Bab 2 Misi Tentang Cinta

2876 Words
Di parkiran kampus, Langit ikut memarkir mobilnya tak jauh dari mobil Cinta. Di lihatnya gadis itu keluar mobil dan berjalan tergesa menuju ruang dosen. Langit mengikutinya secara diam-diam, berjalan tenang dengan kedua tangan cowok itu masuk di saku celananya. Melihat Cinta yang sudah berada di dalam ruang dosen, Langit hanya melongokkan kepala sejenak untuk melihat sosok dosen yang sedang duduk berhadapan dengan Cinta. Begitu merekam sosok dosen itu dalam ingatannya, kepala berhias raut wajah tampan itu mengangguk-angguk pelan, setelahnya menyenderkan punggungnya di pilar tak jauh dari pintu ruang dosen. Dua puluh menit kemudian Cinta keluar dari ruang dosen. Langit segera berlindung di balik pilar menyembunyikan diri supaya tak ketahuan oleh gadis itu. Sempat di perhatikannya mimik wajah Cinta, meski tampak lelah namun tersirat satu kelegaan di wajah cantik itu, terlihat dari bibir mungilnya yang tersenyum tipis. Diam-diam Langit ikut tersenyum, seolah bisa menebak apa yang di rasakan Cinta saat ini. Setelah yakin gadis yang di ikutinya beberapa hari ini tak akan kembali, Langit segera masuk ke ruang dosen. Di dalam ruang, dlihatnya Pak Hamdi, seseorang yang Langit kenal dengan sangat baik, salah satu dosen senior di universitas ini sedang membereskan meja kerjanya untuk bersiap pulang karena waktu sudah hampir menunjuk jam tujuh malam. “Selamat sore, Pak Hamdi,” sapa Langit dengan sopan. Pak Hamdi menghentikan aktifitasnya sejenak, mata lelaki berusia 50 tahunan itu menatap memastikan seseorang yang barusan menyapanya.“Mas Langit?” sapa Pak Hamdi dengan senyum yang terkembang lebar. Langit segera mendekat, salim takzim dengan dosen itu kemudian memeluknya dengan hangat dan akrab. “Duduk dulu sini. Mas Langit kapan kembali ke Indonesia? Sudah wisuda?” tanya Pak Hamdi setelah mereka duduk saling berhadapan. Langit menempati kursi yang tadi di tempati Cinta ketika menghadap dosen pembimbing skripsinya ini. “Saya baru semingguan ini berada di rumah, Pak. Bersyukur sudah wisuda berkat bimbingan jarak jauh dan referensi-referensi yang Pak Hamdi sampaikan untuk selesaikan tesis saya kemarin. Mohon maaf baru bisa menemui Bapak hari ini, karena kebetulan saya kesini juga karena ada keperluan.” “Syukurlah bisa wisuda tepat waktu. Pasti tambah jenius ini, siap memimpin universitas.” “Oh tidak, Pak. Sekarang saya sudah mengetahui pemilik sah dari tempat ini, jadi saya bisa melepasnya dengan tenang untuk benar-benar bisa fokus membantu papa mengelola perusahaan keluarga saja.” Pak Hamdi mengernyit heran. “Jadi, generasi Aksara Tama sudah di temukan?” Langit terdiam sejenak mendengar pertanyaan Pak Hamdi. Sedikit berfikir hingga akhirnya memutuskan memberi sedikit informasi kepada seseorang yang sangat di hormatinya. Dosen ketika dia menempuh gelar sarjananya di Universitas Aksara Tama ini sahabat dari orang tuanya sebagai pemegang pimpinan yayasan terkemuka di kota mereka. “Ternyata generasi Aksara Tama tidak pernah hilang, Pak. Cuma belum waktunya di munculkan, masih di gembleng di kawah candradimuka,” jawab Langit sambil tertawa ringan. “Astaga, jadi selama ini Zein Angkasa menyimpan semua kisah ini sendiri?” “Iya, Pak Hamdi, papa hanya ingin melindungi putri sahabat baiknya. Besok malam, Bapak di undang ke rumah oleh papa untuk membicarakan hal penting.” Pak Hamdi hanya geleng-geleng kepala. Kembali ingatannya melayang ke masa hampir dua puluh tahun silam. Tapi segera dia enyahkan sejenak ketika mengingat di hadapannya duduk seseorang yang tadi mengatakan datang menemuinya karena ada keperluan. “Jadi keperluan Mas Langit kesini apa? Apakah karena ingin menyampaikan berita mengejutkan barusan?” tanya Pak Hamdi serius. “Salah satunya, tapi itu belum terlalu mengejutkan di bandingkan berita yang akan papa sampaikan ke Bapak besok. Dan, keperluan yang lainnya saya ingin mengetahui tentang progress  skripsi mahasiswi yang barusan menghadap Bapak tadi.” “Oh, Cinta maksudnya. Gadis cantik dan pintar yang menurut saya sebenarnya begitu tepat di sandingkan  dengan Mas Langit, hanya saja dia seorang yatim piatu, namun jangan di ragukan kelebihanya. Semangat juangnya begitu mengesankan,” Pak Hamdi nampak santai berucap sambil tertawa. “Haha, sayanya mau aja sama dia tapi dia yang belum tentu mau sama saya, Pak,” kelakar Langit Pak Hamdi tertawa lebar kembali. “Judul skripsi Cinta saya setujui barusan, saya sangat suka semangatnya dan saya yakin skripsinya akan bisa selesai dengan cepat. Saya baca sekilas dari draft awal yang dia bawa tadi cukup berkualitas, cocok dengan kapasitas pemikirannya yang kalau saya hitung pasti nggak jauh dari Mas Langit. Bukan maksud saya membandingkan, tapi saya bicara apa adanya ya, Mas.” Langit manggut-manggut puas. Lega dia mendengar mengenai progress skripsi yang Cinta ajukan. “Mas Langit kelihatannya tertarik sekali dengan Cinta?” “Jika Bapak tahu tentang dia, pasti Bapak akan lebih tertarik dari saya.” “Ah, saya ini udah tua, Mas. Meskipun duda saya tidak akan bersaing dengan yang muda-muda apalagi dengan Mas Langit. Sudah sadar diri kalau bau tanah.” Langit dan Pak Hamdi kembali tertawa bersama. “Dia teman kerja saya, Pak.” “Oh, Cinta kerja di Angkasa Group?” “Bukan Pak, tapi di Aksara Manufaktur.” Pak Hamdi melongo mendengar penjelasan Langit. “Oh, kalau begitu, artinya selama ini Cinta sangat rendah hati? Dia mengatakan kalau selama ini hanya bekerja menjadi pegawai di sebuah café.” Senyum tipis menghias bibir Langit, “Bukan pegawai, tapi dia adalah otak dari café tempatnya bekerja, Pak,” batin Langit. “Tolong nanti saya di infokan perkembangan demi perkembangan dari skripsi Cinta ya, Pak. Apalagi jika ada revisi, karena tugas saya saat ini salah satunya membawa Cinta cepat lulus kuliah. Ada tugas penting di Aksara yang harus segera di bebankan kepadanya.” “Baik, Mas Langit. Meskipun saya belum tahu alasan apa sebenarnya di balik ini semua, tapi saya yakin Mas Langit berniat baik pada Cinta. Karena sedikit banyak saya tahu tentang kehidupan Cinta selama kuliah disini, jadi bagaimanapun saya tidak rela jika ada seseorang yang memanfaatkan kepintarannya atau menyakitinya,” perjelas Pak Hamdi panjang lebar. “Terima kasih Pak Hamdi mempercayai saya, jangan lupa besok ke rumah menemui papa. Saya permisi dulu, ya, Pak.” Pak Hamdi menjawab pamit Langit dengan sopan. Nama “Langit” begitu mengesankan bagi Pak Hamdi,  karena menurut beliau waktu itu, Langit itu tak berbatas, begitu agung dan luas. Beliau ikut berharap secara pribadi bahwa semoga kehidupan Langit di penuhi dengan segala kebaikan yang maha luas tak berbatas. Sebagaimana kebaikan Zein Angkasa, -ayah Langit- yang banyak menaburkan kebaikan di sepanjang kehidupannya. *** Langit memarkir mobilnya di sebuah café mungil yang cukup ramai. Begitu masuk dalam café dan setelah tengak tengok sebentar, di lihatnya seseorang yang dia cari sedang duduk sendiri di sudut café. Dengan berpura-pura tak melihat, cowok itu menuju ke tempat duduk seseorang itu dan pura-pura juga meminta ijin untuk ikut duduk di situ. “Permisi Mbak, boleh saya duduk di sini, kebetulan meja yang lain penuh semua.” Cinta. Benar, gadis itu adalah Cinta. Mendengar seseorang berbicara di dekatnya dia segera mendongak ke atas berniat mempersilahkan duduk. “Eh, Pak Langit, kok bisa di sini?” ucap Cinta kaget sambil membereskan meja tempat dia duduk yang penuh dengan buku-buku tebalnya. “Anjir, panggil bapak lagi, gue belum bapak-bapak, ingat itu,” protes Langit dan tanpa menunggu jawaban segera duduk di kursi kosong depan Cinta. Cinta tertawa, memamerkan lesung pipi dan mata sipitnya yang semakin menghilang jika di pake ketawa. Deretan gigi rapinya nampak mempercantik senyum lebarnya. “Elo gimana bisa sampai di sini? Nguntit gue, ya? Belum puas adu pendapat seharian sama gue?” “GR, lo. Gue suka ke café ini meskipun nggak ada elo. Urusan adu pendapat, gue udah capek, pokoknya besok gue bakal hubungi bagian riset produk untuk minta formulanya dan hitung ulang dengan lebih teliti.” Melody mencibir, namun dalam hati mengakui keenceran otak cowok di depannya yang cukup cepat mengikuti alur kerja di kantor. “Darimana aja lo, sampai-sampai belum ganti baju kerja tapi udah sampai sini aja,” telisik Cinta memperhatikan penampilan Langit, kemeja warna biru muda dengan lengan yang di gulung se-siku, keren sih. “Cieh … elo perhatian ya sama gue. Tapi ngaca dong, elo juga masih berpenampilan yang sama, dari gue ketemu elo pagi tadi sampai sekarang,” balas Langit. “Nah, gue kan udah pamit kalo tadi gue ke kampus dulu.” “Trus ngapain dari kampus nongkrong di sini?” “Eh, nongkrong kata elo? Ini café gue, café gue sama sodara-sodara gue, wajar dong gue di sini.” “Oh … gitu ya, iya-iya sori,” jawab bibir Langit meskipun dalam hati membatin seperti ini, “Gue tahu banget kalo ini café elo.” “Betewe, elo mau gue traktir nggak? Biar gue nggak ada utang sama elo.” “Dalam rangka apa, nih?” “Judul skripsi gue di setujui dosen,” jawab Cinta sambil tersenyum. “Wah … selamat ya, mau dong gue di traktir, sesuka gue, ya? Lagian katae ini café elo, pasti gratis semua, kan?” “Elo minta traktir atau mau malak gue?” Langit tertawa ngakak, matanya awas melihat Cinta yang berlalu pergi mengambil menu di meja kasir. Tak berapa lama, hidangan yang Langit pesan sudah memenuhi meja. Sambil ngobrol santai bersama Cinta dia menikmati makan malam hari itu. “Elo tahu banyak ya gambaran skripsi yang mau gue susun?” ujar Cinta. “Kebetulan aja dulu ada teman yang ambil topik mirip-mirip punya elo, gue sih bantuin ngetik aja, kapasitas otak gue pas-pasan mana sanggup gue ikut mikir. Besok-besok kalau elo perlu referensi, bisa gue bantu tanyakan ke teman gue.” “Boleh-boleh, kayaknya elo bisa di berdayagunakan, ya?” Langit dan Cinta tertawa bersama. Hari pertama perkenalan mereka sepertinya penuh dengan rasa sewot dan perdebatan namun mengarah menuju persahabatan. … Begitu keluar dari lift Cinta segera berlari menuju ruang kerjanya. Duduk dengan ngos-ngosan menenangkan deru nafasnya. Gara-gara kejebak kecelakaan yang terjadi tak jauh di depannya dia harus kena keributan dan terpaksa datang terlambat.Toleh kanan dan kiri semua temannya sudah sibuk dengan pekerjaan mereka. Hanya kubikel sebelahnya yang masih kosong. “Itu dia sudah datang,” suara yang Cinta kenal terdengar tertuju ke arahnya. Pak Don, si killer yang paling anti jika ada karyawan telat. “Selamat pagi, Pak,” sapa Cinta berusaha ramah menutupi kesalahannya. Sumpah sial banget, jarang-jarang telat, sekalinya telat eh Pak Don sedang berada di ruang Pak Ardi. Dan kini, kedua bapak itu tengah berdiri sambil melihatnya lurus seolah-olah dia adalah tersangka yang patut di aniaya. “Kamu sebagai pimpinan bagaimana bisa datang telat, Cinta? Itu jadi contoh yang tidak baik untuk tim kamu,” cuap Pak Don dengan nada datarnya dan mata awasnya di balik kacamata lensa tebal yang dia pakai. “Mohon maaf, Pak, tadi ada kecelakaan dan saya … “ “Tak perlu alasan apapun, Cinta, tolong di perbaiki kedisiplinannya. Kamu bisa saja masuk dalam data karyawan black list dan saya ajukan demosi ke jabatan lain, ketertiban di sini berlaku untuk semua orang, tanpa terkecuali,” potong Pak Don yang  terdiam sebentar setelah bicara panjang, kemudian berlalu pergi. Belum sampai keluar ruangan, di pintu Pak Don bertemu dengan Langit yang baru datang dengan langkah santainya. “Eh, Pak Langit baru datang?” sapa Pak Don yang tiba-tiba merubah sikap arogannya barusan menjadi sikap penuh hormat. “Iya, selamat pagi, Pak. Mohon maaf saya terlambat.” “Oh, selamat pagi, Pak Langit. Selamat bekerja,” ujar Pak Don dengan sangat sopan. Cinta mendelik sambil sedikit mencibir. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Pak Ardi yang semenjak tadi tak mengeluarkan suara apapun. Lelaki empat puluh tahun itu hanya mengedikkan bahu sambil menaikkan sebelah alisnya. “Ketertiban di perusahaan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, dia urusan kamu sebagai atasan langsungnya, Cinta,” ujar Pak Ardi kemudian balik badan dan ngeloyor pergi masuk ruang kerjanya. Langit yang mendengar hal itu hanya menatap lama ke arah Cinta, kemudian ke anggota lain di dalam ruang yang masing-masing menahan senyum sambil pura-pura melanjutkan pekerjaan mereka. “Pagi Cinta,” sapa Langit dengan gaya innocent-nya seperti biasa, namun akhirnya dia hanya mengernyit heran melihat Cinta yang hanya cemberut kemudian menghempaskan pantat proporsionalnya ke kursi kerjanya. Langit tak terima dengan sikap cuek Cinta di pagi ini, tetap dengan gaya tak berdosanya dia menuju kubikel Cinta. “Hai, elo marah sama gue? Karena gue datang telat?” tanya Langit mengabaikan kejutekan Cinta yang mulai bersiap menyalakan laptop di mejanya. “Nggak, ngapain gue harus marah? Buang-buang energi,” jawab Cinta tetap dengan nada juteknya. “Nah, tadi gue dengar Pak Ardi bilang tentang ketertiban? Gue nyambung kok, siap di hukum sama elo karena gue langgar aturan dengan datang telat pagi ini.” “Udah, elo duduk aja, mana ada orang telat hukum orang telat, sama-sama telat, sama-sama langgar aturan, cuma bedanya aturan ketertiban perusahaan hanya berlaku buat karyawan biasa kayak gue, nggak ada buat elo yang exclusive,” tumpah Cinta dengan kejengkelannya ingat perkataan Pak Don tadi yang memarahinya tapi kepada Langit bak kerbau di cocok hidungnya yang hanya bisa nurut dan menunduk hormat, padahal melakukan kesalahan yang sama, di hari dan waktu yang sama. Langit terdiam, hanya mengalah tak lagi banyak bicara, sedikit paham dengan penyebab kejutekan Cinta pagi ini. Perlahan dia undur diri, dengan sebelumnya melirik ke tempat Renata yang juga tengah melihatnya kemudian, TING! tiba-tiba gadis itu mengedipkan sebelah matanya. Entah kenapa Langit begitu terkejut melihat teman seruangnya itu begitu genit, dan setelahnya dia baru menyadari ketika suara tawa terdengar lirih dari arah kubikel yang lain. Sial, dia menjadi korban keusilan mereka-mereka, dan sepertinya dia akan suka berada di divisi ini bertemu dengan mereka yang meski dia baru dua hari bergabung di sini tapi Langit sudah bisa merasakan hawa nyaman dan kekeluargaan dalam bekerja. Baru duduk tak lebih dari lima belas menit, Langit kembali berdiri. Seperti kemarin, melongok di atas partisi kubikel yang membuatnya langsung bisa melihat apa yang sedang di lakukan Cinta. Tinggi partisi lebih kurang 140 cm, sedangkan tinggi postur tubuhnya 180 cm, selisih 40 cm sangat cukuplah baginya untuk nampak menjulang bagaikan pilar di antara dua kubikel. Cinta yang merasa di perhatikan tiba-tiba menoleh, wajah cantiknya nampak serius dengan mata menyorot tajam yang sepertinya belum sembuh dari kejengkelannya. “Ngapain lo lihat-lihat gue? Ngawasin gue beneran kerja apa enggak?” tuduh Cinta dengan nada tak bersahabatnya membuat Langit menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Gue jadi bantuin elo ngurusin HPP, kan?” tanya Langit dengan suara hati-hatinya. “Terserah elo.” Langit kembali berjalan keluar kubikelnya dan menuju ke tempat duduk Cinta. “Elo bisa kasih gue formula produk yang sebelumnya udah pernah di kasih sama bagian R&D?” pinta Langit sambil menempatkan diri di depan Cinta. Tak banyak kata Cinta segera mengirimkan data yang di minta oleh Langit. “Sudah gue kirim via ID Chat di laptop elo,” tutur Cinta dengan singkat, jelas dan padat. “Gue lihat situ aja dong, laptop gue ada di sebelah, nyala juga belum,” jawab Langit tanpa dosa, membuat Cinta menghentikan aktifitasnya dan kembali menatap lurus ke arah Langit. “Elo niat kerja apa enggak, sudah duduk di meja elo selama lima belas menit tapi laptop aja belum di nyalain, heran gue.” “Eh kok elo tahu sudah lima belas menit gue nggak ngapa-ngapain, elo hitungin, ya? Elo hitung hpp atau hitung jam kerja gue, sih?” tanya Langit sambil nyengir. Dalam hati Cinta ingin ketawa mendengar jawaban Langit, benar-benar resek seperti prediksinya di awal ketika kemarin harus mulai mengemban tugas dari Pak Ardi untuk membimbing dan menjadikan cowok ini sebagai professor. Sumpah, waktu kerjanya sungguh terbagi antara ngebut menyelesaikan deadline dan di recoki. “Ambil laptop elo,” perintah Cinta malas berbicara panjang. Dengan patuh Langit menuju ke kubikelnya mengambil laptopnya yang benar-benar masih dengan kondisi tertutup dan belum nyala. Cinta hanya bisa menggeleng pasrah, tak mau lagi komentar atau buang energi memberikan omelan pada cowok di depannya. Langit nampak serius membaca komposisi formula produk dari data di laptopnya. “Masih ada sisa sample produk dengan formula ini nggak?” Lagi-lagi tanpa kata, Cinta mengeluarkan sebungkus produk yang masih terbungkus dengan plastik metalize warna silver polos yang menandakan bahwa produk itu masih berupa produk contoh hasil dari riset di bagian R&D. “Boleh di buka dan di makan?” Cinta terdiam sejenak, memperhatikan setiap tingkah cowok yang duduk di depannya hingga akhirnya dia mengangguk. Diam-diam dia merasa kagum juga dengan runutan kerja yang di lakukan oleh cowok itu. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang harus di lakukan oleh seorang marketing development dalam menangani analisa sebuah produk, cukup sistematis. Menggigit perlahan produk makanan ringan berupa biskuit dengan krim coklat di tangannya, tak lama kemudian Langit nampak menganggukkan kepalanya. “Enak, karena terlalu enak ini makanya elo pusing bikin itungan HPP nya,” komentar Langit. “Gue sudah minta R&D bikin formula baru untuk turunin nilai HPP nya, tapi sampai sekarang mereka masih belum nemu formula yang pas, masih trial di lab.” “Kapan kita bisa dating to factory ketemu mereka?” “Dating?” Langit tertawa, “Kapan elo bisa ajak gue factory visit, biar gue juga bisa ngerti kondisi dan kerjaan di sana.” “Nanti gue ijin ke Pak Ardi dulu.” “Oke, kalau nggak turun langsung, elo nggak akan nemu-nemu yang pas hitungannya.” “Nah, itu kan ranah dari R&D, selama ini kita di bagian development cuma bisa kasih masukan aja.” “Tapi gue penasaran, gue ini meski bukan type yang pinter, tapi type penasaran yang ingin tahu.” “Iya itu, makanya elo banyak resek,” senyum terbit juga di bibir Melody membuat Langit sedikit lega karena berhasil mencerahkan mendung di wajah cantik itu.  ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD