Rey?!

1265 Words
Di sinilah aku berada. Ya, sejak ketahuan menyelinap ke kamar rawat Harry, aku rutin menemuinya sekarang. Gila? Mungkin aku sedikit gila karena nekad menemui Harry tanpa sepengetahuan Rey. Aku tahu ini salah. Tapi bagaimanapun, hatiku tidak bisa berbohong. Sakit tak terperi saat melihat Harry yang berbaring di atas ranjang rumah sakit. Ada banyak hal yang kulakukan setiap Harry. Mulai dari menceritakan bagaimana pertama kali aku mulai jatuh hati padanya. Seorang bocah berusia lima belas tahun yang menginjak masa puber menyukai Harry saat itu. Hingga beberapa buku kubacakan untuknya. satu bulan telah berlalu. Dan Nine selalu memberiku ruang agar aku leluasa dengan Harry. Ya, ya, aku seperti wanita jahat yang hendak merebut suami orang. Tapi hey! Aku tak pernah berniat sejauh itu! Aku hanya ingin Harry membuka matanya. Ya, itu saja. Seperti saat ini, aku duduk di samping Harry. Kuusap lembut rambutnya yang mulai memanjang. "Hai, aku datang lagi! Apa kamu masih betah dengan tidurmu?" Hembusan nafas Harry masih tenang. "Kamu tahu? Dulu saat aku masih duduk di bangku SMA, aku selalu bermimpi agar kita bisa saling mencintai. Membangun keluarga bersama, membesarkan anak-anak kita dengan bahagia. Mimpi yang indah bukan? Sampai aku sadar, kamu tidak akan pernah bisa aku gapai. Aku terlalu tahu diri jika mengharap cintamu." Aku mengambil jeda, tertawa kecil atas apa yang ku ingat sekarang. "Saat kamu bertanya tentang perasaanku, aku sangat senang. Kupikir semua rasa ini akan selamanya jadi rahasia hingga aku mati. Tapi entah bagaimana caranya, kamu bisa tahu hatiku. Harry, aku tahu kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Yah, aku dengan Rey dan kamu dengan Nine. Lucunya, aku belum berhasil menghilangkan rasa ini untuk kamu. Semua masih sama." Kuelus punggung tangan Harry yang terpasang jarum infusan. Ponselku berbunyi, hatiku mencelos saat tahu Rey yang menghubungiku. "Ya, hallo, Rey?" "Kamu di mana?" "Oh, aku... di pasar. Ya, ada apa, Rey?" "Oh, ya. Hari ini aku mau makan sing di rumah ya? Boleh?" "Ah, ya. Tentu saja, aku akan siapkan buat kamu." "Makasih ya Sayang!" "Ya," Rey menutup sambungan telepon. Aku menghela nafas panjang. "Lihatlah, Harry! Baru saja kukatakan jika kita memiliki kehidupan yang berbeda, Rey memanggilku. Maaf, aku pergi dulu," kukecup kening Harry lama dan meninggalkannya. "Tunggu!" seseorang memanggilku. Ya, aku tahu pasti Nine. Dan benar. Nine berdiri di belakangku. Jangan bilang jika dia melihatku mencium kening Harry tadi! "Tugasku sudah selesai kan? Aku pulang dulu," jawabku lalu bersiap pergi. "Cha, ada yang ingin aku bicarakan." Aku berhenti berjalan dan menghadap Nine. Ia mendekatiku. "Thanks ya, Cha. Kamu udah mau membantu suamiku untuk kembali," ucapnya pelan. Aku hanya bisa mengangguk. "Tapi... bisakah hanya mengajaknya ngobrol saja?" tanya Nine lagi. Aku menelan ludah. Aku yakin, Nine melihatku tadi. "Nine, aku... hanya... maaf, Rey menungguku!" Aku segera pergi. Tak kupedulikan suara Nine yang belum selesai bicara. Samar kudengar ia mengatakan bagaimana jika Rey yang berada pada posisi Harry. Entahlah, aku menyayangi Rey. Tapi cinta... rasanya aku belum bisa mengatakannya. Setelah beberapa menit naik taksi, aku sampai di swalayan. Memilih beberapa bahan masakan yang akan kusiapkan untuk Rey. Aku memasak sambil memikirkan banyak hal. Terutama Harry. Tuhan, maafkan aku jika masih mencintainya! Suara pintu terdengar terbuka. Mungkin Rey sudah datang. "Sayang aku pulang!" Benar saja, Rey terdengar berteriak di depan sana. Aku segera menghampirinya. Rey tersenyum dan meraih pinggangku. Memelukku posesif dan melabuhkan ciuman lembut untukku. Aku memejamkan mata. Sesaat pikiranku melayang pada Harry dan ciuman panas kami. Tidak, tidak! Apa yang kupikirkan?! Tak seharusnya aku memikirkan Harry saat Rey sedang menyentuhku. "Kamu kenapa?" tanya Rey saat melihatku menggeleng. "Ah, tidak apa-apa. Ayo makan! Nanti keburu dingin!" "Ya, kamu benar! Ayo!" Kami makan dalam diam. Aku tahu Rey berkali-kali mencuri pandang padaku. "Cha, kamu sakit?" Maaf Rey, aku sudah banyak berbohong padamu. "Cha, makanannya kok cuma diaduk? Kamu baik-baik aja kan?" Entah sampai kapan aku akan berbohong dan terus menemui Harry yang terbaring koma. "Cha?" Aku sedikit terperanjat saat tiba-tiba Rey menepuk bahuku. "Ah, apa?" Aku gelagapan. "Kamu gak lagi sakit kan?" "Ah, tidak. Aku baik-baik saja, kok." "Syukurlah. Aku lihat kamu melamun dari tadi. Apa ada masalah?" "Tidak ada," jawabku sambil berusaha keras memasang senyuman. "Jangan bohong, Cha! Kita hidup bersama sudah cukup lama. Jadi aku bisa melihat jika kamu sedang ada masalah." Tuhan, apa yang harus kukatakan? Apa aku ceritakan saja semuanya? Tapi bagaimana jika Rey marah dan membenciku? "Hanya masalah temanku." "O ya? Apa aku bisa bantu?" "Terimakasih, Rey. Tapi temanku itu sedang koma." "O ya? Harus dibantu biar dia bangung, dong!" "Ya, dan dia mengigau memanggil mantan pacarnya." Apa aku ceritakan saja semuanya ya? Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering. "Oh, begitu ya? Berarti dia masih sayang sama mantan pacarnya kan? Balikan saja kalau gitu!" "Uhuk!" hampir saja aku memuntahkan air minum yang baru kutelan. "Hati-hati! ini minum lagi!" Rey memberiku minum lagi. "Terimakasih, Rey!" "Ya, apapun buat kamu," ucapnya sambil mengecup punggung tanganku. "Sayang, kita tidur yuk!" Rey tiba-tiba saja menggendongku ala bridge style. Aku memekik kaget tentu saja. "Hey! Tapi Rey, kamu kan sebentar lagi masuk kerja, jam istirahatmu segera habis," jawabku sambil berpegangan pada lehernya. "Sebentar saja, ayo! lagi pula, pamanku gak akan marah kok." Aku hanya mengangguk senyum dan membiarkan Rey menikmati apa yang sudah menjadi haknya. Rey sangat lembut dan sangat tahu bagaimana memperlakukan wanita. Hingga aku terbuai dan ikut lebur dalam nikmat syurgawi yang ia ciptakan di atas ranjang kami. Rey mengusap peluh yang mengalir di dahiku lalu mengecup pelan. "Terimakasih, Cha!" Aku hanya tersenyum. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Segera aku mengangkatnya. "Ya, hallo?" "Cha, ini aku Nine, bisakah kamu ke rumah sakit lagi?" Aku melirik Rey yang sedang merapika bajunya lagi. "Ada apa?" tanyaku pada Nine di seberang sana. "Harry sadar, dan dia menanyakanmu. Kumohon, bisakah kamu ke sini?" Nine memohon kembali. Hatiku girang tak terperi. Harry sadar! Tahu jika aku ada telepon, Rey mendekat dan tersenyum. "Siapa, Cha?" "Temanku," jawabku singkat. "Temanmu? Kenapa dia?" "Ini temanku. Rey, bolehkah aku membantu temanku dulu?" Rey nampak terdiam lalu mengangguk pelan. *** Nine tidak bohong! Ternyata benar, Harry sudah sadar! "Harry..." ucapku pelan. Di sana sudah berkumpul Nine dan juga Cahyati. Mata mereka nampak sembab. Harry perlahan membuka matanya. "Icha..." lirihnya pelan. Hatiku tersayat mendengarnya. Terlebih saat melihat bahu Nine yang terguncang hebat. Meski begitu, tangan Nine masih menggenggam erat tangan Harry. "Kamu sudah sadar, Sayang?" ucap Nine sambil menahan tangis. "Nine, aku di mana?" tanya Harry setelah ia melihat Nine di depannya. "Kamu di rumah sakit. Oh Harry, aku merindukanmu," ucap Nine sambil memeluk suaminya. Ya, dia istrinya. Tuhan, singkirkan rasa cemburu ini! "Mana Icha? Selama aku pergi, aku merasa Icha yang terus menemaniku dan mengajakku untuk pulang." Nampak Nine dan Cahyati saling melempar pandangan. Apa aku harus pergi? Bukankah Harry sudah sadar? Ini artinya, tugasku sudah selesai kan? Bodoh, seharusnya aku tidak kemari! Aku mundur, sialnya aku tidak melihat jika di belakangku terdapat vas bunga. Brak!! Semua menoleh padaku. Tak terkecuali Harry yang masih terbaring. "Ma-maaf," cicitku pelan. "Icha? Kemarilah! Lihat! Harry sudah kembali," ucap Cahyati. "Icha?! Kamu Icha-ku?" pekik Harry senang. Aku tersenyum padanya. Sumpah, aku tidak bisa membohongi diriku jika sebenarnya aku sangat merindukannya. Tanpa sadar, kakiku melangkah. Mataku tak lepas dari Harry yang menatapku sambil tersenyum. Segera mendekat ke pinggir ranjang Harry. Dengan gerakan cepat, Harry menarik tanganku dan memelukku erat. Kami larut dalam kerinduan yang mendalam. Kudengar langkah berlari di belakangku. Aku sadar, ada Nine yang melihat kami. Perlahan aku melepaskan pelukan Harry. Tapi Harry enggan melepasnya. "Jangan pergi! Aku mohon!" ucap Harry. "Icha?! Jadi... inikah temanmu itu?!" Mataku membulat sempurna. Suara itu?! Rey?! Segera aku melepas pelukan Harry dengan cepat dan mendapati Rey berdiri dengan tatapan yang sulit diartikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD