Langit memperhatikan keseriusan Cinta di kubikelnya. Gadis itu bahkan tak keluar ruang padahal saat ini adalah jam istirahat. Penuh penasaran Langit mendekatinya.
“Ta, elo lagi ngapain, serius amat?” tanya Langit sambil meletakkan satu kue dan satu cup minuman dingin di meja Cinta yang hanya di balas cewek itu dengan senyuman kemudian tanpa kata langsung mengambil minuman yang di bawakan oleh Langit lalu di seruputnya cepat. Sengaja Langit membelinya untuk Cinta di kantin perusahaan begitu tahu gadis itu menolak ajakan teman-temannya untuk makan siang bersama.
“Edit skripsi gue, nih. Puyeng karena tiba-tiba dosen gue ngabarin kalo deadline skripsi tinggal sebulan lagi, padahal sekarang baru gue jalanin masuk bulan ketiga dari awal judul gue di setujui.”
Langit mengangguk mengerti bercampur prihatin teringat pembicaraan di rumahnya kemarin bahwa skripsi Cinta harus selesai dalam satu bulan ini karena mereka sedang berjaga-jaga akan segera membuka identitas Cinta sebagai pemilik sah perusahaan Aksara Tama supaya tidak keduluan Hira Yaksa, lelaki yang selama ini selalu berusaha merebut kekuasaan perusahaan ini menjalankan rencana liciknya. Pengumuman tentang Cinta di rencanakan akan di sampaikan pada meeting direksi penentuan presiden direktur perusahaan yang baru . Meeting itu akan di laksanakan kurang lebih dua bulan yang akan datang, dimana waktu itu bersamaan dengan meeting para pemegang saham.
“Alasannya apa kok deadline-nya di percepat?” tanya Langit pura-pura tidak tahu.
“Dosen gue harus ke luar negeri dan belum tahu kapan akan kembali. Daripada gue peralihan ke dosen pembimbing lain dan khawatirnya malah bakal banyak revisi, lebih baik gue ngebut dalam sebulan ini.”
“Elo mampu?”
“Itu yang bikin gue puyeng, Lang, elo ingat janji gue ke Pak Zein, kan, bulan-bulan ini kita sibuk-sibuknya urusin peluncuran produk baru. Eh ini skripsi gue pas gini-gininya juga, gue harus gimana dong?”
Langit terdiam.
“Gue bisa bantuin elo kalo lo mau.”
“Caranya?”
“Gue bantu elo mikir dan ngetik sebulan ini, mau nggak?”
“Langit, gimana jalaninya? Pagi sampai sore kita kerja, bisanya cuma pas malam aja ngerjain skripsinya sama hari minggu. Empat minggu itu cepet banget, Lang.”
“Gue tinggal di rumah elo gimana?”
Cinta mengangkat wajahnya dari layar laptop yang di tekuninya sejak tadi meskipun sambil ngobrol dengan Langit.
“Gila lo, gimana bisa? apa kata tetangga dan Pak RT gue, Lang? Atau sekalian kita kawin aja biar bisa hidup bersama dengan aman?” Langit sempat mendelik dengan penuturan setengah u*****n Cinta barusan. Tiba-tiba dia ingat kalimat Pak Hamdi yang kemarin sempat mampir di kupingnya ketika lelaki itu bilang semoga Langit dan Cinta bisa jatuh cinta beneran.
“Yang ada gue riweh kerjaan, riweh kuliah, skripsi dan riweh urusin elo andai jadi suami gue,” dumel lirih Cinta yang terdengar dengan jelas di telinga Langit. Dia sadar seketika kalo Cinta seperti biasa, ngomong asal nyeplos semaunya.
Langit tertawa ngakak menghilangkan rasa canggungnya yang hadir tiba-tiba.
“Kalau enggak bisa gitu, elo aja yang tinggal sama gue di apartemen, di jamin bakal bebas Pak RT dan tetangga resek pastinya.”
Lagi-lagi Cinta mendongak melihat ke arah Langit mencari keyakinan bahwa cowok itu berbicara dengan sadar dan waras.
“Elo nggak lagi mabok kan, Lang?”
“Gue sadar Cinta, nih buktinya,” jawab Langit sambil mencubit lengan Cinta.
“Eh buset, kok elo yang cubit gue, sih? Harusnya elo cubit kulit lo sendiri tuh, supaya sadar.”
Langit berdiri bersiap meninggalkan Cinta, “Elo selesaikan skripsi elo buat maju dosen nanti, biar urusan maju ke Pak Ardi hari ini gue yang tangani, datanya ada di data share, kan?”
“Elo yakin maju tanpa gue, elo nggak akan hancurin laporan gue, kan? Atau aduin gue ke Pak Ardi?”
“Sekarang jamannya orang harus berfikir smart, datanya gue ambil di data share, ya? Kebetulan ada hal yang mau gue bahas juga dengan Pak Ardi, jadi ijinin gue yang kasih laporan ke Bapak.”
Cinta masih menatap penuh ragu ke arah Langit yang pergi ke kubikelnya. Tak berapa lama kemudian nampak masuk ke ruang Pak Ardi sambil menenteng laptopnya. Hatinya sempat bimbang harus menemani Langit menghadap Pak Ardi atau melanjutkan revisi skripsinya seperti saran Langit yang artinya harus percaya kepada cowok itu bahwa bisa menyampaikan laporannya dengan benar sehingga bapak pimpinan divisinya itu bersedia segera membubuhkan tanda tangan persetujuannya. Akhirnya Cinta memilih mempercayai Langit, jikapun ada yang salah besok dia bisa menghadap Pak Ardi lagi.
…
“Siang Pak,” sapa Langit begitu masuk ke ruang Pak Ardi.
“Siang, duduk Lang,” jawab Pak Ardi sambil mempersilahkan Langit untuk duduk.
“Pak, saya mohon ijin yang menyampaikan laporan progress launching Cinta siang ini,” ijin Langit.
“Cinta kenapa?”
“Emm … saya menyampaikan laporan dahulu atau saya menyampaikan kondisi Cinta dahulu?”
“Laporan dulu, saya nggak ingin nepotisme dan kasihan sehingga mentolerir kesalahan laporan kemudian asal menyetujui setelah nanti tahu kondisi Cinta saat ini yang sesungguhnya,” jawab Pak Ardi. Langit tersenyum dan bersiap menyampaikan laporan yang Cinta buat. Dia tahu lelaki di depannya ini sangat bijaksana, papanya memang jeli menyerahkan kepada siapa tanggung jawab tentang Cinta. Pak Ardi adalah salah satu orang yang tepat selain Pak Hamdi.
Beberapa menit Langit menjelaskan dengan detail laporan Cinta yang di simak dengan seksama oleh Pak Ardi yang sesekali melempar pertanyaan kepadanya dan bisa dia jawab dengan tepat sesuai dengan data yang telah Cinta siapkan.
“Oke, setelah ini kamu print out dua lembar dan bawa ke saya untuk tanda tangan,” setuju Pak Ardi kemudian.
“Dengan sedikit koreksi tadi aja ya, Pak?”
“Iya, setelah itu kamu bisa minta bantu ke anak-anak untuk scan dan kirimkan by email ke divisi terkait.”
“Saya sendiri bisa kok, Pak,” balas Langit.
“Oke, terserah kamu aja, Lang. Jadi apa yang terjadi dengan Cinta?”
Tanpa basa basi apapun akhirnya Langit menceritakan mengenai pembicaraan orang tuanya dan Pak Hamdi kemarin. Tentang rencana Cinta yang harus segera di munculkan ke khalayak umum tentang status aslinya. Tentang deadline gadis itu untuk segera menyelesaikan kuliahnya supaya bisa segera lebih fokus mengurus Aksara Tama.
Pak Ardi menghembuskan nafas beratnya, dia sungguh kasihan dengan gadis anak buahnya itu. Bahkan untuk memiliki apa yang seharusnya bisa dengan mudah di genggamnya diapun masih harus melalui serangkaian kesulitan yang harus bisa dia pecahkan dan hadapi setiap permasalahannya. Tapi memang tak ada tujuan buruk di dalam setiap rencana itu, dan Pak Ardi mengenal sosok Hira Yaksa yang di sebutkan oleh Langit. Meskipun tak sedekat dengan Zein Angkasa, Pak Ardi beberapa kali memang harus berhadapan dengan sosok itu. Dari pembawaan dan cara kepemimpinan sangat berbeda jauh dengan Zein Angkasa, orang ini lebih arogan menonjolkan statusnya. Sejujurnya, setelah mengetahui kisah sebenarnya tentang perusahaan ini, simpati dan segannya pada sosok itu sudah tak ada lagi di hidupnya. Seperti yang dia dengar, kemungkinan dua minggu lagi orang bernama Hira Yaksa itu akan datang ke kantornya ini, selama ini katanya dia mengurus bisnis yang lain di luar negeri yang entah apakah itu benar atau tidak.
“Saya mohon ijin untuk lebih banyak membantu Cinta pegang pekerjaannya ya, Pak, supaya semua bisa berjalan lancar, sekalian bersiap-siap menghadapi kedatangan Pak Hira jika jadi datang dua minggu lagi.”
“Baiklah Lang, aku juga akan bantu Cinta back up pekerjaanya lebih kuat lagi di sini, jika ada kendala apapun tolong aku segera di beritahu supaya tidak berlarut-larut. Terima kasih untuk informasinya.”
“Sama-sama Pak Ardi, saya permisi mohon ijin keluar untuk print out dokumennya. Jika mungkin Bapak masih ada hal yang ingin di ketahui bisa langsung telepon ke papa, begitu pesannya.”
“Oke, terima kasih.”
Langit segera beranjak keluar dari ruang Pak Ardi.
…
Cinta baru saja menutup file skripsinya yang selesai dia revisi ketika nampak Langit keluar dari ruang Pak Ardi. Gadis itu segera berdiri mengikuti Langit ke kubikelnya.
“Lang,” panggil Cinta yang mengekor langkah Langit.
“Elo tenang aja, gue sukses kok, nih tinggal print doang.”
“Serius lo?”
“Dua rius Cinta sayang, cuma revisi dikit kalimat elo yang ejaannya kayak kalimat mengarang anak SD ini doang kok.”
“Woi … kalian serius pacaran, ya?” tanya Jodi yang tiba-tiba sudah menongolkan kepalanya di kubikel Langit.
“Apaan sih, Jo?” sungut Cinta.
“Itu Si Langit panggil-panggil elo Cinta Sayang,” Jodi berpura-pura cemburu.
“Apa sih Mas Jodi Sayang?” goda Langit dengan sengaja.
“Huekkk … “ spontan Jodi pura-pura muntah mendengar panggilan sayang dari Langit hingga seisi ruang terbahak bersamaan.
“Gue ke Pak Ardi bentar,” Cinta yang merasa ragu segera menuju ke ruang Pak Ardi sedangkan Langit hanya senyum-senyum sambil menggeleng pelan kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Cinta mengetuk ruang Pak Ardi sebentar dan begitu ada jawaban dia segera membuka dan melongokkan kepala cantiknya ke ruang atasannya itu.
“Pak, laporan saya?” tanya Cinta dengan nada menggantung. Pak Ardi tak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil mengacungkan jempolnya. Cinta segera tersenyum lebar kemudian menutup pintu kembali dan menarik tubuhnya kemudian balik badan kembali ke kubikel Langit.
“Langit.”
“Apa?”
“Love you, makasih, ya … “
“Huuu … ada drakor episode baru nih di sini, bucin … bucin … “ teriakan Mela membuat ruang kembali gaduh. Cinta kembali ke kubikelnya sambil ketawa-tawa. Sejak teman-temannya itu kepo tentang kebenaran hubungannya dengan Langit, gadis itu menjadi semakin usil menggoda mereka.
“Gombal lo, Ta,” kedumel Langit sambil ketawa-tawa sendiri.
Teringat sesuatu, Langit segera berdiri dari duduknya kemudian melongok ke kubikel Cinta.
“Ta.”
“Ada apa?” tanya Cinta yang mulai memeriksa beberapa pekerjaan yang tadi sempat dia tinggalkan karena mengejar revisi skripsinya.
“I miss you.”
“Astagaaaa … berdarah kuping gue,” teriak Aldo penuh emosi jenaka.
“Ta, pertimbangin saran gue tadi.”
“Woi … pertimbangin apa nih?” ganti Robi yang bersuara.
“Pertimbangin abis elo lulus kuliah kita kawin yeee … “ suara Renata segera membuat ruang semakin ramai.
“Dasar gila kalian semua, ya?” Cinta tak bisa menahan tawa akan tingkah dan celetukan teman-temannya.
“Ta, gue serius,” Langit sengaja mengulang perkataannya.
“Nanti malam gue kasih keputusan abis gue balik dari kampus dan ketemu sama dosen pembimbing gue,” jawab Cinta yang sebenarnya sejak tadi sempat menimbang tawaran Langit. Selama dekat dengan cowok ini Cinta merasa dia begitu tulus membantunya. Meskipun sikapnya absurd, justru di situ Cinta melihat poin lebih dari diri Langit. Apa adanya dan cukup asyik untuk di ajak berteman.
“Oke Ta, gue tunggu.”
“Cie … cie … yang kebelet kawin,” lagi-lagi Renata bersuara.
Di dalam ruangnya Pak Ardi hanya tersenyum mendengar gurauan para anak buahnya. Kedatangan Langit dan status baru Cinta yang barusan di ketahuinya memberinya warna dan semangat baru di perusahaan ini. Pak Ardi inginkan yang terbaik untuk Cinta dan perusahaan ini.
…
“Jadi saya benar-benar harus menyelesaikan skripsi saya ini dalam waktu satu bulan ke depan, Pak?” tanya Cinta begitu menemui Pak Hamdi.
“Iya, seperti yang saya sampaikan, pilihannya, kamu ganti dosen pembimbing atau selesaikan skripsi kamu dalam waktu satu bulan ke depan?”
“Sama-sama berat pilihannya, Pak,” jawab Cinta dengan lesu.
“Saya hanya bisa menawarkan solusi seperti itu. Cinta. Daripada kamu nggak lulus-lulus jika harus nunggu saya balik ke Indonesia yang entah kapan, paling cepat mungkin enam bulan ke depan.”
Cinta terdiam setelah negosiasinya dengan dosen pembimbingnya ini tak membuahkan hasil seperti yang dia harapkan.
“Baiklah, Pak, saya akan berusaha keras memenuhi deadline yang Bapak berikan, jadi setiap dua hari sekali saya bisa menemui Pak Hamdi, kan?”
Ah … membayangkan saja Cinta sudah ingin menangis rasanya. Jadwal maju seminggu dua kali saja selama ini masih seringkali dia bolongin, apalagi harus seminggu tiga kali dan itu wajib. Tapi Cinta pantang menyerah, dia sudah menjawab iya kepada Pak Hamdi dan itu artinya dia setuju dengan syarat dosennya itu.
…
Di kamarnya Cinta terpekur menatap ponselnya. Di kondisi seperti ini dia tak akan mampu menghadapinya sendiri. Dia butuh teman untuk membantu, minimal teman untuk membantunya mengetik bergantian atau teman berdiskusi yang nyaman yang sepemikiran dengannya. Dan, orang yang selama ini berada di dekatnya adalah Langit, di tambah juga ada penawaran manis dari cowok itu. Cinta bingung harus menjawab iya atau tidak.
“Lang,” panggil Cinta begitu teleponnya ke cowok itu tersambung.
“Iya, Ta, gimana tadi ketemu dosennya?” tanya Langit, padahal seperti biasa, setiap hari dia selalu mengikuti kemanapun gadis itu pergi hingga memastikan bahwa dia selamat sampai masuk ke rumah lagi. Langit jelas sudah tahu bagaimana tadi Cinta melangkah lunglai dengan wajah sedikit keruhnya.
“Elo serius mau nemenin dan bantuin gue ngerjain skripsi gue?” tanya Cinta hati-hati.
“Iya Ta, gue serius.”
“Di apartemen elo ada berapa kamar?”
“Ada dua, makanya gue berani nawarin elo.”
Wajah Cinta sedikit berbinar mendengar jawaban Langit.
“Gue mau ke apartemen elo, tapi gue bayar sewa selama sebulan, ya, biar gue nggak sungkan.”
“Anjir, gue macam bapak kos, dong.”
“Ayolah Lang, elo setuju, kan?”
“Gratis Cinta.”
“Elo nggak modus minta gue bayar dengan tubuh gue, kan?”
“Ya ampun Cinta, kalo elo maunya gitu ya mana gue nolak, sih,”
“Langit … resek lo, ya?”
“Ya makanya jangan ngomong aneh-aneh, kena karma lo ntar.”
“Amit-amit.”
“Ya udah tutup teleponnya, segera tidur, besok siapin beberapa baju elo dan perlengkapan elo. Pulang kerja kita langsung menuju ke apartemen aja, nggak usah bolak balik ke rumah elo. Jangan lupa besok pagi sebelum berangkat di cek semua, listrik atau apa segala macam di amankan dulu.”
“Iya Bapak Kos, gue bobok ya, badan gue rasanya hancur hari ini.”
Langit yang berada di kamarnya sendiri tersenyum mendengar jawaban Cinta. Setelahnya dia segera menuju ke ruang keluarga dimana orang tuanya masih nampak nonton televisi bersama Alena dan Awan, dua adik kesayangannya.
“Pa, Ma, per besok Cinta jadi tinggal sama gue di apartemen, ya,” ijin Langit.
“Jadi dia akhirnya setuju.”
“Iya, barusan nelpon Langit.”
“Iya udah hati-hati jagain anak gadis orang.”
“Jangan khilaf, Kak,” celetuk Awan yang berbicara cuek tanpa melihat ke arah kakaknya karena sibuk dengan permainan di game online-nya.
“Eh bocah, sok tua lo,” cerca Langit.
“Gue cuma ingatin, Kak, cewek cowok udah dewasa tinggal bersama, rawan khilaf lho, ntar pulang-pulang bawaan ponakan.”
“Mama sama Papa setuju kok, elo nggak mau punya ponakan? Katanya pengin punya kakak adik perempuan?”
“Gue-nya yang ogah punya adik lagi, Kak, resek mulu,” Alena ikutan berucap.
Awan tertawa, “Ya mau sih, terserah Kak Langit aja kalo gitu, silahkan di khilafin sono, biar ntar Kak Alena yang jadi pawang reseknya.”
Sekeluarga berlima itu tertawa bersamaan.
…