Gerimis Hujan

1117 Words
Sejak kabar kehamilan Nine, aku tidak ingin lagi tahu tentang Harry. Ya, aku yakin pria itu juga sudah melupakanku. Sudahlah, aku harus secepatnya mengubur semua rasaku untuk Harry. Bukankah aku memiliki cinta Rey? Bukan tak pernah aku melihat Harry. Hanya saja, setiap kali kulihat Harry hampir berpapasan denganku, aku selalu menghindar. Mungkin ini lebih baik bagi kami. Biarlah apa yang pernah kami rasakan hanya ujian kecil bagi rumah tangga masing-masing. Toh, Harry sudah bahagia dengan Nine bukan? Aku juga mulai belajar mencintai Rey. Meski masih terasa sulit menghilangkan bayangan Harry di pikiranku. Tapi setidaknya, aku setia secara lahir. Sebab untuk urusan hati sungguh tidak bisa dipaksakan. Rey makin bersikap baik padaku. Ia juga sangat perhatian. Setiap kali belanja kebutuhan rumah tangga, Rey selalu mengantarku. Ia jelmaan dari suami siaga. Seperti hari ini, Rey mengantarku membeli kebutuhan rumah tangga kami. Setiap awal bulan, aku selalu membeli stok peralatan mandi dan bahan makanan. Rey membawa dua jinjingan yang berisi belanjaan hari ini. "Kita makan siang dulu," ucapnya lalu masuk dalam mobil. "Boleh. Mau dimasakin apa?" tanyaku sambil memasang sabuk pengaman. "Hari ini kita makan siang di luar, yuk?" ajaknya. Aku hanya mengangguk kecil. Rey membawaku ke sebuah restoran ala eropa. Hari libur seperti ini restoran sangat ramai. Banyak pasangan muda mudi yang datang. Wajar sih, restoran ini benar-benar menciptakan suasana yang romantis. Rey memilih meja yang paling ujung. Cukup nyaman dan lebih privasi. "Mau makan apa?" tanya Rey sambil menyusuri buku menu. "Terserah kamu. Aku penyuka semua jenis makanan." "Oke," ucapnya. Makanan di sini ternyata sangat lezat. Menyajikan makanan khas negara-negara eropa namun pas untuk lidah Indonesia. Melihatku makan dengan lahap, Rey tersenyum senang. "Kamu suka?" "Ya, makanannya enak." "Aku senang kamu menikmatinya," ucap Rey lagi. Aku mengangguk dan tersenyum. Rey hendak bicara lagi, tapi urung saat ponselnya berdering. "Aku angkat telpon dulu," ucapnya meminta izin. Aku mengangguk lagi. Beberapa menit kemudian, Rey kembali. "Tanteku melahirkan. Sekarang dia di rumah sakit." "Apa kita akan menengoknya?" "Ya, tentu saja. Ayo!" Aku mengikuti langkah Rey yang sedikit tergesa-gesa. Rey hanya punya satu tante. Sebab, ayah Rey hanya dua bersaudara dengan tantenya itu. Nampak keluarga Rey sudah berkumpul. Yah, tidak banyak. Hanya ada ayah mertuaku dan tentunya suami dari tantenya Rey. "Bagaimana keadaan Tante Gina, Pah?" "Kondisinya belum stabil. Ia memerlukan transfusi darah setelah melahirkan." "Biar aku saja yang mencari darahnya. Cha, kamu pulang dulu aja. Aku khawatir ini akan sedikit lama." "Oh, baiklah. Pah, aku pulang dulu," ucapku sambil mengangguk sopan pada ayah mertuaku. "Ya, hati-hati!" "Terimakasih, Pah. Mas, aku pulang dulu," pamitku pada Rey. "Aku antar dulu." "Tidak perlu, aku bisa naik taksi." "Apa kau yakin?" "Ya, tentu saja. Pergilah, Tante Gina lebih membutuhkanmu saat ini." Rey maju dan mencium keningku, "Terimakasih," bisiknya pelan. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah mendapat izin, aku pulang. Beruntung barang belanjaan sudah ada di mobil Rey. Jadi aku tidak kerepotan. Tatapanku tertuju pada halaman rumah sakit. Semuanya basah. Sepertinya tadi hujan. Aku menunggu di depan. Barangkali ada taksi lewat. Hujan turun lagi. Bahkan semakin deras. Mungkin taksi akan datang sebentar lagi. Pegal berdiri, akhirnya aku jongkok. Lama juga. Ekor mataku melirik sebuah mobil yang mendekat. Sedikit agak was-was karena sepertinya aku mengenal pemilik mobil itu. "Masuklah, Cha!" teriak seseorang dari dalam mobil. Aku terkesiap kaget. Bukankah itu Harry?! Tidak! Aku tidak bisa! Tidak boleh! Mungkin aku harus lari. Ya, lari. Bertemu dengan Harry berakibat buruk pada usahaku untuk melupakannya. Aku berlari di tengah hujan. Aku tidak peduli jika sekujur tubuhku kini basah kuyup. Aku sudah berjanji pada Nine dan Rey. Bahwa aku tidak akan menemui Harry lagi. Setelah yakin mobil Harry tak terlihat lagi, aku duduk di atas rerumputan. Hujan semakin lebat. Tuhan, jika yang kulakukan ini benar, tolong aku! Hapuskan semua rasa terlarang ini! Aku menangis di tengah guyuran hujan deras. Entah kemana hujan gerimis yang selalu kusukai. Hujan yang tenang dan damai telah hilang. Yang ada hanyalah badai. Ya, badai. Aku tidak boleh terbuai dengan badai. Tubuhku mulai menggigil. Aku tahu, mungkin ini hukuman bagiku yang sangat lemah dalam memusnahkan semua rasa ini. Aku tidak bisa! Semakin aku berusaha, rasa itu makin menyiksa. Tetesan hujan mengguyur seluruh badanku. Seakan menyadarkanku jika hujan gerimis bersama rindu telah berubah menjadi badai. Sangat menyakitkan! Saat aku menunduk, tiba-tiba guyuran hujan itu hilang dari kepalaku. Bukan! Hujan bukan reda, tapi aku yakin seseorang telah melindungiku dari badai. Aku mengarahkan padanganku ke depan. Sepasang kaki berdiri kokoh di hadapanku. Alangkah terkejutnya aku saat mendongak, seseorang tengah tersenyum sambil memayungiku. Tangannya terulur ke depan mataku. "Bangunlah! Aku tidak mau kau sakit," ucapnya. Sesaat aku terpana dalam pesona cinta yang membuai. Beberapa bulan tak bersua membuatku sedikit membiarkan hati memberi ruang pada rindu yang terasa sendu. Tapi itu tak lama, aku segera sadar bahwa ini tak semestinya. Aku menggeleng cepat. Lalu bangun dan hendak meninggalkannya tanpa sepatah kata. "Tunggu!" Satu tangan menahan lenganku. "Maaf, aku harus pergi," lirihku di sela tangis. "Cha, kumohon! Ikutlah denganku! kau bisa sakit! Jangan egois!" "Jangan pedulikan apapun lagi tentangku!" Aku terus melangkah meninggalkan Harry dengan payungnya. "BAIKLAH! JIKA KAU MEMBIARKAN DIRIMU KEHUJANAN, MAKA AKU JUGA SAMA!" Teriakan Harry membuat langkahku terhenti. Apa dia gila? Harry benar-benar membiarkan dirinya terguyur hujan! Aku berlari ke arahnya dan segera mengambil payung yang ia lempar begitu saja. "Jangan gila! Kau bisa sakit!" Aku memasang payung itu untuknya. Tapi Harry menepisnya hingga payung itu terjatuh lagi. "Aku tidak akan mendengarkanmu jika kau sendiri tidak menghiraukanku," ucap Harry sambil menatapku tajam. "Aku tidak bisa melihatmu sakit lagi, Harry!" teriakku frustasi. Sungguh, mengingat Harry yang terbaring koma selama berminggu-minggu itu sangat menyakitkan! "Aku merindukanmu, Cha!" teriak Harry di tengah derasnya suara hujan. "Sudahlah, Harry! Hentikan semua ini! Apa yang kita rasakan hanya akan menjadi badai!" Aku berbalik dan segera pergi meninggalkan Harry. Tak ada gunanya aku mengkhawatirkan Harry. Semuanya malah memperburuk rasaku untuknya. Namun langkahku terhenti. Sepasang tangan memelukku dari belakang. "Jangan seperti ini, kumohon! Izinkan aku melepas rindu sebentar saja!" Mataku terpejam. Tuhan, kenapa cobaan ini begitu berat? Saat hati berlabuh pada tempat yang terlarang. Sungguh, aku tidak berdaya! Aku lemah! Harry membalikkan tubuhku hingga kami berhadapan. Aku tak sanggup lagi untuk melihat wajahnya. Bahkan tanganku berusaha melepaskan pelukan yang ia lakukan. Tapi apa daya, Harry mendekapku semakin merapat padanya. Hingga sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku membuka mata. Terkejut tentu saja. Bohong jika kukatakan aku tidak merindukannya. Harry juga nampak begitu menikmati sentuhannya. Meski aku tak membalas. Ia terus membasahi bibirku. Memberikan kehangatan. Sentuhan yang sarat akan kerinduan. Hingga membangunkan kepingan hati yang berusaha kumusnahkan. "Aku tidak akan menjadi badai. Tapi aku akan selalu menjadi gerimis hujan yang kau rindukan," ucapnya setelah kami hampir kehabisan oksigen. Gerimis hujan? Bukankah artinya rindu yang kami miliki tak pernah bertemu dengan ujungnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD