Kabar baik?!

1344 Words
"Jadi ini yang kau bilang menemui teman?" Aku terkesiap. Apa yang harus aku katakan? Cahyati yang lebih dulu menghampiri Rey. Ia menuntun tangan Rey dan membawanya keluar. Kudengar percakapan cukup keras di luar sana. "Cha, makasih ya, mau menemaniku di sini. Aku sangat payah ternyata," Harry tersenyum miris. Aku segera menghampirinya. Menatap Nine yang masih menggenggam erat tangan Harry. Seakan meminta izin dari yang punya. Nine mengangguk pelan. "Hei, kau telah berjuang untuk kembali, Harry! Lihat, ada Nine yang selalu setia menemanimu," ucapku sambil menahan tangis. "Aku tahu. Terimakasih, Nine!" bisik Harry. "Sudah menjadi kewajibanku. Bahkan apapun kulakukan agar kau kembali," jawab Nine sambil mengusap lembut rambut Harry yang hitam bergelombang. Harry seperti sangat nyaman dengan perlakuan Nine. Membuat hatiku sedikit tergores karenanya. Tuhan, singkirkan semua rasa yang bukan pada tempatnya ini. Tak seharusnya aku cemburu pada pasangan sah ini. Tak tahan dengan pemandangan di depanku, lebih baik aku pulang. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Rey sudah menjemputku." "Tunggu, Cha!" Aku berbalik lagi. Berusaha sekuat tenaga menepis semua rasa cemburu yang mulai menyerangku saat ini. Bibirku berhasil membentuk senyuman palsu. "Ya, kenapa, Nine?" sialnya, suaraku malah serak. "Aku berterimakasih untuk segalanya. Ku harap ini jadi ..." Ucapan Nine tergantung. Aku tahu kemana arahnya. "Ya, aku tahu. Ini akan menjadi hal terakhir yang membuatku berhubungan dengan Harry," jawabku tanpa menoleh Harry sedikit pun. Aku tahu Harry sedang menatapku. Tapi aku harus melepasnya. Tuhan, beri aku kekuatan! "Terimakasih," ucap Nine lagi. Aku mengangguk, tak sanggup lagi jika harus berbicara. Aku keluar dari ruangan. Oke, sekarang Rey. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mengumpulkan kekuatan. Kulihat Rey menunduk, menatap sepatunya. "Rey, maaf membuatmu menunggu," ucapku sambil mengelus lembut bahunya. Mataku membelalak tak percaya, Rey menepis tanganku dari bahunya. "Lepas, aku sedang ingin sendirian!" jawabnya tanpa menoleh padaku sedikit pun. Tuhan, maafkan aku! Aku bagai pendosa yang tak terampuni. Rey pergi meninggalkanku. Tubuhku melorot ke lantai, bahuku terguncang. Pecah sudah air mata yang kutahan sejak tadi. Perasaanku kacau. Entahlah, aku tidak tahu ke mana kakiku melangkah. Jika aku pulang ke rumah, Rey membenciku, jelas itu. Pulang ke rumah mama juga bukan hal yang baik, mereka tidak tahu apa-apa. Terlebih, gosip keretakan rumah tangga Harry dan Nine telah menyebar. Apa jadinya jika orang tuaku tahu bahwa akulah salah satu penyebab itu semua? Baiklah, ini hukuman yang harus kuterima. Mencintai pria lain saat statusku sudah menjadi milik orang lain. Rey pria baik. Ya, setidaknya dia memperlakukanku dengan sangat baik. Dia menghormatiku. Aku harus pulang padanya, hingga kata maaf bisa kudapatkan. Setelah itu, aku tidak peduli lagi jika ia menerimaku lagi atau tidak. Aku akan turuti semua keinginannya. Kuputuskan untuk pulang dengan memesan taksi online. Sepanjang jalan, otakku terus berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa mendapat pengampunan dari Rey. Pintu tidak dikunci. Ini artinya Rey ada di rumah. Aku mencarinya ke belakang. Nihil. Rey tidak ada di mana-mana. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika Rey terpuruk seorang diri lalu melakukan hal bodoh yang mencelakai dirinya? Pikiranku mulai kacau. Menerka apa sekiranya yang sedang Rey lakukan. Apa mungkin Rey mabuk seperti kebanyakan pria lainnya? Ah, atau mencari kepuasan di luar sana? Tidak! Itu tidak mungkin! Rey bukan pria serendah itu. Aku mulai mencari tahu di internet. Cara agar pria luluh. Baiklah, makanan. Aku akan memasak makanan kesukaan Rey. Kubuat paling istimewa. Aku juga berdandan malam ini. Kuharap usahaku tidak sia-sia. Jangan kira aku melakukan semua ini untuk memikatnya! Bukan, aku hanya ingin mendapat maaf darinya. Itu saja. Malam mulai larut. Rey belum juga pulang. Aku mulai cemas. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Ataukah dia begitu kecewa hingga memutuskan untuk meninggalkanku di sini? Inikah hukuman? Kenapa rasanya begitu menyiksa? Kutatap meja makan yang penuh dengan hasil masakanku. Mereka mulai dingin. Aku tersenyum miris, terlebih saat menatap diriku di cermin. Seperti orang bodoh. Tak terasa, airmataku meleleh lagi. Aku membuka baju yang kupakai. Mungkin aku memang tak pantas mendapat maaf. Aku kembali mengenakan piyamaku dan menghapus semua make up yang telah merias wajahku. Ternyata, saat pikiran tidak tenang, ngantuk sulit datang. Meski beberapa kali aku berusaha menutup mata, tetap saja aku masih terjaga. Ada satu hal yang membuatku mampu tertidur. Kau tahu apa itu? Ya, senyum Harry. Kejam memang, saat aku mengharap maaf dari Rey, pikiranku malah belum bisa membersihkan Harry seutuhnya. Hingga senyum itu mampu membuatku masuk ke alam mimpi. Memberikan rasa damai di hatiku. Mengukir mimpi indah saat mendambanya bukanlah sebuah larangan. Dekapan hangat membuatku makin hanyut bersama sejuta cinta yang kupendam. Harry, betapa aku mencintaimu. "I love you," bisikku sambil terpejam. Tunggu! Kenapa semua terasa nyata? Lengan kokoh benar-benar melingkar di perutku. "Love you too," bisik seseorang di belakangku. Memelukku makin erat. Aku membuka mata, benar, ini nyata. Aku berbalik, mataku hampir loncat keluar. Rey?! "Hai," sapanya sambil tersenyum. "H-hai, sejak kapan kamu pulang?" tanyaku. "Sejak kau tersenyum dalam tidurmu," jawabnya. Ia menyampirkan anak rambut yang menutupi wajahku. "Mau makan?" Rey mengangguk sambil tersenyum. Aku segera bangun dan mengikat rambutku. "Aku siapkan sekarang. Makanannya sudah dingin. Mau dihangatkan?" "Tidak perlu. Cukup temani saja," jawabnya. Aku menatap Rey makan. Ini sedikit aneh. Bukankah ia marah tadi siang? Kenapa sekarang seolah tak terjadi apa-apa? Mungkin harusnya aku senang. Karena Rey tidak marah lagi. Tapi jika seperti ini, malah makin merasa bersalah. Aku tidak suka jika ada permasalahan tanpa penyelesaian. Kubiarkan Rey menyelesaikan makannya dulu. Aku tidak mau pembahasan kami nanti malah menghilangkan nafsu makannya. Aku menyodorkan air minum untuknya. "Makasih, ya," ucapnya sambil tersenyum. "Ya, sama-sama." Aku harus memulai. Tapi darimana? Apa Rey akan marah jika aku bertanya lagi? Tapi, aku ingin mendapat kejelasan. Apa Rey memaafkanku? Kulihat Rey membuka ponselnya. Ada puluhan pesan yang kukirim siang tadi. Rupanya dia baru mengaktifkan ponselnya lagi. "Rey," ucapku pelan. "Ya?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Aku mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan, "Mengenai yang tadi siang, aku minta maaf." Rey diam. Ia berhenti memainkan benda pipih itu. Aku siap jika ia akan memarahiku sekalipun. Itu lebih baik daripada pura-pura baik-baik saja. "Sejujurnya, aku marah. Aku cemburu, Cha!" "Aku tahu, maaf!" lirihku. "Tapi apa kau tahu? Siang tadi, aku pikir sebaiknya aku meninggalkanmu saja. Toh, kamu masih mencintai pria itu." Ini sudah kuduga. Pergilah, jika itu membuatmu lebih baik. Aku tak apa, Rey! Jeritku dalam hati. "Tapi, baru beberapa jam saja, aku sudah merindukanmu, Cha. Aku tak bisa melepaskanmu. Maaf," ucap Rey. "Hey, kenapa kau yang minta maaf? Aku yang salah. Tak seharusnya aku membantu Harry saat itu." "Jangan sebut namanya di depanku!" ucap Rey tegas. "Oke, baiklah. Maaf, jadi apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku?" "Tetaplah bersamaku apapun yang terjadi. Itu akan membuatku merasa lebih baik." Aku mengangguk pelan. Mungkin takdirku bersamamu, Rey. Aku cukup berdoa semoga saja suatu saat cinta akan tumbuh di hatiku. *** Sebulan sudah aku tidak bertemu dengan Harry. Kehilangan? Tentu saja. Jauh di lubuk hatiku, aku masih merindukannya. Tapi aku harus berusaha keras menepis semua itu. Aku berusaha menikmati kehidupanku yang sekarang. Menjadi istri yang baik untuk Rey. Orang tuaku juga senang melihat rumah tangga putrinya nampak bahagia. Meski setiap malam aku disiksa rindu padanya. Ya, Harry. Aku belum bisa melupakannya. Saat melihat langit malam, entah kenapa, hanya senyum Harry yang kulihat. Atau saat hujan turun, maka hatiku akan berlari bersama hujan mencari penghuni hati yang lama tak kutemui. "Hei, kenapa melamun?" pelukan hangat membuyarkan lamunanku. Aku berbalik dan tersenyum. Rey sudah pulang rupanya. "Kau selalu mengejutkanku," jawabku. "Apa yang kau lihat?" tanya Rey, kami berdua berdiri menatap hujan yang dari tadi sore mengguyur deras. "Apalagi, hujan lah," jawabku asal. "Hujan membuatku ingat padamu, lalu ingin pulang secepatnya," ucap Rey sambil mengecup pipiku. Aku tersenyum, ya, hujan memang seringkali membuat kita mengingat rasa yang terdalam. Seperti aku, hujan bagai signal yang menghubungkanku dengan rasa yang sedang berusaha kubunuh. "Benarkah?" tanyaku. "Ya, kau tahu, aku ingin segera punya anak. Tadi tidak sengaja aku bertemu dengan Nine." Aku menoleh cepat, "O ya?" hatiku melonjak, jangan-jangan ada kabar juga tentang Harry-ku? "Ya, dan dia bilang sedang hamil." Apa?! Oh Tuhan! Seharusnya aku senang mendapat kabar baik dari mereka. Tapi apa ini artinya Harry sudah benar-benar melupakanku?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD