Bab 3 Mulai Mencerahkan Hati Cinta

1913 Words
Sabtu pagi. Cinta menekan tombol alarm jam wekernya yang berbunyi nyaring membangunkan tidurnya. Meskipun hari libur, pengaturan pada benda mungil berwajah Mickey Mouse itu sengaja tak di rubahnya supaya dia tetap terbiasa bisa bangun pagi. Sambil menguap lebar kemudian menutup mulut dengan menggunakan balik telapak tangannya Cinta bangkit dari posisi rebahan lalu duduk di ranjangnya. Menggeliat sebentar kemudian meraih ponsel di nakas samping tempat tidur. Memeriksa sekilas notifikasi yang ada siapa tahu terdapat pesan penting atau panggilan tak terjawab yang semalam terlewatkan setelah dia memejamkan mata menuju ke alam mimpinya. Ponsel aman, Cinta mengembalikan lagi ke tempat semula dan dia mulai beberes ranjang tidur. Melipat rapi selimut tebal bergambar karakter Mickey Mouse besar dan mematikan AC. Setelah selesai, di bukanya jendela kamar yang menghadap taman mungil di halaman rumah,  baru setelahnya dia beranjak menuju kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya. Maklumlah, rumah Cinta bukanlah rumah mewah yang biasanya terdapat kamar mandi di dalam kamar tidur.Cinta hanya menempati sendirian sebuah rumah sederhana yang berisi dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang tamu dan satu ruang bebas yang dia gunakan untuk bersantai melihat tv atau sekedar kongkow bersama saudara-saudara dari panti asuhannya ketika mereka saling mengunjungi. Selesai mandi dan merapikan diri, Cinta kembali membuka buku tebal di meja belajar yang dia pakai sebagai referensi penyusunan skripsinya. Semalam dia begadang sendiri sampai hampir jam satu karena besok ada jadwal menemui Pak Hamdi dosen pembimbingnya. Cinta membuat target sendiri bahwa tak sampai satu semester skripsi yang dia susun harus sudah selesai, sehingga masuk di semester delapan dia tinggal bersantai saja, syukur-syukur bisa segera mengikuti wisuda lebih cepat. Sehingga Cinta bisa fokus bekerja dan fokus mengurus perkembangan cafenya. Sebentar lagi ada dua adik di panti-nya yang akan lulus SMA, dan biasanya di saat itu dia akan merencanakan menambah buka cabang café yang akan dia percayakan kepada mereka. Cinta tak mau mengajari mereka untuk bermanja, meskipun tak bermaksud menyita waktu belajar mereka dengan bekerja, tapi Cinta akan mulai mengajari untuk mengelola bisnis café di sela jadwal kuliah mereka dengan menekankan bahwa mereka harus belajar mandiri, bisa kuliah dengan penghasilan mereka sendiri. Karena nyatanya, lima cabang café yang sudah ada adalah berisi saudara-saudara panti-nya semua dengan didikan yang sama, dan mereka rata-rata berhasil dengan memuaskan. Dan kenyataannya juga, gelar sarjana tak membuat mereka pindah haluan ingin bekerja kantoran, tapi justru berusaha mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat di bangku kuliah untuk mengembangkan usaha mereka sendiri. Sedikit berbeda dengan Cinta yang tidak melepaskan status karyawannya di perusahaan tempat dia bekerja dengan pertimbangan ada balas budi di perusahaan itu yang membuatnya bisa memiliki nafkah untuk melanjutkan hidupnya sebelum usaha cafenya berhasil dan berkembang dengan pesat seperti sekarang. Drrt … Cinta menoleh pada ponselnya yang bergetar. “Langit?” ucapnya berbicara sendiri sambil meraih ponsel yang terus bordering itu. “Hai ini hari sabtu, elo nggak lupa kan? gue libur kerja hari ini,” semprot Cinta di awal percakapannya hingga terdengar suara tawa Langit dari seberang. “Pagi Cinta, hari sabtu jutek dan jahatnya elo sebagai atasan gue apa nggak libur juga?” balas Langit yang mau tak mau menerbitkan senyum di bibir Cinta. “Ada apa elo pagi-pagi nelpon gue?” tanya Cinta masih dengan nada juteknya. “Gue berada di dekat rumah elo, kita jalan yuk,” ajak Langit tanpa basa basi. “Eh, bohong lo, emang elo tahu rumah gue?” "Taulah, buktinya gue sekarang udah berada di depan pagar, bukain gih, daripada ntar gue di kira tukang tagih cicilan panci sama tetangga elo yang liatin gue sejak tadi,” jawab Langit. Cinta terkejut, namun beberapa saat kemudian tersadar dan segera lari ke depan membuka pintu rumah, benar saja, nampak bayangan seseorang yang berdiri di depan pagar rumahnya. Cinta segera menutup teleponnya dan berjala cepan menuju pagar kemudian membukanya. “Pagi Cinta,” sapa Langit dengan suara lembut yang di buat-buat semanis mungkin dengan niat menggoda gadis itu. Cinta hanya mendengus pelan, kemudian menengok keluar pagar dan menemukan Mbak Yuni tetangga sebelah rumah yang sedang mendorong Arka bayi mungilnya di kereta bayi. “Pagi Mbak Yuni,” sapa Cinta dengan ramah. “Pagi, Ta, pacar kamu sudah lama berdiri di situ, mungkin kamu lagi mandi, ya?” tanya Mbak Yuni yang membuat Cinta sedikit blingsatan. Sedangkan Langit senyum-senyum tak jelas memperhatikan sikap salah tingkah Cinta. “Ah iya, Mbak,” jawab singkat Cinta dengan kalimat paling aman. “Pacar kamu cakep banget, Ta, dia tadi sempet main sama Arka, sepertinya dia penyuka anak kecil, lulus kuliah langsung merid aja, Ta, biar segera punya anak sendiri, bukan begitu ya, Mas?” lanjut Mbak Yuni. Sekali lagi Langit hanya senyum-senyum tanpa menjawab, sedangkan Cinta tak tahu lagi harus bersuara apa, setelah pamit sebagai bentuk basa-basi kesopanan pada tetangganya itu dia segera menarik Langit masuk ke halaman rumah dan menutup pintu pagar. Langit memperhatikan setiap detail di rumah Cinta mulai dari halaman sampai ke dalamnya. Meskipun kecil tapi sepertinya sebuah hunian yang nyaman. Cinta mengatur sedemikian rupa dengan rapi dan khas gaya anak mudanya. “Silahkan duduk,” persilah Cinta kepada Langit untuk duduk di ruang tamu minimalisnya. “Rumah elo kecil dan mungil, tapi sepertinya sangat nyaman, gue akan sering-sering kesini kalo gitu,” ujar Langit tanpa dosa, sedangkan Cinta hanya mendelik geram. “Gue gak ngundang elo, lagian darimana sih elo tahu alamat rumah gue?” “Dari Pak Don, gue bilang mau lembur ngerjain tugas sama elo,” bohong Langit karena kenyataanya, bahkan sebelum bergabung di perusahaan Aksara dia sudah mengantongi alamat gadis ini yang dia dapat dari orang kepercayaan ayahnya, Zein Angkasa. Gigi Cinta bergemeletuk geram, namun tak mengatakan apapun. “Terus elo mau apa sebenarnya ke rumah gue? Elo nggak serius mau lembur atau minta di ajarin kerja kan sama gue? Ini hari libur, urusan gue juga banyak, nggak ada waktu buat elo,” jawab Cinta sambil memasang wajah cemberut. Tidak langsung menjawab Langit justru memperhatikan penampilan Cinta saat ini, kaos pendek kasual berwarna pink lembut dan celana pendek di atas lutut yang berwarna putih berpadu dengan kulit putih dan wajah cantik membuatnya nampak imut. Ah, Langit menggeleng samar, dia berusaha tak terlalu terpesona pada gadis yang menjadi tanggung jawabnya ini. “Elo mau kemana?” tanya Langit akhirnya. “Gue … bukan urusan elo, kepo amat sih,” jutek Cinta. Lagi-lagi Langit tak bisa menahan rasa tertariknya untuk memperhatikan lebih gadis ini. Ada haru menyelinap di hatinya, seharusnya gadis seusia Cinta di saat libur begini masih akan banyak bermanja pada orang tuanya, seperti Alena adiknya yang seusia dengan Cinta. Tapi gadis ini bahkan mungkin sudah lupa dengan wajah kedua orang tuanya dan di paksa untuk menjalani dan menghadapi kerasnya kehidupan ini tanpa mereka yang sudah menghadirkannya ke dunia. “Ikut gue yuk, gue pengin ke pantai tapi nggak punya teman,” ajak Langit mengatakan sesuatu yang sebenarnya adalah tujuan awal dia datang ke rumah Cinta pagi ini. Cinta terdiam, pantai? Ah, kapan terakhir dia pergi ke pantai? Mungkin ketika dia masih berseragam putih merah, setelah itu dia hanya sibuk dan sibuk, belajar dan belajar demi mendapatkan beasiswa untuk kelanjutan pendidikannya supaya tidak memberatkan Ibu Sasti yang telah mengasuhnya. Tiba-tiba Cinta ingin mengiyakan ajakan Langit, tapi dia sudah sangat rindu kepada Ibu Sasti dan adik-adiknya di panti. “Ayo … lihat wajah elo sepertinya elo pengin ke pantai juga,” tebak Langit. Cinta menimbang sesaat ajakan Langit. “Iya gue pengin, tapi gue harus ke panti, gue rindu ibu dan adik-adik gue. Elo pasti tahu juga kan status gue yang yatim piatu, hanya mereka yang gue punya, dan sabtu-minggu adalah waktu gue buat mereka,” ujar Cinta kemudian. Ada yang berdentam di hati Langit, ada rasa pedih yang menelusup di hatinya saat ini, membayangkan banyaknya hari-hari Cinta yang telah terlalui dengan begitu sederhananya, sedangkan sesungguhnya dia memiliki segalanya, kecuali satu hal, kedua orang tuanya yang tentunya semoga sudah berbahagia di rumah Sang Pencipta. “Jangan bilang elo nggak tahu karena itu pasti bohong,” cibir Cinta setelah sekian waktu Langit tak menjawab karena terbuai dengan angan-angannya sendiri. Langit tersenyum. “Gue tahu kok, gue kan dukun,” kelakar Langit menyembunyikan sedih sesaat di hatinya. Rasa sedih dan tak rela meskipun dia tak mengalaminya, bagaimana Tuhan memberikan takdir kepada gadis yang begitu baik ini dengan merenggut kedua orang tuanya sekaligus karena ulah orang-orang jahat bahkan di saat dia belum bisa menyimpan kenangan indah ketika masih bersama keluarga lengkapnya. “Elo ngelamun atau terpesona sama gue sih, sejak tadi gue rasa elo banyakan bengong melulu,” tanya Cinta yang merasa heran dengan tingkah Langit hari ini. “Gue terpesona dengan Mickey Mouse di baju elo pagi ini, biasanya gue lihat elo rapi kayak orang kerja beneran, tapi hari ini gue kayak lihat anak SD yang galau mau di ajak jalan-jalan,” lagi-lagi Langit menimpali dengan kalimat tak seriusnya. Cinta tertawa. “Kita ke panti bentar boleh, kok, biar elo ketemu sama ibu dan adik-adik kamu dulu di sana,” tawar Langit kemudian. “Eh, elo serius?” “Duariburius, sekalian nanti gue di kenalin sama ibu panti elo ya biar gue bilang kalo anaknya yang satu ini juteknya minta ampun.” Cinta kembali terbahak kemudian pamit untuk ganti baju. Tak berapa lama sudah keluar dengan t-shirt santai warna putih di padu celana jeans 7/8 dan tas selempang yang menunjukkan gaya khas-nya. Sejenak Langit tak berkedip, diam-diam mengagumi makhluk cantik yang nampak selalu ceria ini meskipun sayap hidupnya tak sempurna dalam menjalani proses  menuju kedewasaannya selama ini. “Pakai mobil gue aja, ya?” ajak Langit. “Eh, tapi kan gue nanti pulang ke panti sampai senin pagi langsung berangkat kerja, ke kantor nya masak iya gue naik ojol atau taksi online sih, bisa telat dong.” “Gue siap jadi sopir kok supervisor gue yang rajin dan juteknya kebangetan,” goda Langit. “Trus hari senin kita telat berjamaah gitu?” tanya Cinta sambil memicingkan matanya yang mau tak mau membuat Langit tertawa. “Senin gue berangkat subuh deh demi elo.” “Deal,” ucap singkat Cinta sambil menarik tangan Langit dengan cepat di ajaknya keluar rumah, mengunci pintu rumah tanpa melepas tangannya dari tangan cowok itu kemudian di ajaknya melewati pagar dan menguncinya tanpa melepaskan tautan tangannya dari lengan cowok itu. Langit hanya bisa menatap tangan mereka, tangan mungil putih mulus yang melingkar di lengannya. “Elo sadar gandeng gue kayak gini?” tanya Langit. “Sadar dong.” “Padahal biasanya yang gandengan kan orang pacaran.” “Untuk gandengan masa iya harus pacaran dulu?” “Biasanya.” “Betewe hati elo nggak lagi berdebar kan gue gandeng kayak gini?” “Sedikit.” “Oiya? Kenapa? Takut ketauan cewek elo yang kali aja memata-matai elo?” “Bukan, gue jomblo kok.” “Eh sekalian promosi, ya? Trus karena apa dong?” “Gue berdebar karena lapar.” Tawa Cinta meledak mendengar jawaban Langit yang terucap dengan tampang innocent-nya. Di cubitnya lengan cowok itu untuk menyadarkannya dari dunia halu. Setelahnya Cinta segera memutar langkah menuju kursi penumpang di sebelah duduk sopir. Sedangkan Langit sendiri hanya tersenyum, kemudian membuka pintu mobilnya dan masuk di posisi sopir. Mobil melaju dengan harapan di hati Langit, setidaknya dia akan selalu berusaha menemani gadis ini supaya bisa selalu tetap tersenyum, di hidupnya hari ini dan masa depannya yang entah akan ada kisah apa di sana. Menikmati perjalanan selama hampir tiga puluh menit, akhirnya mobil Langit memasuki halaman tak terlalu luas Panti Asuhan Teman Sejati. Beberapa anak kecil usia SD menyambut Cinta yang baru turun dari mobil. Suara sambutan ceria mereka memenuhi halaman panti pagi itu.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD