Dering jam weker membangunkan Cinta yang tidur lelap di temani mimpinya. Tubuh mungil ramping itu menggeliat nikmat perlahan dengan tangan terulur berusaha meraih jam wekernya seperti biasa setiap bangun tidur. Beberapa saat bergerak dengan mata terpejam seperti rutinitas paginya yang sudah dia hafal d luar kepala termasuk dimana letak jam wekernya, entah kenapa kali ini benda mungil itu tak segera dia temukan hingga membuat Cinta segera membuka mata dengan lebar. Sedikit heran dia mengamati kamar tidur yang membuatnya begitu terlelap dengan nikmat. Ah iya … ini bukan kamar tidurnya sendiri seperti biasa. Ini di apartemen Langit, sedikit memaksa memutar memori otak akhirnya Cinta ingat dan mengira-ngira apa yang terjadi semalam. Bukankah dia sedang sibuk membuat kerangka skripsi bab selanjutnya dan tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa? Aih … tiba-tiba pipinya merona merah begitu menyadari bagaimana bisa dia yang tertidur di meja belajar di samping Langit tiba-tiba sudah berpindah tempat di ranjang nyaman ini. Cowok itu pasti memindahkannya, dan sangking lelahnya pasti dia tidur sangat nyenyak mirip kerbau kekenyangan.Cinta segera turun dari ranjang, menuju weker mungil yang belum berhenti menjerit kemudian menekan tombol off-nya. Setelahnya menuju wastafel yang berada di kamar mandi, mencuci muka dan menyikat gigi sebentar setelahnya dia segera keluar kamar.
Pintu kamar Langit masih nampak tertutup rapat. Cinta segera menuju dapur, membuka kulkas berniat mencari bahan apa yang kemungkinan bisa dia buat untuk sarapan pagi ini. Cinta melihat isi kulkas yang cukup lengkap, ada telur, tepung, sayur-sayuran, s**u cair pun ada. Di sambarnya celemek yang tergantung, dan setelahnya dia mulai sibuk membuat omelet istimewa untuk sarapan paginya bersama Langit. Dengan senandung semangat ala kadarnya Cinta menyelesaikan aktifitas dapur pagi ini. Begitu semua di rasa selesai dia segera balik badan berniat meletakkan omelet made in-nya di meja makan yang ada, namun spontan gadis itu berjengit kaget mendapati Langit yang sudah duduk manis dengan diam di meja makan.
“Sejak kapan elo duduk di situ, ngagetin gue aja,” cetus Cinta dengan jutek khasnya.
“Sejak hidung gue bau yang sedap-sedap,” jawab Langit dengan senyum tanpa dosa.
Cinta meletakkan omelet buatannya di meja makan, tak jauh dari hadapan Langit.
“Gue buatin s**u hangat bentar.”
Selanjutnya Cinta kembali sibuk menyiapkan s**u hangat untuk dirinya dan Langit.
Saat ini mereka sudah sama-sama duduk manis di meja makan. Langit menumpukan kedua tangannya di pipi.
“Di makan dong, atau elo mau mandi dulu?” tanya Cinta.
“Makan dulu aja, ini masih terlalu pagi.”
Cinta tertawa, jam memang masih menunjuk angka setengah enam pagi.
“Nggak rugi gue ajak elo ke sini, bisa-bisa jadi berasa makan ala café tiap hari nih, awas aja elo bikin gue gendut.”
“Cerewet lo, jadi hidup gue terancam, nih? Udah makan aja, nanti pulang kerja kita belanja lagi, kulkas isinya minimalis gitu. Untuk urusan makan elo serahin sama gue, nggak pake pesen-pesen segala kayak kemarin, lidah gue berontak nih.”
“Iya-iya bu bos café, percaya gue sama selera elo.”
Belum genap jam tujuh pagi Cinta sudah rapi bersiap berangkat kerja. Duduk di sofa beberapa menit namun Langit tak keluar-keluar hingga akhirnya memaksanya mengetuk pintu kamar cowok itu. Dan, muncul-lah Langit dengan cengiran khas-nya.
“Elo masih sibuk bermake-up, ya?” tanya Cinta sambil memicing sebal. Lagi-lagi Langit nyengir tanpa alasan jelas kenapa dia begitu lama di dalam kamar.
“Bawa mobil gue aja,” ajak Langit tanpa menjawab pertanyaan konyol Cinta.
“Tapi, Lang, nanti bikin orang curiga.”
“Elo nanti harus ke kampus kan, peraturannya, setiap elo harus ke kampus maka wajib semobil sama gue, nggak bisa di tawar.”
Tanpa bisa membantah lagi Cinta mengekor Langkah Langit. Entahlah, apapun yang terjadi nanti iya urusan nanti. Dia hanya ingin urusannya beres dan saat ini orang yang dia percaya hanyalah Langit seorang demi deadline sebulannya.
“Kalian kok datang bareng?” tanya Renata sambil memicingkan mata gusar yang tumbenan sudah duduk manis di kubikelnya begitu Langit dan Cinta memasuki ruang kerja mereka.
“Di jemput sama dia,” tunjuk Cinta dengan cuek sambil menuding ke arah Langit meski di dalam hati aslinya udah dag dig dug salah tingkah. Sedangkan Langit sendiri ngeloyor ke kubikelnya tanpa menjawab apapun hingga akhirnya Renata mendekat, menunggui cowok itu yang sedang sibuk mempersiapkan keperluan kerjanya.
“Jadi beneran elo sukanya sama Cinta, nggak suka sama gue?” tanya Renata blak-blak-an. Entah terbuat dari bahan apa cewek ini sampai-sampai masalah hati pun dengan santainya dia pertanyakan seperti itu, pada orang yang sesungguhnya beneran mencuri perhatiannya. Cinta menahan tawa, dia hafal betul dengan polah tingkah satu temannya ini, Langit bukan korban pertamanya selama yang dia tahu. Dan, justru sikap santai dan selebor Renata yang seperti itulah yang membuat gadis itu pantang patah hati lama-lama dan cepat move on dari barisan para mantan. Renata memang cantik dengan body goal yang oke punya, namun di balik kecantikannya itu menempel pula sikap selebor yang mungkin saja bikin si para mantan berfikir ulang untuk ke jenjang yang lebih serius.
Langit menjentik dahi Renata, yang membuat gadis itu mengelus dahinya sambil meringis. Menghadapi satu gadis ini dia merasa tak perlu banyak pakai hati. Jadi cukup dia balas dengan sikap apa adanya dia juga, nanti suatu saat Renata akan menyadari bahwa Langit hanya menganggap dirinya sebatas teman saja sehingga dia tak akan berharap lebih lagi.
“Elo sarapan apa, sih?” tanya Langit dengan nada datar.
“Sarapan penolakanmu yang ke sekian kali,” jawab ketus Renata kemudian berlalu meninggalkan Langit yang tertawa keras tanpa merasa berdosa.
“Makanya Re, elo sadar nggak sih kalo lagi kena karma, dulu awal dia masuk elo jutek minta ampun sama dia, sekarang elo suka-suka sama dia, ya wajar kalo elo di tolak,” seloroh Cinta menggoda Renata.
“Ah, kayak elo baik aja sama dia, elo lebih jutek ke dia, tapi kenapa dia justru suka sama elo?” balas Renata tak terima.
Cinta terbahak-bahak mendengar balasan Renata.
“Eh Re, asal elo tahu ye, sampai sekarang gue tetep jutek sama dia, jadi karma belum menghampiri gue, lagian mana ada Langit suka sama gue, yang ada dia pengin nelen gue hidup-hidup pake pisang raja andai aja doyan.”
Renata tertawa, “Untung aja dia nggak doyan, coba doyan, dimana gue bisa nemuin sahabat macam elo yang bisa bikin gue eneg tiap hari karena elo suruh ngulak-alik angka terus.”
Tawa Cinta dan Langit masih memenuhi ruang kerja yang masih sepi itu ketika satu suara khas berhasil mencuri mampir di telinga mereka.
“Hei … efribade … “ teriakan pagi hari yang sudah di hafal betul oleh penghuni ruang kerja itu. Jodi masuk sambil cengar-cengir manis gaya khas-nya. Kemudian meletakkan satu kotak kue di meja kerja Renata.
“Yuhu … PDKT nih ye … “ goda Cinta yang melihat perilaku istimewa Jodi barusan kepada Renata.
“Resek lu, diem aja kenapa?” semprot Jodi malu-malu.
Renata yang mendapat kue istimewa dari Jodi hanya senyam-senyum tak jelas. Ah, akankah pasangan gesrek itu bakal bersatu suatu hari nanti?
Satu per satu anggota tim berdatangan hingga akhirnya personil di dalam ruang itu menjadi lengkap, termasuk Pak Ardi yang nampak sudah jauh lebih baik keadaannya di banding kemarin, sudah nampak segar dan sehat kembali.
…
Langit menunggu Cinta tepat di depan ruang dosen. Membiarkan gadis itu asyik berdiskusi dengan Pak Hamdi. Sedangkan dia sendiri duduk di satu bangku yang berada di koridor, sesekali mahasiswa mahasiswi yang mengikuti kuliah malam berseliwer di depannya. Sesekali pula jika yang lewat adalah para cewek maka terdengar bisik-bisik yang mungkin saja mengagumi ketampanan cowok itu, cowok yang nampak cuek tapi keberadaannya di situ begitu memperindah pemandangan yang memanjakan mata wanita.
Menjelang pukul tujuh malam pintu ruang Pak Hamdi terbuka, Langit segera berdiri mendekat ke arah Cinta yang sedang bersalaman dengan Pak Hamdi. Senyum tersungging di bibir lelaki beranjak tua itu melihat keberadaan Langit yang jelas sedang menunggu Cinta
“Selamat malam, Pak,” sapa ramah Langit berakting seolah tak mengenal Pak Hamdi.
“Selamat malam, apakah mau menjemput Cinta?” tanya Pak Hamdi. Mendengar pertanyaan Pak Hamdi, Cinta sudah gelagapan duluan, sesungguhnya dia tak ingin dosennya tahu kalau dia kesini di antar oleh seorang cowok, dan sialnya malah di tungguin di depan ruangnya seperti ini.
“Iya Pak, mohon maaf apakah bimbingannya sudah selesai dan Cinta bisa saya ajak pulang?” tanya Langit yang masih dengan sandiwara hebatnya.
“Oh sudah, Mas, silahkan. Sebelumnya mohon maaf demi keamanan mahasiswi saya apakah boleh saya tahu, Mas nya ini pacarnya atau tunangannya? Karena setahu saya Cinta belum menikah.”
Cinta sudah membuka mulutnya, ketika Langit sudah mendahuluinya dengan satu jawaban yang membuatnya semakin gelagapan tak siap dengan sikon yang terjadi saat ini.
“Saya tunangannya, Pak, perkenalkan nama saya Langit.”
Cinta segera meloncat ke samping Langit kemudian mencubit kecil lengan cowok itu hingga membuatnya meringis kesakitan kemudian mengusap-usap lengannya. Dia sungguh-sungguh tak menyangka Langit akan tetap bersikap konyol di depan dosen senior yang sangat di hormatinya.
Pak Hamdi tertawa, dia sangat tahu bagaimana kepribadian seorang Langit Angkasa, cowok jenius yang banyak tingkah absurdnya.
“Wah, salam kenal juga, sudah malam silahkan pulang dan selamat berisitirahat. Cinta, jangan sibuk pacaran aja ingat deadline kamu karena setelah ini saya harus bertugas ke luar negeri.”
“Ba-baik Pak, tap-tapi Langit ini … “
“Ya sudah selamat malam, Pak, kami mohon pamit,” sebelum Cinta menyelesaikan ucapannya Langit segera memotongnya dengan kata pamit sambil menarik tangan Cinta. Berjalan beberapa langkah Langit masih sempat menoleh kembali ke arah Pak Hamdi yang masih tertawa sambil mengacungkan jempolnya diam-diam.
“Lang, gila lu ya ngaku jadi tunangan gue di depan Pak Hamdi. Elo tahu siapa Pak Hamdi itu?”
“Kenapa, sih? Apa salahnya elo ngaku jadi tunangan gue, lebih aman juga daripada kliatan malam-malam elo di jemput cowok tak jelas macam gue gini.”
“Iya bukan gitu, Lang, Pak Hamdi itu orang penting loh, beliau … “
“Gue tahu Cinta, Hamdi Abdillah ketua yayasan pendidikan Aksara Tama, dosen senior berkharisma yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya di dunia pendidikan namun beliau tidak bersedia menyandang jabatan tertinggi di kampus ini karena ingin tetap mengabdi sebagai tenaga pendidik sehingga bisa selalu dekat dengan mahasiswa mahasiswi anak didiknya.”
“Lang, elo kok tahu banget mengenai Pak Hamdi? Jangan bilang elo kenal beliau.”
“Mbah g***le berbicara,” jawab Langit sambil tertawa, Cinta pun tertawa juga mendengar jawaban masuk akal Langit. Dengan gemas cowok itu mengusap kepala Cinta yang di balas gadis itu dengan kebiasaannya, melingkarkan kedua tangan di lengan Langit sambil tetap berjalan menuju mobil mereka.
“Mampir café gue dulu yang di jalan Palma ya, Lang, gue laper.”
“Oke, siap tuan putri.”
Lagi-lagi Cinta tertawa renyah, entah kenapa dia bisa merasa begitu nyaman dengan keberadaan cowok di sampingnya ini. Selama ini dia hanya memiliki Ibu Sasti tempatnya bermanja, tapi kini entah tiba-tiba Tuhan menghadirkan sosok Langit di hidupnya yang sepertinya tidak pernah keberatan untuk membuat hidupnya menjadi lebih berwarna dan terasa lebih lengkap, serasa memiliki sahabat yang merangkap peran sebagai kakak baginya, pengobat lelahnya yang selama ini lebih banyak menuntut dirinya sendiri untuk tampil sebagai sosok yang paling dewasa di antara saudara-saudaranya di panti asuhan.
…
Hampir pukul sepuluh malam Cinta dan Langit baru masuk ke apartemen dengan menenteng belanjaan. Selesai makan di café, Cinta memaksa Langit untuk tetap mengajaknya mampir ke supermarket belanja bahan untuk masak setiap harinya. Meskipun Langit mengatakan bahwa mereka lebih baik segera pulang dan beristirahat tetapi Cinta bersikukuh bahwa dia ingin tetap bisa memasak karena baginya akan lebih praktis dan tidak membosankan di bandingkan jika harus membeli setiap hari, akhirnya Langit mengalah dengan mengikuti Cinta berbelanja di supermarket apartemen.
“Elo masuk aja, langsung mandi biar belanjaannya gue yang beresin masuk kulkas,” pinta Langit yang tak tega melihat raut lelah di wajah Cinta. Untungnya gadis itu tak ngeyel lagi, dengan patuh dia mengangguk dan segera masuk ke kamar, sedangkan Langit menenteng belanjaan menuju dapur kemudian mengaturnya dengan rapi di dalam kulkas empat pintunya.
…
Menjelang sebelas malam dan Langit belum berhasil memejamkan mata. Headset nancap di telinganya dan alunan musik lembut memanjakan pendengarannya. Mengobati lelah dan penatnya seharian ini. Tiba-tiba ketukan di pintu kamar yang masih berhasil dia dengar mengusik keasyikan, dia segera beranjak berdiri membuka pintu dan menemukan Cinta berdiri di hadapannya kini.
“Ada apa? Elo belum tidur?”
“Belum, gue masih nonton televisi, ini gue bikin s**u hangat dua gelas, sengaja siapa tahu elo belum tidur,” jawab Cinta sambil tersenyum kemudian menyodorkan gelas di tangannya. Langit menerima gelas dari tangan Cinta kemudian menutup pintu kamar dan ikut keluar mengikuti gadis itu menuju ruang keluarga mini di apartemen. Benar saja, televisi masih menyala menayangkan FTV malam yang seringnya penuh dengan cerita roman alay.
“Kok elo ikut kesini, minum aja susunya abis itu segera istirahat,” ujar Cinta dengan sabar.
“Gue temenin elo dulu aja dulu, belum terlalu ngantuk juga.”
Cinta tersenyum, menyeruput s**u hangatnya sedikit kemudian meletakkannya di nakas samping sofa tempatnya duduk bersama Langit. Kemudian menerima gelas dari tangan Langit yang di sodorkan kepadanya meminta bantu untuk meletakkannya di nakas juga setelah di minumnya juga hampir setengah gelas.
“Ta,” panggil Langit singkat yang membuat Cinta menoleh menatap wajah tampan yang nampak lurus melihat tayangan televisi.
“Hem,” balas Cinta singkat pula.
“Elo nyaman kan di sini sama gue?” tanya Langit kemudian.
“Nyaman kok, gue juga mau minta maaf karena harus ngerepotin elo kayak gini.”
“Gue nggak ngerasa di repotin, gue justru ngerasa seneng bisa bantuin elo.”
“Elo kasihan ya sama gue?”
“Mungkin, tapi gue tahu kalau elo nggak suka di kasihani, jadi kalo gue kasih alasan yang lain boleh?”
“Alasan kayak gimana?”
“Alasan … gue seneng bertemu dan berteman sama elo, gue salut sama elo selama ini, secara jika gue ada di posisi elo mungkin gue nggak akan bisa seperti elo sekarang.”
“Hehe … elo nggak sedang menghibur gue, kan?”
“Gue serius, Ta, kalau gue bilang, alasan gue mau bantu elo karena gue sayang elo, elo juga pasti nggak akan percaya, kan?”
Cinta tertawa, kemudian menyandarkan kepala mungilnya di bahu Langit.
“Tapi gue percaya kok kalo elo sayang sama gue, karena gue entah tiba-tiba merasa nyaman kalo bersama elo, gue merasa punya teman untuk berbagi lelah gue dan gue merasa punya kakak yang selalu siap membantu dan mendampingi gue dalam kondisi apapun.”
Langit tersenyum tulus kemudian mengusap lembut rambut gadis yang hampir tiga bulan ini dekat dengannya. Dia bersyukur apa yang dia lakukan selama ini bisa di nikmati olehnya, dia bersyukur keberadaannya di dekat gadis ini akhirnya memiliki arti lebih sesuai tujuan awal untuk mulai membuatnya bisa menikmati hidup dengan bahagia.
“Elo nggak takut sama gue?”
“Takut gimana?”
“Gue modus sama elo gitu, kan kita tinggal seatap, cuma berdua dan apapun hal jahat bisa gue lakukan sama elo.”
“Orang jahat nggak akan dengan tulus memperingatkan mangsanya, Lang, dia akan langsung menerkamnya. Dan gue bukan orang tak punya hati yang nggak bisa menilai orang ini tulus apa modus ke gue. Hidup gue sejak kecil dengan status yatim piatu membuat harus bertahan dengan bermacam kondisi dan menemui beragam karakter orang dari yang baik sampai yang cuma berpura-pura baik, secara nggak langsung mengajarkan insting gue untuk menjadi semakin peka. Gue tahu elo orang yang baik.”
Diam-diam Langit kembali tersenyum.
“Elo belum mau tidur?”
“Sudah agak ngantuk, sih.”
“Mau tidur di sini aja gue temenin atau mau ikut tidur sama gue?” tawar Langit dengan konyolnya.
“Elo kalo ngantuk tidur aja, eh tapi gue boleh menyampaikan sesuatu tapi janji jangan di ketawain.”
“Apaan? Kebiasaan elo kalo tidur suka ngiler?”
“Bukan itu, ih. Gue takut petir apalagi kalo hujan malam-malam, misal tiba-tiba gue takut trus gue nggak sadar lari ke kamar elo jangan di marahin ya.”
Langit terbahak, hingga cubitan Cinta mampir di lengannya karena tadi sudah wanti-wanti jangan di ketawain dan nyatanya Langit malah terbahak-bahak.
“Seorang jutek seperti Cinta takut petir hahahaha … trus hidup elo selama ini bagaimana coba? Secara sekarang musim hujan besar penuh dengan petir, lho.”
“Biasanya gue di temenin Mbak Yanti, kakak gue yang pegang café tempat makan malam kita tadi, kalau nggak gitu ya Mbak Ayu yang pegang café dekat kampus aku. Pokoknya mereka wajib gantian nemenin gue tiap malam.”
“Trus sekarang elo ada di sini, pamit elo gimana sama mereka?”
“Gue bilang tidur tempat teman karena harus selesaikan skripsi secepatnya.”
“Gadis pintar.”
“Iya udah, ntar ada petir elo lari ke kamar gue, nggak pernah gue kunci, kok.”
“Elo kalo tidur wajib pake baju ya, biar gue nggak malu lihat penampakan elo.”
“Buset … gue tiap hari ya tidur pake baju, Njir, ntar kalo kita udah resmi nikah aja nggak pake bajunya.”
“Ngarep lo berjodoh sama gue.”
“Ya bisa saja kan, sekarang kita tulus berteman, lama-lama kita saling jatuh cinta, apa namanya coba?”
“Iya namanya jodoh, bucin kebanyakan nonton drakor lo,” ejek Cinta.
“Iya sama, lihat tuh di tipi apa yang lagi lo tonton? FTV jeh.”
Keduanya saling tertawa sampai akhirnya menyadari waktu sudah semakin malam dan saatnya untuk mengistirahatkan tubuh lelah mereka.
…