Bab 9 Pindah Ke Apartemen

2241 Words
Makan siang yang meriah. Cinta berkumpul bersama ke tujuh temannya menikmati makan siang di sebuah café tak jauh dari gedung kantor mereka. Sebelumnya mereka berniat makan bersama di kantin kantor saja, tapi begitu sampai di sana, tak ada bangku tersisa untuk mereka ber-delapan. Akhirnya setelah berembug sebentar di putuskan  makan di café yang lokasinya tak jauh dari kantor saja dengan menumpang dua mobil yaitu mobil Langit dan mobil Aldo. Intinya hari ini mereka ingin makan bersama dengan di traktir Cinta, titik. “Gue duduk dekat Langit dong, Ta,” rengek Renata yang meskipun juteknya ke Langit minta ampun dan biang heboh di antara mereka, namun menurut pandangan mata teman-temannya sepertinya dia memiliki rasa yang berbeda pada teman tampannya itu. “Duduk aja situ macam kernet. Biar gue di belakang aja sama Si Jo,” Cinta mengalah pada sahabat gesreknya yang satu itu. Renata melonjak girang, sedangkan Langit yang sudah duduk di belakang kemudi hanya tersenyum sambil geleng kepala. Mereka berbagi, dua cowok dan dua cewek, otomatis Ema dan Mela ikut di mobil Robi dan Aldo. “Elo nggak keberatan kan Lang gue PDKT sama elo?” ijin Renata setengah serius setengah kelakar. Jodi dan Cinta hanya tertawa ngakak mendengarnya, ragu menebak kalimat Renata itu jujur atau bohongan, karena ke-gesrekan satu sahabatnya ini sudah di ambang batas kewajaran sampai-sampai menjadi incaran Pak Don si killer HRD itu. “Mulut lo tuh ya, biasanya aja suka jodohin gue sama Cinta, aslinya hati elo nggak rela, kan? Elo suka ya sama gue?” tanya Langit dengan gaya absurdnya seperti biasa, cuek tanpa nada istimewa sambil menjalankan mobilnya perlahan. Jika di lihat dengan kacamata serius, maka akan nampak sikap sedikit salting yang Renata punya, hanya saja cewek itu udah kadung terbiasa dapat cap gesrek bin resek yang sulit di nalar jadi teman-teman di dekatnya saat ini hanya berlaku biasa saja. Beberapa saat tak terdengar suara Renata, gadis itu sibuk memainkan kuku pendeknya yang di cat warna warni. Andai saja aturan tak melarang mungkin kuku gadis ini selain bercat warna warni pasti juga akan lancip macam paruh burung. “Hei ngapa lo diem, jangan-jangan lo mendem rasa beneran sama gue, Re? Ati-ati lo, gue peringatin mulai sekarang, daripada patah hati mending kagak usah suka sama gue.” Cinta dan Jodi hanya saling pandang mendengar obrolan dua orang di depan. “Cara elo sadis ih, Lang,” protes Cinta. “Nah daripada ntar bikin anak orang bunuh diri, gue bilangin aja toh dari sekarang, ya nggak, Re?” tanya Langit sambil menoleh ke arah Renata sembari memainkan kedua alisnya. “Resek lo, baru PDKT doang aja gue udah patah hati. Tenang aja, gue nggak bakal bunuh diri, mending cari cowok lain yang mau sama gue,” jawab Renata sedikit sewot namun dengan menyunggingkan senyum tipisnya. “Nih Si Jo baru aja jomblo, lo nggak pengin PDKT sama dia?” tanya Cinta, Jodi yang ada di sebelah Cinta segera menyentil telinga Cinta dengan gemas. “Gue masih dalam masa iddah,” jawab Jodi sambil menahan tawa. Cinta dan Langit tertawa ngakak tiada henti sampai akhirnya mobil memasuki parkiran café. Mobil teman-teman mereka sudah nampak terparkir duluan. “Gimana, Re?” “Ya kalo Jodi, dia mah yang kudu PDKT sama gue, biar gue cepet mup on dari si kutu kupret satu ini,” manyun Renata sambil membuka pintu mobil. “Lampu ijo tuh,” senggol Cinta pada lengan Jodi. “Resek lu, kayak gue nggak laku aja.” “Hallah … kejar sono, elo pernah suka dia kan?” Tanpa menjawab lagi Jodi sudah meloncat turun dari mobil kemudian beneran mengejar Renata. Dengan akrab cowok itu segera merangkul bahu Renata sambil tertawa-tawa. Cinta dan Langit yang berjalan di belakang mereka berdua hanya berpandangan dengan seulas senyum kemudian sama-sama mengedikkan bahu. Seperti itulah gambaran nyata persahabatan kental di tim kerja Cinta. Usia mereka yang hampir setara di antara 20 s.d 25 tahun menjadikan persahabatan mereka semakin asyik. Cinta paling muda di antara mereka semua tetapi jabatannya paling tinggi, dan untungnya mereka adalah tim hebat yang solid dengan seleksi ketat Pak Ardi. Usia Langit sendiri berada di antara itu, jadi dia tak kesulitan untuk membaur dengan segala kebiasaan mereka. Dengan statusnya saat ini yang belum di ketahui siapapun kecuali Pak Ardi, dengan mudah dia bisa masuk di lingkaran persahabatan tujuh orang muda itu. Jalan beberapa Langkah, Cinta menarik baju samping Langit, satu kebiasaan yang tak di sadarinya setiap kali berjalan dengan siapapun, tangannya pasti akan mencari pegangan untuk di gandengnya. Selama ini Cinta jarang berjalan dengan cowok, jadi urusan gandeng menggandeng baginya tak jadi soal, karena kalaupun jalan dengan cowok, pasti tak jauh-jauh dari makhluk bernama Jodi, Aldo dan Robi yang sudah hafal dengan kebiasaannya. Langit menoleh, menatap aneh tangan Cinta yang menarik bajunya. Cinta yang menyadari segera melepaskan tangannya sambil tersenyum memamerkan wajah innocent-nya. “Sini,” Langit yang menyadari kebiasaan Cinta segera menarik tangan gadis itu ke dalam genggamannya. “Kayak orang pacaran ih, gini aja lebih nyaman,” protes Cinta sambil melingkarkan kedua tangannya di lengan Langit. “Nah kalo gini udah kayak nenek-nenek minta di sebrangin.” “Biarin, pokok tangan gue ada pegangan, hehe.” “Kemarin di pantai kita juga gandengan kayak tadi, elo fine-fine aja.” “Di sana mah ga ada 6 kurcaci resek itu.” Langit tertawa mendengar jawaban Cinta, beberapa kali makan keluar bareng Cinta dan teman-temannya, Langit memperhatikan satu kebiasaan Cinta yang ini. Meski jalan dengan Jodi, Aldo ataupun Robi pun dia melakukan hal yang sama, melingkarkan tangannya di lengan teman jalannya dan sepertinya sahabat-sahabatnya itu memahaminya dengan cukup baik. “Elo jadi cewek bahaya, ya, kalo lagi jalan sama Pak Ardi gimana?” “Biasanya kebiasaan narik bajunya Bapak kayak ke kamu tadi,” jawab Cinta sambil ketawa ketiwi ingat beberapa kali tingkah konyolnya di dekat atasannya itu yang membuat Langit dan berdecak heran sambil menggelengkan kepalanya. Langit dan Cinta segera bergabung bersama teman-temannya. Mereka makan siang dengan suasana seru. Tiba-tiba ponsel Cinta berdering. Pak Ardi is calling. “Halo, iya Pak,” jawab Cinta setelah menelan paksa terlebih dahulu makanannya. “Ta, kamu lagi makan keluar sama anak-anak, ya?” “Iya Pak, Bapak ada mau nitip sesuatu?” “Ta, nitip beliin obat sakit magh, ya, persediaan di kantor pas habis sama sekali.” “Oh iya, Pak, nanti saya belikan, cuma itu saja?” “Sama roti deh, perut aku nggak bisa terima makan nasi kayaknya.” “Oke Pak.” Selesai makan siang Cinta semobil berdua saja dengan Langit karena harus mampir ke apotek beli obat dan mampir toko kue untuk membelikan roti pesanan Pak Ardi. Dalam perjalanan menuju kantor setelah mendapatkan semua pesanan mereka kembali asyik mengobrol santai. Jalan yang sedikit macet membuat mobil merambat pelan meskipun jarak menuju kantor sebenarnya sudah tak jauh lagi. “Lang, elo yakin nampung gue di apartemen elo?” “Yakin, kenapa emangnya?” “Kalo tiba-tiba keluarga elo datang gimana?” “Ya gue umpetin elo di kolong ranjang lah.” “Langit, elo selalu deh.” “Kenapa sih lo, keluarga gue nggak mungkin datang ke apartemen gue, mereka terlalu sibuk, yang ada kalo gue kangen mereka, gue yang pulang ke rumah.” “Serius kayak gitu?” “Iya serius, kayaknya elo yang ragu deh, antara iya dan enggak, gue nggak maksa loh ya, semua elo putusin sendiri, gue cuma pengin bantu elo.” “Jujur gue bingung sih, keluarga panti gue dan teman-teman di kantor di kasih tau apa enggak?” “Menurut lo?” “Menurut elo gimana, Lang?” “Gue mah woles, mau di kasih tahu iya boleh, nggak di kasih tahu ya berarti kita hati-hati.” “Gue pengin ngasih tahu tapi sepertinya nggak sekarang, ntar aja kalo terpaksa ketahuan gue baru jelasin.” Langit terbahak dengan kegalauan gadis di sebelahnya. “Terserah elo baiknya gimana.” “Misal tiba-tiba mereka pada ke rumah gue, gue tinggal kasih alasan yang masuk akal aja kan, ya?” “Iya dong, bilang aja elo lagi tinggal di apartemen temen cowok, gitu aja,” jebak Langit dengan sengaja. “Itu namanya bunuh diri, dodol.” Kembali Langit terbahak, entah kenapa menggoda Cinta adalah hiburan menarik tersendiri baginya sekarang ini. Apalagi setelah ini hampir dua puluh empat jam dia akan bersamanya. Ada rasa nyaman dan lega yang dia rasa, setidaknya mengurangi rasa was-was nya setiap malam ketika dia harus meninggalka rumah gadis ini setelah mengikuti diam-diam dan memastikan bahwa dia sudah aman sampai sampai masuk ke dalam rumah. Memenuhi tugas yang di bebankan kepadanya. Sampai di kantor, Cinta segera menuju ke ruang Pak Ardi dengan obat dan roti yang ada di tangannya. Langit dan teman-temannya sudah mulai bekerja kembali karena jam istirahat sudah berakhir. “Obatnya Pak dan ini rotinya.” “Iya terima kasih, Ta, kamu bisa langsung balik kerja.” “Nggak, saya tungguin sampai Bapak minum obatnya dan makan rotinya dikit aja.” Pak Ardi memaksa tertawa, dia hafal betul dengan sifat keras kepala salah satu anak buahnya ini. “Iya-iya aku minum, nih lihat.” “Nah gitu dong daripada saya bilang ibu kalau Bapak lagi sakit tapi ngeyel kerja.” Lagi-lagi Pak Ardi tertawa. Cinta memang kenal baik dengan istrinya dan mendapat pesan khusus jika suaminya bandel maka dia di persilahkan untuk melaporkannya. “Ya udah kamu kerja lagi, gih.” “Iya Pak, kenapa Pak Ardi nggak ijin pulang aja kalau sakit?” “Jam tiga ada meeting direksi, nggak bisa di tinggalin.” “Ya udah, Pak, semoga perihnya udah mereda, jangan lupa bentar lagi rotinya di makan juga pak biar perutnya lebih enakan.” “Iya, makasih ya.” “Sama-sama, Pak.” Cinta segera pamit keluar ruang untuk melanjutkan pekerjaannya setelah memastikan atasannya yang baik hati itu benar-benar masih cukup baik-baik saja untuk melanjutkan pekerjaannya. “Pak Ardi gimana? Magh-nya parah?” tanya Langit yang khawatir juga. “Semoga aja nggak terlalu, tapi Bapak sering seperti itu, tiba-tiba magh-nya kambuh.” … Jam 19.00 “Kamar elo sebelah sini, ya,” tunjuk Langit pada Cinta yang sudah masuk di apartemennya. Cinta memperhatikan ruang apartemen Langit yang cukup luas. Tertata sederhana dengan perabot lengkap yang nampak nyaman. “Besar ya apartemen elo, Lang.” “Masih nyicil, kok,” jawab Langit beralibi, padahal ketika Cinta tak melihatnya dia menjulurkan lidah merasa konyol dengan jawabannya sendiri. Seorang Langit Angkasa mencicil sebuah apartemen adalah hal yang mustahil. Bahkan membeli seratus unit apartemen dengan tunai lho keluarganya mampu lakukan. Tapi entah kenapa itu hal yang terfikirkan tiba-tiba oleh Langit, jawaban itu menurutnya paling aman untuk menghadapi Cinta saat ini. “Wah, masing-masing kamar ada kamar mandinya juga, ya?” ujar Cinta takjub. “Iya, tapi yang kamar elo kamar mandinya agak kecil, atau elo mau tuker kamar sama gue, kamar mandinya lebih luas? Tapi tunggu gue beresin isinya dulu,” tawar Langit mengalah dengan rela. “Eh, gue nggak segitunya sampai nggak tahu diri juga, Lang, gini aja gue udah sungkan banget.” “Sekali lo ngomong sungkan tak sumpahin ikut bayar cicilannya loh,” ancam Langit pura-pura marah. “Ini apartemen elite, Lang, mana cukup gaji gue buat bayar ginian, adik-adik gue di panti nggak bisa makan dong,” keluh Cinta dengan jujur. “Ya udah, elo silahkan tinggal di sini dengan nyaman, nggak pake mikir banyak-banyak, dan sekarang elo mandi dulu, bentar lagi makanan yang gue pesen bakal datang.” “Oke, makasih ya, Lang.” Selesai makan malam Cinta pamit masuk ke kamar bersiap merevisi skripsinya karena besok adalah jadwal maju ke Pak Hamdi lagi. Tengah serius mengerjakan skripsi Cinta mendengar Langit memanggil hingga akhirnya masuk ke kamarnya setelah dia persilahkan. Di tangan cowok itu nampak s**u hangat yang masih mengepul, Cinta melihatnya dengan penuh senyum haru. “Gue bukan anak elo, Lang, yang kalo lagi belajar harus di siapin s**u hangat sama emaknya.” “Gue cuma kebiasaan aja kok, dulu kalo lagi belajar mama gue siapin s**u hangat kayak gini.” Cinta tersenyum, sekelebat bayangan Ibu Sasti membuatnya tiba-tiba rindu. “Ah, elo bikin gue kangen Ibu Sasti, biasanya juga kalo gue pas belajar dulu selalu di buatin teh hangat, bukan s**u hangat ya karena s**u buat adik-adik gue hehe.” Sekali lagi hati Langit teremas tanpa sadar, senyum tipisnya terukir mengagumi keceriaan gadis ini. Gadis yang tak pernah mengeluh dan hanya bersyukur menikmati kehidupannya. “Sini deh gue bantuin ngetiknya, elo udah nemu buku referensinya, kan?” “Udah nemu, tinggal nyalin dan bikin kalimat-kalimat sok ilmiah dikit buat sempurnakan materinya. Kalo elo yang ngetik gue yang ngapain?” “Elo bikin corat coret bab selanjutnya aja, ntar gue selesai ngetik elo tinggal periksa aja, jadi besok elo bisa kerja dengan tenang nggak pake mikirin skripsi lagi.” Cinta mengacungkan jempolnya tanda setuju. Langit mengakhiri ketikannya, menutup mulutnya yang menguap sambil menoleh ke pintu kamar Cinta yang terpasang jam dinding di atasnya, jarum menunjung angka jam sebelas lebih tiga puluh menit. Dia tak memperhatikan jika weker mungil Cinta juga nongkrong manis di meja belajar. Menoleh perlahan ke arah Cinta yang nampak sudah pulas dalam tidurnya membuat dia kembali tersenyum tipis. Gadis itu tidur beralas lengan di meja belajar samping dirinya. Setelah membereskan buku-buku dan laptop Cinta, dengan perlahan di angkatnya tubuh mungil yang begitu lelap itu. Di bawanya ke ranjang tidurnya, di selimutinya dengan benar, dan sebelum dia tinggalkan keluar kamar, di pandangnya cukup lama wajah cantik yang nampak damai dalam tidurnya itu. Batinnya tak berhenti terucap doa semoga kebahagiaan gadis ini bisa di raihnya dengan jalan mulus tak banyak hambatan. …                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD