasa saja. Hanya ada perasaan bahwa statusku berubah. Kebebasanku sedikit berkurang. Dan tugasku bertambah. Ya, tugas sebagai istri, bahkan bukan tak mungkin suatu saat akan menjadi seorang ibu. Pernikahanku digelar secara sederhana. Hanya kerabat saja yang hadir. Alhasil, acaranya tidak lama. tepat jam satu siang, semua tamu sudah pulang. Rey memperlakukanku dengan sangat baik. Meski kami tidak berpacaran sebelumnya, tapi ia sangat menghormatiku. Dan hal inilah yang juga membuatku menerimanya. Ya, dia pria baik. "Manten baru kok masih di sini? Belum masuk kamar?"  Aku hanya tersenyum menanggapi candaan omku, Holis. Rey merangkul bahuku dan tersenyum.  "Kami baru mau masuk kamar, Om!" "Wah, Om ganggu rupanya, ya? haha." "Eh, tidak kok, Om. Mumpung di rumah Mamah masih banyak makanan, jangan dulu pulang! Gak tiap hati lho?" Om Holis tertawa, "haha, kamu benar! Jarang-jarang banyak makanan enak seperti ini. Eh, Om mau nambah lagi ke belakang ya? Kalian cepatlah buat Rey Junior ya? Ah, atau Icha Junior juga Ok, tapi manjanya jangan ya?" "Hei, jangan menjelekkanku di depan Rey!" "Bener lho, Rey! Icha tuh manja banget, ke kamar mandi aja minta dianter!" "Om udah ih, nyesel deh larang Om pulang!" ucapku sambil melotot ke arahnya. "Haha, Kabuur....!" Aku melirik Rey yang tertegun menatapku. "Kenapa, Mas?" "Gak apa-apa, aku cuma baru tahu, ternyata kamu bisa bercanda juga ya?" Aku tersenyum garing. Ya, ya. Dia benar. Selama proses perjodohan hingga pernikahan kami, aku jarang bahkan nyaris tidak pernah bercanda dengannya. Selalu dalam mode serius. Tiba-tiba saja kepalaku terasa sangat berat. Ah, aku lupa, dari pagi aku belum sarapan. Rey menatapku khawatir, "kamu kenapa?" Aku berusaha mengabaikan rasa pusing itu dengan menggeleng kecil, "tidak apa-apa. Mungkin hanya butuh istirahat sebentar." Tapi setelah itu mataku berkunang-kunang, lalu gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi, hingga aku mencium bau obat khas rumah sakit di sekitarku. Mataku perlahan terbuka. Apa ini benar-benar di rumah sakit? "Aku di mana?" bisikku pelan. "Kamu di klinikku," suara seseorang terdengar di sampingku. Suara itu! Ya, suara seseorang yang selama ini mengisi hatiku. Menciptakan debaran keras jantungku. Apa ini mimpi? Tangan seseorang mengelus pipiku lembut, "jangan sakit, kumohon!" "Aku ada di klinik Anda?" Ya, ini nyata dan bukan mimpi! Dokter itu! Dr. Herry. Dia yang selama ini mampu memporakporandakan dunia merah jambuku.  "Ya, suamimu membawamu kemari." "Rey? Di mana dia?" "Suamimu sedang keluar untuk makan siang." Mataku melirik telapak tangannya yang masih menempel di pipiku. Aku yakin, suhu sekitar pipiku mulai memanas. "Kenapa? Kamu keberatan?" Aku diam. Ini menyenangkan. Dia menyentuhku! Tapi ini salah bukan? "Aku ... " "Shh, diamlah! Aku sedang memastikan sesuatu." "Apa?" "Kau sudah lama menyukaiku?" "Aku ... " "Katakan dengan jujur, sejak kapan?" Sumpah, aku tak bisa berbicara lagi! Apa aku harus jujur? Tapi status kami ... "Katakan Icha!" Dia tidak melepaskan telapak tangannya. Malah menangkup kedua pipiku yang memanas. Kedua ibu jarinya mengusap pelan, menciptakan desiran hangat di hatiku. Aku tidak mampu menjawab, tanpa bisa kucegah, rasa indah dan sakit itu datang lagi. Ya, indah tapi sangat menyakitkan. Hingga butiran bening keluar dari kedua pelupuk mataku. "Icha, bicaralah!" Bibirku terkatup rapat, pelan akhirnya aku mengangguk tanpa membuka mataku sedikit pun. Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Aku tak sanggup melihat reaksinya. Apa dia akan menertawakanku? Mengejekku? Oh, tentu saja. Bagai upik abu yang memimpikan seorang pangeran! Hanya ada di negeri dongeng! Selang beberapa detik, tidak ada suara. Telapak tangannya juga masih betah di pipiku. Dan tanpa di duga, dia melakukan hal gila. Tiba-tiba saja, dia melumat bibirku dengan kasar dan terburu-buru. Aku membelalak kaget tentu saja. Tanganku meronta dan dengan sigap dia menahan kedua tanganku dengan tangannya. "Dok, hmph ... " Dia mencuimiku lagi dan lagi. Apa ini ya Tuhan?! Pria yang bertahun-tahun kucintai dalam sunyi tiba-tiba saja menyentuhku dengan sangat menggebu-gebu. Bahkan saat suamiku sendiri belum menyentuhku! Setelah lima menit, dia menghentikan aksinya. Ibu jarinya mengusap bibirku yang bengkak dan memerah. Lalu wajahnya menjauh dariku. Tepat saat pintu kamar terbuka. Rey datang dengan senyuman khasnya. "Sudah bangun?" "Ya, dia hanya kurang istirahat. Lain kali, pastikan dia tidak telat makan dan mendapat istirahat yang cukup," ucapnya lalu keluar dari kamar. Aku masih shock dengan apa yang terjadi beberapa detik yang lalu. Rey menatapku cemas. "Kamu baik-baik saja, kan?" Aku masih diam. Lalu meraba pelan bibirku yang tadi disentuh  Herry. Ya Tuhan, debarannya masih terasa! Rey mendekat dan mengecup pelan bibirku. "Maaf, tadi aku makan siang dulu. Ini makanlah!" Bahkan kecupan Rey tidak meninggalkan desiran apapun di hatiku. "Ya, aku akan makan," jawabku kaku. Entah apa yang akan terjadi besok jika Rey tahu istrinya dicium sepanas itu tadi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD